bdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di
majelis kami, aku pun sudah siap dengan pakaian perangku, karena ada
komando untuk bersiap-siap sejak Senin pagi. Kemudian saja ada seorang
laki-laki membaca ayat, (artinya) ‘Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberi Surga.’ (At-Taubah: 111). Aku menyambut, “Ya, kekasihku.”
Laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi kepadamu wahai Abdul Wahid,
sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku dengan harapan aku
memperoleh Surga.”
Aku menjawab, “Sesungguhnya ketajaman pedang itu melebihi
segala-galanya. Dan engkau sajalah orang yang aku sukai, aku khawatir
manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan keuntungan
dari perdagangan ini.”
Laki-laki itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku telah berjual beli
kepada Allah dengan harapan mendapat Surga, mana mungkin jual beli yang
aku persaksikan kepadamu itu akan melemah.” Dia berkata, “Nampaknya aku
memprihatinkan kemampuan kami semua, …kalau orang kesayanganku saja
mampu berbuat, apakah kami tidak?” Kemudian lelaki itu menginfakkan
seluruh hartanya di jalan Allah kecuali seekor kuda, senjata dan sekedar
bekal untuk perang. Ketika kami telah berada di medan perang dialah
laki-laki pertama kali yang tiba di tempat tersebut. Dia berkata, “Assalamu ’alaika wahai Abdul Wahid,” Aku menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh, alangkah beruntungnya perniagaan ini.”
Kemudian kami berangkat menuju medan perang, lelaki tersebut
senantiasa berpuasa di siang hari dan qiyamullail pada malam harinya
melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami serta menjaga kami
ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.
Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari, tiba-tiba dia datang
sambil berkata, “Betapa rindunya aku kepada bidadari bermata jeli.”
Kawan-kawanku berkata, “Sepertinya laki-laki itu sudah mulai linglung.”
Dia mendekati kami lalu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku sudah tidak
sabar lagi, aku sangat rindu pada bidadari bermata jeli.” Aku bertanya,
“Wahai saudaraku, siapa yang kamu maksud dengan bidadari bermata jeli
itu.” Laki-laki itu menjawab, “Ketika itu aku sedang tidur, tiba-tiba
aku bermimpi ada seseorang datang menemuiku, dia berkata, ‘Pergilah kamu
menemui bidadari bermata jeli.’ Seseorang dalam mimpiku itu mendorongku
untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair jernih.
Di taman itu ada beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah
sampai-sampai aku tidak mampu mengungkapkan keindahannya.
Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka memberi kabar
gembira sambil berkata, ‘Demi Allah, suami bidadari ber-mata jeli itu
telah tiba.’ Kemudian aku berkata, ‘Assalamu ‘alaikunna, apakah
di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Pelayan cantik itu
menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pelayan dan pembantu bidadari bermata
jeli. Silahkan terus!’
Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah
sungai yang mengalir air susu, tidak berubah warna dan rasanya, berada
di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya juga terdapat
pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan. Begitu aku
melihat mereka aku terpesona. Ketika mereka melihatku mereka memberi
kabar gembira dan berkata kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami
bidadari bermata jeli.’ Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, Waalaikassalam wahaiwaliyullah, kami ini sekedar budak dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan terus.’
Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di sebuah sungai khamr
berada di pinggir lembah, di sana terdapat bidadari-bidadari sangat
cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan bidadari-bidadari yang
telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu alaikunna, apakah di
antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, kami
sekedar pembantu dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan maju ke
depan.’
Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang mengalirkan madu
asli di sebuah taman dengan bidadari-bidadari sangat cantik berkilauan
wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan kecantikan para
bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman, kami ini pembantu dan pelayan bidadari jelita, silahkan maju lagi.’
Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di se-buah tenda
terbuat dari mutiara yang dilubangi, di depan tenda terdapat seorang
bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku sendiri
tidak mampu mengungkapka keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku dia
memberi kabar gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai
bidadari bermata jeli, suamimu datang!’
Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk. Aku mendapati
bidadari itu duduk di atas ranjang yang terbuat dari emas, bertahta
intan dan berlian. Begitu aku melihatnya aku terpesona sementara itu dia
menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir
tiba waktu kita bertemu.’ Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia
berkata, ‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku karena dalam tubuhmu
masih ada ruh kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku
di kediamanku, insya Allah. ‘
Seketika itu aku bangun dari tidurku wahai Abdul Wahid. Kini aku
sudah tidak bersabar lagi, ingin bertemu dengan bida-dari bermata jeli
itu.”
Abdul Wahid menuturkan, “Belum lagi pembicaraan kami (cerita tentang
mimpi) selesai, kami mendengar pasukan musuh telah mulai menyerang kami,
maka kami pun bergegas meng-angkat senjata begitu juga lelaki itu.
Setelah peperangan berakhir, kami menghitung jumlah para korban, kami
menemukan 9 orang musuh tewas dibunuh oleh lelaki itu, dan ia adalah
orang ke sepuluh yang terbunuh. Ketika aku melintas di dekat jenazahnya
aku lihat, tubuhnya berlu-muran darah sementara bibirnya tersenyum yang
mengantarkan pada akhir hidupnya.”
Minggu, 13 Mei 2012
Jumat, 11 Mei 2012
Tahukah Anda, Mereka Tidak Akan Mundur Dari Perjuangan
Diambil dari Kisah Syahidnya Tiga Panglima perang Mu'tah
Bangunan Islam tegak pertama kali melalui usaha Rasul yang mulia, dimulai dengan masuknya manusia pilihan ke dalam dinul Islam satu demi satu, lalu mereka dihadapkan hidup di atas panasnya bara ujian dan di atas situasi yang sangat sulit. Dihadapannya batu penggiling yang menggiling dan melumat urat syaraf, dalam hidup dan nafas mereka. Mereka hidup di atas penderitaan dan kesulitan. Melalui situasi seperti inilah tergembleng mental elemen elemen pertama yang kuat yang menjadi penopang bagi tegaknya bangunan Islam yang pertama
Rasul sebagai pemimpin dakwah tegak berdiri menyeru manusia agar meyakini tauhid, tauhid dengan segala jenisnya. Dia mendidik dan menggembleng para pengikutnya bukan dengan cara teori dan kajian belaka, tapi mendidik dan menggembleng mereka meyakini prinsip tauhid secara amal melalui berbagai kejadian dan peristiwa. Dimana kejadian dan peristiwa yang mereka hadapi itulah yang menjadi ajang untuk membuktikan keyakinan mereka terhadap prinsip tauhid. Tak mungkin bagi generasi pertama yang menjadi sentral berhimpunnya umat Islam, diberi kekuasaan di atas dunia jika tidak di gembleng lebih dulu dengan berbagai kesulitan, ujian dan cobaan. Oleh karena itu, ketika Imam As Syafi’i ditanya , “mana yang lebih layak bagi seorang hamba diberi kekuasaaan atau diuji?” maka beliau menjawab, “tidak akan mungkin dia diberi kekuasaan hingga dia diuji lebih dahulu.”
Cobaan, kemiskinan, kesengsaraan pun menghampiri dan menghimpit dada golongan muslim dan pemimpinnya, Muhammad SAW , sehingga hati mereka naik menyesak sampai ke tenggorokan, sampai sampai Rasul SAW yang begitu tegar pun berkata , “Bilakah pertolongan Allah tiba?”
Ya Allah, cobaan cobaan demikian berat itu sampai mendorong nabi SAW berkata , “Kapankah pertolongan Allah itu tiba?” … bagaimana dengan kita…?
Begitulah kondisi pengemblengan Rasulullah dengan para sahabatnya, banyak kisah yang dapat diambil ibrahnya, guna membekali keimanan yang harus kita jaga sebaik mungkin di akhir zaman ini.
Pernah tercatat dalam sejarah layaknya sebuah dongeng kepahlawanan, tapi kisah ini benar benar terjadi. Ditunjukkan bagaimana hasilnya pembinaan berdampak akan kuatnya iman dan tauhid bersamaan dengan gemblengan akidah melalui amal perjuangan. Teguhnya keyakinan Tauhid yang terangkat oleh amal soleh menuju Rabb nya untuk menjawab ujian dan godaan syetan yang mereka alami. Kisah ini tercatat dalam sejarah perang mut’ah.
Saat itu Rasulullah SAW telah mengirimkan pasukannya ke Mut’ah dibawah komando Zaid bin Haritsah. Pesan beliau bila dia gugur hendaklah digantikan oleh Jafar bin Abu Thalib, dan kalau ia gugur maka diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah, pasukan ketika itu berjumlah 3.000 orang, dan pasukan romawi kala itu berkisar 100.000 prajurit , suatu jumlah yang tak berimbang. Suatu jumlah secara matematis pastilah pasukan kaum muslimin akan hancur luluh lantak , bayangkan 1:33 , berarti kalaupun pertempuran dianggap imbang/seri berarti setiap prajurit mukmin yang terbunuh atau tidak terbunuh haruslah bisa membunuh 33 orang musuh !!!
Ketika tiba saat pelepasan pasukan untuk berangkat, salah satu dari ketiga panglima tersebut meneteskan air matanya sehingga orang orang bertanya,”mengapa engkau menangis, ya Abdullah bin Rawahah?”
Dia menjawab,” Demi Allah, aku meneteskan air mata bukan karena cintaku pada dunia dan bukan pula karena berat berpisah dengan kalian, melainkan karena aku telah mendengar Rasulullah membaca firman Allah tentang api neraka :
“Dan tak seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan “ (Maryam : 71)
Sedangkan aku tak tahu bagaimana nanti setelah aku melaluinya.”
Orang sekitarnya berkata,”Allah beserta kalian dan akan mengembalikan kalian dalam keadaan baik.”
Rasulullah sendiri membayangkan perang yang akan dihadapi akan menjadi luar biasa dasyat, karena itu beliau sendiri mengantarkan pasukannya hingga sejauh mungkin , seolah olah beliau hantarkan pasukan yang tak pernah kembali lagi dengan beliau, mengantarkan sesuatu yang akan terpisah di alam dunia, beliau antarkan sampai ke area Taniyah Al Wada…
Beberapa hari kemudian, ketika pasukan ini tiba di suatu dusun bernama Ma’an, mereka mendengar berita bahwa pasukan romawi telah berada di Ma’ab di daerah Al Balqa dengan 100.000 prajurit.
Mendengar itu semua, ada ketakutan dan keraguan di antara pasukan, sehingga pasukan muslimin memaksa tinggal selama dua malam di Ma’an , waktu persiapan tersebut digunakan untuk menyusun dan memikirkan langkah strategi selanjutnya, karena lawan yang dihadapi sangat besar dan tangguh dalam jumlah dan peralatan perangnya.
Hingga diantara mereka ada yang mengusulkan, ”kita laporkan saja kepada Rasulullah SAW agar dikirimkan bantuan atau diturunkan perintah untuk kita laksanakan,”
Tapi melihat kondisi adanya indikasi keraguan akan kekuatan pasukan muslimin, berdirilah Abdullah bin Rawahah membangkitkan semangat pasukan , dan ia berujar ,
“Wahai kaumku, demi Allah , sesuatu yang tidak kalian senangi tapi saat ini kalian keluar untuknya hanyalah untuk mati syahid. Kita memerangi musuh bukan berdasarkan jumlah prajurit atau kekuatan senjata, kita tidak berperang kecuali demi agama , yang dengan ini Allah melimpahkan karuniaNya kepada kita. Oleh karena itu, mari kita hadapi mereka bersama sama. Perang ini akan memberi kita satu dari dua kebaikan, kemenangan atau kematian sebagai syuhada.”
Seruan Abdullah berhasil membakar semangat para prajurit muslim. Mereka berkata satu sama lain, ”Abdullah bin Rawahah benar.”
Maka mereka pun terus bergerak maju cepat diringi syair syair perjuangan yang dibacakan Abdullah bin Rawahah dengan lantang dan jelas , hingga hilanglah rasa takut akan banyaknya serdadu musuh yang akan dihadapi.
Tibalah di daerah Balqa di desa Masarif, mereka berjumpa dengan pasukan Heraklius yang terdiri dari gabungan orang orang Arab dan Romawi. Ketika musuh makin dekat, pasukan muslimin bergeser ke Mu'tah, sebuah desa yang dipandang lebih sesuai untuk menyusun strategi serangan. Dari sini pasukan muslimin bergegas mengatur barisan pasukannya. Pasukan sayap kanan dipimpin oleh Qutbah bin Qatadah, seorang dari Bani Udzrah. Sayap kiri di bawah komando seorang Anshar bernama Abayah bin Malik.
Menurut riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, Rasulullah telah mengetahui bahwa para panglima yang ditunjuknya syahid sebelum berita mengenai itu tiba di Madinah. Beliau sangat berduka karenanya dan dikisahkannya kepada segenap muslimin madinah.
Ketika perang pecah di Mu'tah, Rasulullah sedang duduk di mimbar. Sementara mata beliau sembab tergenang air mata. Tergambar di mata beliau pertempuran sengit di Syam itu rupanya, sehingga beliau berkata,
“ Zaid sedang membawa panji panji kemudian setan datang merayunya agar cinta dunia dan takut mati. Dia memarahi dirinya,”sekarang, saat datang ujian atas iman, engkau hendak menyukai dunia?! Lalu ia maju bertempur dengan ganas sampai menemui ajalnya.
Rasulullah kemudian melakukan sholat ghaib untuk Zaid, setelah itu beliau melanjutkan ceritanya,
“beristighfarlah untuknya. Dia telah masuk surga sebagai syuhada.
Gemuruh takbir dari para sahabat ….Allahu Akbar……!!!
Kini panji panji dipegang oleh Jafar bin Abu Thalib, setan kembali menggoda dengan cinta dunia, senang hidup, dan benci mati, lalu dia berkata,”sekarang di saat iman diuji di hati mukminin, engkau datang pula merayu rayu!” dia maju sampai gugur sebagai syuhada.
Rasulullah melakukan sholat ghaib baginya dan berkata, “Doakanlah saudaramu ini, dia masuk surga dengan sepasang sayap.”
Kembali gemuruh takbir dari sahabat…Allahu Akbar…!!!
Beliau melanjutkan , “Panji panji itu sekarang beralih ke tangan Abdullah bin Rawahah. Dia pun akhirnya gugur, lalu pergi ke surga dengan mundur.” Golongan Anshar cemas mendengar itu dan bertanya, “Mengapa demikian , ya Rasulullah?
“pada saat dia cedera, ia menyalahkan dirinya dan sempat putus asa. Tapi kemudian semangat juangnya kembali berkobar dan berjuang sampai syahid dan masuk surga.”
Kembali gemuruh takbir dari para sahabat…Allahu Akbar…!!!
ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR gemuruh menyambut kabar syahidnya para sahabat , saudara mereka sesama muslim memasuki surga tanpa hisab…. Suatu gambaran yang indah dan penuh haru, karena para sahabat yang saat itu hadir didepan mimbar tersebut rindu sekali dan ingin sekali meraih surga seperti ketiga panglima perang yang dikabarkan oleh Rasul tercintanya.
Terukir pula dalam sejarah, syair Abdullah bin Rawahah menjelang syahidnya :
“ Aku bersumpah, Wahai jiwaku
Masuklah engkau, masuklah ke medan perang
Atau kupaksakan padamu
Bila semua orang telah berbaris berteriak , MAJU…!
Mengapa masih juga membenci surga?
Sudah lama hidupmu dalam ketenangan
Engkau tidaklah lebih dari setetes mani tua.”
Akhirnya diapun maju seraya berkata :
“Jiwa, oh jiwa
kalaupun tak terbunuh disini
dirimu pasti kan mati
inilah jalan keabadian paling sempurna
saat dinanti telah tiba
lakukanlah seperti keduanya (Zaid Bin Haritsah dan Jafar Abu Thalib yang telah syahid lebih dulu)
Engkau tentu bahagia
Ketika hendak ia memulai serangan, seorang sepupunya mendekat sambil menyodorkan sepotong daging bakar seraya berucap,”makanlah ini agar lebih kuat.” Di cuwilnya sedikit, ketika kemudian telinganya mendengar gemuruh pertempuran di sekitarnya, dia tersadar dan memarahi dirinya sendiri,”engkau masih di dunia!” segera dicampakkannya daging di tangannya dan tanpa menunda nunda lagi, ia turun ke medan perang, bercampur dengan pedang berkelebat kesana kemari berkilauan tertimpa sinar mentari sampai syahidlah ia menyusul sahabat sahabatnya.
……..
Begitulah bila iman sudah meresap di dalam hati mereka, yang dihadapan mereka hanya indahnya surga, walau mereka masih didunia. Segala godaan dan ujian dunia mereka hempaskan, mereka buang jauh jauh godaan tersebut. Mereka tidak menimbang faktor dunia sebagai penentu langkah perjuangannya, dan mereka tidak mundur dan tidak berbalik melihat jumlah pasukan yang tidak imbang, atau bahkan karena disebabkan kurangnya dan habisnya logistik, mereka tidak lari kebelakang, mereka tidak memikirkan kepentingan pribadi mereka sendiri, mereka bersatu kala ancaman datang kepada mereka. Mereka hanya ada satu harapan yaitu mereka ingin masuk surga.
Semoga kita semua yang telah mengaku ingin berjuang untuk Islam tidak terbuai dengan banyaknya dunia yang kita miliki sehingga tujuan dakwah menjadi menyimpang atau sebaliknya merasa lemah karena kurangnya atau habisnya logistik perjuangan sehingga meninggalkan jalan dakwah…Semoga Allah berikan ketegaran dan kesabaran dalam menjalani pahit manisnya jalan dakwah ini yang penuh liku dan mengikuti jejak para Nabi, para sahabat, dan para mujahid dakwah hingga akhir zaman menuju surgaNya Allah… Aamiin
Bangunan Islam tegak pertama kali melalui usaha Rasul yang mulia, dimulai dengan masuknya manusia pilihan ke dalam dinul Islam satu demi satu, lalu mereka dihadapkan hidup di atas panasnya bara ujian dan di atas situasi yang sangat sulit. Dihadapannya batu penggiling yang menggiling dan melumat urat syaraf, dalam hidup dan nafas mereka. Mereka hidup di atas penderitaan dan kesulitan. Melalui situasi seperti inilah tergembleng mental elemen elemen pertama yang kuat yang menjadi penopang bagi tegaknya bangunan Islam yang pertama
Rasul sebagai pemimpin dakwah tegak berdiri menyeru manusia agar meyakini tauhid, tauhid dengan segala jenisnya. Dia mendidik dan menggembleng para pengikutnya bukan dengan cara teori dan kajian belaka, tapi mendidik dan menggembleng mereka meyakini prinsip tauhid secara amal melalui berbagai kejadian dan peristiwa. Dimana kejadian dan peristiwa yang mereka hadapi itulah yang menjadi ajang untuk membuktikan keyakinan mereka terhadap prinsip tauhid. Tak mungkin bagi generasi pertama yang menjadi sentral berhimpunnya umat Islam, diberi kekuasaan di atas dunia jika tidak di gembleng lebih dulu dengan berbagai kesulitan, ujian dan cobaan. Oleh karena itu, ketika Imam As Syafi’i ditanya , “mana yang lebih layak bagi seorang hamba diberi kekuasaaan atau diuji?” maka beliau menjawab, “tidak akan mungkin dia diberi kekuasaan hingga dia diuji lebih dahulu.”
Cobaan, kemiskinan, kesengsaraan pun menghampiri dan menghimpit dada golongan muslim dan pemimpinnya, Muhammad SAW , sehingga hati mereka naik menyesak sampai ke tenggorokan, sampai sampai Rasul SAW yang begitu tegar pun berkata , “Bilakah pertolongan Allah tiba?”
Ya Allah, cobaan cobaan demikian berat itu sampai mendorong nabi SAW berkata , “Kapankah pertolongan Allah itu tiba?” … bagaimana dengan kita…?
Begitulah kondisi pengemblengan Rasulullah dengan para sahabatnya, banyak kisah yang dapat diambil ibrahnya, guna membekali keimanan yang harus kita jaga sebaik mungkin di akhir zaman ini.
Pernah tercatat dalam sejarah layaknya sebuah dongeng kepahlawanan, tapi kisah ini benar benar terjadi. Ditunjukkan bagaimana hasilnya pembinaan berdampak akan kuatnya iman dan tauhid bersamaan dengan gemblengan akidah melalui amal perjuangan. Teguhnya keyakinan Tauhid yang terangkat oleh amal soleh menuju Rabb nya untuk menjawab ujian dan godaan syetan yang mereka alami. Kisah ini tercatat dalam sejarah perang mut’ah.
Saat itu Rasulullah SAW telah mengirimkan pasukannya ke Mut’ah dibawah komando Zaid bin Haritsah. Pesan beliau bila dia gugur hendaklah digantikan oleh Jafar bin Abu Thalib, dan kalau ia gugur maka diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah, pasukan ketika itu berjumlah 3.000 orang, dan pasukan romawi kala itu berkisar 100.000 prajurit , suatu jumlah yang tak berimbang. Suatu jumlah secara matematis pastilah pasukan kaum muslimin akan hancur luluh lantak , bayangkan 1:33 , berarti kalaupun pertempuran dianggap imbang/seri berarti setiap prajurit mukmin yang terbunuh atau tidak terbunuh haruslah bisa membunuh 33 orang musuh !!!
Ketika tiba saat pelepasan pasukan untuk berangkat, salah satu dari ketiga panglima tersebut meneteskan air matanya sehingga orang orang bertanya,”mengapa engkau menangis, ya Abdullah bin Rawahah?”
Dia menjawab,” Demi Allah, aku meneteskan air mata bukan karena cintaku pada dunia dan bukan pula karena berat berpisah dengan kalian, melainkan karena aku telah mendengar Rasulullah membaca firman Allah tentang api neraka :
“Dan tak seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan “ (Maryam : 71)
Sedangkan aku tak tahu bagaimana nanti setelah aku melaluinya.”
Orang sekitarnya berkata,”Allah beserta kalian dan akan mengembalikan kalian dalam keadaan baik.”
Rasulullah sendiri membayangkan perang yang akan dihadapi akan menjadi luar biasa dasyat, karena itu beliau sendiri mengantarkan pasukannya hingga sejauh mungkin , seolah olah beliau hantarkan pasukan yang tak pernah kembali lagi dengan beliau, mengantarkan sesuatu yang akan terpisah di alam dunia, beliau antarkan sampai ke area Taniyah Al Wada…
Beberapa hari kemudian, ketika pasukan ini tiba di suatu dusun bernama Ma’an, mereka mendengar berita bahwa pasukan romawi telah berada di Ma’ab di daerah Al Balqa dengan 100.000 prajurit.
Mendengar itu semua, ada ketakutan dan keraguan di antara pasukan, sehingga pasukan muslimin memaksa tinggal selama dua malam di Ma’an , waktu persiapan tersebut digunakan untuk menyusun dan memikirkan langkah strategi selanjutnya, karena lawan yang dihadapi sangat besar dan tangguh dalam jumlah dan peralatan perangnya.
Hingga diantara mereka ada yang mengusulkan, ”kita laporkan saja kepada Rasulullah SAW agar dikirimkan bantuan atau diturunkan perintah untuk kita laksanakan,”
Tapi melihat kondisi adanya indikasi keraguan akan kekuatan pasukan muslimin, berdirilah Abdullah bin Rawahah membangkitkan semangat pasukan , dan ia berujar ,
“Wahai kaumku, demi Allah , sesuatu yang tidak kalian senangi tapi saat ini kalian keluar untuknya hanyalah untuk mati syahid. Kita memerangi musuh bukan berdasarkan jumlah prajurit atau kekuatan senjata, kita tidak berperang kecuali demi agama , yang dengan ini Allah melimpahkan karuniaNya kepada kita. Oleh karena itu, mari kita hadapi mereka bersama sama. Perang ini akan memberi kita satu dari dua kebaikan, kemenangan atau kematian sebagai syuhada.”
Seruan Abdullah berhasil membakar semangat para prajurit muslim. Mereka berkata satu sama lain, ”Abdullah bin Rawahah benar.”
Maka mereka pun terus bergerak maju cepat diringi syair syair perjuangan yang dibacakan Abdullah bin Rawahah dengan lantang dan jelas , hingga hilanglah rasa takut akan banyaknya serdadu musuh yang akan dihadapi.
Tibalah di daerah Balqa di desa Masarif, mereka berjumpa dengan pasukan Heraklius yang terdiri dari gabungan orang orang Arab dan Romawi. Ketika musuh makin dekat, pasukan muslimin bergeser ke Mu'tah, sebuah desa yang dipandang lebih sesuai untuk menyusun strategi serangan. Dari sini pasukan muslimin bergegas mengatur barisan pasukannya. Pasukan sayap kanan dipimpin oleh Qutbah bin Qatadah, seorang dari Bani Udzrah. Sayap kiri di bawah komando seorang Anshar bernama Abayah bin Malik.
Menurut riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, Rasulullah telah mengetahui bahwa para panglima yang ditunjuknya syahid sebelum berita mengenai itu tiba di Madinah. Beliau sangat berduka karenanya dan dikisahkannya kepada segenap muslimin madinah.
Ketika perang pecah di Mu'tah, Rasulullah sedang duduk di mimbar. Sementara mata beliau sembab tergenang air mata. Tergambar di mata beliau pertempuran sengit di Syam itu rupanya, sehingga beliau berkata,
“ Zaid sedang membawa panji panji kemudian setan datang merayunya agar cinta dunia dan takut mati. Dia memarahi dirinya,”sekarang, saat datang ujian atas iman, engkau hendak menyukai dunia?! Lalu ia maju bertempur dengan ganas sampai menemui ajalnya.
Rasulullah kemudian melakukan sholat ghaib untuk Zaid, setelah itu beliau melanjutkan ceritanya,
“beristighfarlah untuknya. Dia telah masuk surga sebagai syuhada.
Gemuruh takbir dari para sahabat ….Allahu Akbar……!!!
Kini panji panji dipegang oleh Jafar bin Abu Thalib, setan kembali menggoda dengan cinta dunia, senang hidup, dan benci mati, lalu dia berkata,”sekarang di saat iman diuji di hati mukminin, engkau datang pula merayu rayu!” dia maju sampai gugur sebagai syuhada.
Rasulullah melakukan sholat ghaib baginya dan berkata, “Doakanlah saudaramu ini, dia masuk surga dengan sepasang sayap.”
Kembali gemuruh takbir dari sahabat…Allahu Akbar…!!!
Beliau melanjutkan , “Panji panji itu sekarang beralih ke tangan Abdullah bin Rawahah. Dia pun akhirnya gugur, lalu pergi ke surga dengan mundur.” Golongan Anshar cemas mendengar itu dan bertanya, “Mengapa demikian , ya Rasulullah?
“pada saat dia cedera, ia menyalahkan dirinya dan sempat putus asa. Tapi kemudian semangat juangnya kembali berkobar dan berjuang sampai syahid dan masuk surga.”
Kembali gemuruh takbir dari para sahabat…Allahu Akbar…!!!
ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR gemuruh menyambut kabar syahidnya para sahabat , saudara mereka sesama muslim memasuki surga tanpa hisab…. Suatu gambaran yang indah dan penuh haru, karena para sahabat yang saat itu hadir didepan mimbar tersebut rindu sekali dan ingin sekali meraih surga seperti ketiga panglima perang yang dikabarkan oleh Rasul tercintanya.
Terukir pula dalam sejarah, syair Abdullah bin Rawahah menjelang syahidnya :
“ Aku bersumpah, Wahai jiwaku
Masuklah engkau, masuklah ke medan perang
Atau kupaksakan padamu
Bila semua orang telah berbaris berteriak , MAJU…!
Mengapa masih juga membenci surga?
Sudah lama hidupmu dalam ketenangan
Engkau tidaklah lebih dari setetes mani tua.”
Akhirnya diapun maju seraya berkata :
“Jiwa, oh jiwa
kalaupun tak terbunuh disini
dirimu pasti kan mati
inilah jalan keabadian paling sempurna
saat dinanti telah tiba
lakukanlah seperti keduanya (Zaid Bin Haritsah dan Jafar Abu Thalib yang telah syahid lebih dulu)
Engkau tentu bahagia
Ketika hendak ia memulai serangan, seorang sepupunya mendekat sambil menyodorkan sepotong daging bakar seraya berucap,”makanlah ini agar lebih kuat.” Di cuwilnya sedikit, ketika kemudian telinganya mendengar gemuruh pertempuran di sekitarnya, dia tersadar dan memarahi dirinya sendiri,”engkau masih di dunia!” segera dicampakkannya daging di tangannya dan tanpa menunda nunda lagi, ia turun ke medan perang, bercampur dengan pedang berkelebat kesana kemari berkilauan tertimpa sinar mentari sampai syahidlah ia menyusul sahabat sahabatnya.
……..
Begitulah bila iman sudah meresap di dalam hati mereka, yang dihadapan mereka hanya indahnya surga, walau mereka masih didunia. Segala godaan dan ujian dunia mereka hempaskan, mereka buang jauh jauh godaan tersebut. Mereka tidak menimbang faktor dunia sebagai penentu langkah perjuangannya, dan mereka tidak mundur dan tidak berbalik melihat jumlah pasukan yang tidak imbang, atau bahkan karena disebabkan kurangnya dan habisnya logistik, mereka tidak lari kebelakang, mereka tidak memikirkan kepentingan pribadi mereka sendiri, mereka bersatu kala ancaman datang kepada mereka. Mereka hanya ada satu harapan yaitu mereka ingin masuk surga.
Semoga kita semua yang telah mengaku ingin berjuang untuk Islam tidak terbuai dengan banyaknya dunia yang kita miliki sehingga tujuan dakwah menjadi menyimpang atau sebaliknya merasa lemah karena kurangnya atau habisnya logistik perjuangan sehingga meninggalkan jalan dakwah…Semoga Allah berikan ketegaran dan kesabaran dalam menjalani pahit manisnya jalan dakwah ini yang penuh liku dan mengikuti jejak para Nabi, para sahabat, dan para mujahid dakwah hingga akhir zaman menuju surgaNya Allah… Aamiin
Carnegie-Buffett
Warren Buffett. Siapa yang tak kenal nama ini. Sedikitnya, tiap
orangyang membaca berita-berita ekonomi, atau pemain di bursa saham
seluruh dunia, mengenal nama ini dengan baik. Bukan hanya mengenal,
tetapi juga mencoba meniru sepak terjangnya, belajar darinya, atau
bahkan ingin menjadi seperti Buffett.
Selama bertahun-tahun nama Buffett tercantum sebagai salah satu dari orang terkaya di dunia, bergantian dengan Bill Gates. Dalam biografi berjudul The Snowball yang ditulis Alice Schroeder tahun 2008 (diterjemahkan oleh penerbit Elexmedia, 2010, setebal lebih dari 1352 halaman), disebutkan jumlah kekayaan pribadinya pernah melebihi 60 miliar dolar Amerika, sekitar Rp 540 triliun. (Jika harta Buffett dibagikan kepada 30 juta penduduk miskin di Indonesia, maka masing-masing orang akan kebagian 2.000 dolar Amerika, kurang lebih Rp 18 juta).
Nama besar Buffett inilah yang membuat saya langsung duduk menonton tayangan mini biografinya di sebuah saluran tivi berbayar belum lama ini. Sayang saya hanya sempat melihat tayangan 15 menitan terakhir. Namun, ada satu hal yang menggelitik pikiran saya ketika Buffett bicara tentang sertifikat yang dipajang di kantornya.
Ia mengatakan bahwa tidak satu pun ijazah pendidikan formalnya yang tertempel di dinding tempatnya bekerja. Tetapi sertifikat dari Dale Carnegie Training ada. Ketika ditanya mengapa begitu, ia menjawab singkat, "Pelatihan Dale Carnegie mengubah hidup saya".
Sebagai mantan instruktur senior berlisensi Dale Carnegie Training, saya menduga bahwa program pelatihan yang mengubah hidup Warren Buffett itu adalah Effective Speaking and Human Relations(ESHR). Program ini merupakan satu dari dua program yang memang dirancang langsung oleh Dale Carnegie (1888-1955) lewat proses panjang yang mengagumkan. Diujicoba dan dilatihkan untuk umum sejak 1912, pelatihan yang awalnya bernama Public Speaking for Businessmen ini memang fenomenal, sehingga "penganut"ajaran Carnegie disebut Carnegian. (Bisa ditambahkan bahwa Mochtar Riady, pendiri kelompok Lippo; Jonathan L. Parapak, Direktur Utama PT Indosat pada masa Orde Baru, dan Cacuk Sudarijanto, yang pernah menjabat sebagai Direktur Telkom, adalah alumni Dale Carnegie Training tahun 70-an akhir).
Apa inti pokok ajaran Carnegie, yang berhasil menginspirasi dan mengubah hidup banyak orang, termasuk orang sekaliber Buffett?
Jawabannya bisa ditemukan dalam dua karya klasik: How To Win Friends and Influence People (terbitan 1936) danHow To Stop Worrying and Start Living (1948). Kedua bukubest-seller sepanjang masa itu yang ditulis oleh Dale Carnegie berdasarkan catatan yang amat cermat dari kesaksian peserta pelatihannya selama puluhan tahun, ditambah sejumlah referensi. Gaya penulisannya populer, sehingga sangat nikmat dibaca.
Dalam How to Win, Carnegie secara cerdas merumuskan 30 cara atau teknik untuk menjadi pribadi yang disukai, rekan kerja yang menyenangkan, dan pemimpin yang efektif. Ke-30 teknik human relations itu bisa dibedakan dalam tiga kategori.
Kategori pertama untuk mendapatkan teman, yang memuat 9 cara agar mudah disenangi orang lain. Mulai dari anjuran menghindari kebiasaan menyalahkan, mengomeli, dan mengkritik; berikan penghargaan kepada orang lain; beri dorongan untuk maju; berikan perhatian yang tulus ikhlas; tersenyumlah; sebutkan nama lawan bicara; jadilah pendengar yang baik; bicarakan hal yang diminati orang lain; sampai buatlah orang merasa sebagai very important person (VIP).
Kategori kedua untuk mendapatkan kerja sama antusias dari rekan kerja, berisi 12 cara. Mulai dari anjuran untuk menghindari debat kusir; hormatilah pendapat orang lain; kalau salah akui dengan simpatik; mulailah dengan ramah; upayakan respons ya, ya, dan ya; biarkan orang lain berbicara lebih banyak; buat orang merasa bahwa itu idenya; cobalah melihat dari sudut pandang orang lain; tunjukkan simpati para ide orang lain; imbau dengan motivasi agung dan mulia; dramatisir ide-ide Anda; sampai berilah tantangan untuk maju.
Dan kategori ketiga, berisi 9 cara menjalankan peran
sebagai pemimpin yang menghargai manusia. Mulai dengan penghargaan yang
jujur; beritahu kesalahan orang secara tidak langsung; akui kesalahan
sendiri sebelum mengkritik orang; ajukan pertanyaan sebagai ganti
perintah langsung; selamatkan muka orang; pujilah kemajuan sekecil apa
pun; beri reputasi tinggi untuk dicapai; buatlah kesalahan tampak mudah
diperbaiki; sampai buatlah orang lain senang melaksanakan ide Anda.
Dalam How To Stop Worrying, Carnegie juga menawarkan 30 tehnik mengatasi kecemasan dan kekhawatiran yang tak perlu. Mulai dari fakta-fakta fundamental yang perlu diketahui tentang kesedihan hati; teknik dasar menganalisis kesedihan hati; bagaimana menghancurkan kebiasaan bersedih hati; tujuh cara mengembangkan sikap mental agar hidup tenteram bahagia; cara paling sempurna untuk tak bersedih; cara menghadapi kritik orang; enam cara agar jangan lekas lelah; mencari pekerjaan yang membuat Anda bahagia; mengurangi kekhawatiran karena masalah keuangan; dan
seterusnya.
Jadi, ajaran Dale Carnegie bertumpu sedikitnya pada lima pilar utama. Pertama, jadilah kawan yang menyenangkan. Kedua, jadilah rekan kerja yang antusias. Ketiga, jadilah pemimpin yang efektif. Keempat, kuasailah cara mengatasi ketakutan, kekhawatiran, kecemasan atau kesedihan hati. Dan akhirnya, jadilah pembicara yang baik.
Buffett mendapatkan manfaat besar yang mengubah hidupnya dari ajaran tersebut. Anda?
Selama bertahun-tahun nama Buffett tercantum sebagai salah satu dari orang terkaya di dunia, bergantian dengan Bill Gates. Dalam biografi berjudul The Snowball yang ditulis Alice Schroeder tahun 2008 (diterjemahkan oleh penerbit Elexmedia, 2010, setebal lebih dari 1352 halaman), disebutkan jumlah kekayaan pribadinya pernah melebihi 60 miliar dolar Amerika, sekitar Rp 540 triliun. (Jika harta Buffett dibagikan kepada 30 juta penduduk miskin di Indonesia, maka masing-masing orang akan kebagian 2.000 dolar Amerika, kurang lebih Rp 18 juta).
Nama besar Buffett inilah yang membuat saya langsung duduk menonton tayangan mini biografinya di sebuah saluran tivi berbayar belum lama ini. Sayang saya hanya sempat melihat tayangan 15 menitan terakhir. Namun, ada satu hal yang menggelitik pikiran saya ketika Buffett bicara tentang sertifikat yang dipajang di kantornya.
Ia mengatakan bahwa tidak satu pun ijazah pendidikan formalnya yang tertempel di dinding tempatnya bekerja. Tetapi sertifikat dari Dale Carnegie Training ada. Ketika ditanya mengapa begitu, ia menjawab singkat, "Pelatihan Dale Carnegie mengubah hidup saya".
Sebagai mantan instruktur senior berlisensi Dale Carnegie Training, saya menduga bahwa program pelatihan yang mengubah hidup Warren Buffett itu adalah Effective Speaking and Human Relations(ESHR). Program ini merupakan satu dari dua program yang memang dirancang langsung oleh Dale Carnegie (1888-1955) lewat proses panjang yang mengagumkan. Diujicoba dan dilatihkan untuk umum sejak 1912, pelatihan yang awalnya bernama Public Speaking for Businessmen ini memang fenomenal, sehingga "penganut"ajaran Carnegie disebut Carnegian. (Bisa ditambahkan bahwa Mochtar Riady, pendiri kelompok Lippo; Jonathan L. Parapak, Direktur Utama PT Indosat pada masa Orde Baru, dan Cacuk Sudarijanto, yang pernah menjabat sebagai Direktur Telkom, adalah alumni Dale Carnegie Training tahun 70-an akhir).
Jawabannya bisa ditemukan dalam dua karya klasik: How To Win Friends and Influence People (terbitan 1936) danHow To Stop Worrying and Start Living (1948). Kedua bukubest-seller sepanjang masa itu yang ditulis oleh Dale Carnegie berdasarkan catatan yang amat cermat dari kesaksian peserta pelatihannya selama puluhan tahun, ditambah sejumlah referensi. Gaya penulisannya populer, sehingga sangat nikmat dibaca.
Dalam How to Win, Carnegie secara cerdas merumuskan 30 cara atau teknik untuk menjadi pribadi yang disukai, rekan kerja yang menyenangkan, dan pemimpin yang efektif. Ke-30 teknik human relations itu bisa dibedakan dalam tiga kategori.
Kategori pertama untuk mendapatkan teman, yang memuat 9 cara agar mudah disenangi orang lain. Mulai dari anjuran menghindari kebiasaan menyalahkan, mengomeli, dan mengkritik; berikan penghargaan kepada orang lain; beri dorongan untuk maju; berikan perhatian yang tulus ikhlas; tersenyumlah; sebutkan nama lawan bicara; jadilah pendengar yang baik; bicarakan hal yang diminati orang lain; sampai buatlah orang merasa sebagai very important person (VIP).
Kategori kedua untuk mendapatkan kerja sama antusias dari rekan kerja, berisi 12 cara. Mulai dari anjuran untuk menghindari debat kusir; hormatilah pendapat orang lain; kalau salah akui dengan simpatik; mulailah dengan ramah; upayakan respons ya, ya, dan ya; biarkan orang lain berbicara lebih banyak; buat orang merasa bahwa itu idenya; cobalah melihat dari sudut pandang orang lain; tunjukkan simpati para ide orang lain; imbau dengan motivasi agung dan mulia; dramatisir ide-ide Anda; sampai berilah tantangan untuk maju.
Dalam How To Stop Worrying, Carnegie juga menawarkan 30 tehnik mengatasi kecemasan dan kekhawatiran yang tak perlu. Mulai dari fakta-fakta fundamental yang perlu diketahui tentang kesedihan hati; teknik dasar menganalisis kesedihan hati; bagaimana menghancurkan kebiasaan bersedih hati; tujuh cara mengembangkan sikap mental agar hidup tenteram bahagia; cara paling sempurna untuk tak bersedih; cara menghadapi kritik orang; enam cara agar jangan lekas lelah; mencari pekerjaan yang membuat Anda bahagia; mengurangi kekhawatiran karena masalah keuangan; dan
seterusnya.
Jadi, ajaran Dale Carnegie bertumpu sedikitnya pada lima pilar utama. Pertama, jadilah kawan yang menyenangkan. Kedua, jadilah rekan kerja yang antusias. Ketiga, jadilah pemimpin yang efektif. Keempat, kuasailah cara mengatasi ketakutan, kekhawatiran, kecemasan atau kesedihan hati. Dan akhirnya, jadilah pembicara yang baik.
Buffett mendapatkan manfaat besar yang mengubah hidupnya dari ajaran tersebut. Anda?
Senin, 07 Mei 2012
PENTINGNYA MEMILIKI NIAT UNTUK BERBUAT BAIK SETIAP HARI
Seorang
yang beriman menjalani seluruh hidupnya berdasarkan Al Qur'an, dan
berusaha menerapkan secara hati-hati dari hari ke hari apa yang telah ia
baca dan pelajari dalam ayat-ayatnya. Dalam segala perbuatannya, sejak
saat dia bangun di pagi hari sampai waktu dia tertidur di malam hari,
dia memiliki niat bahwa dalam berpikir, berbicara dan bertindak itu
harus sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur'an
Allah Menyatakan kepada kita dalam Al Qur'an bahwa pengabdian seperti ini yang mendominasi seluruh kehidupan orang yang beriman.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(Surat Al-An’am: 162)
Sejak
saat seorang muslim memiliki iman, ia telah membuat keputusan untuk
menghabiskan setiap saat dalam hidupnya untuk mendapatkan ridha Allah.
Sejak saat itu, ia menunjukkan semangat rohani dan usaha yang besar baik
dalam segi material maupun spiritual. Namun, karena kecenderungan yang
melekat, seorang Muslim tidak pernah merasa bahwa imannya sudah berada
pada tingkat yang cukup, sehingga selama belum sampai pada napas
terakhirnya, ia selalu memiliki kesempatan untuk meningkatkan
keimanannya di setiap saat dalam hidupnya.
Dengan
demikian, maka setiap hari, setiap jam, setiap saat, dia harus sekali
lagi membuat niat dalam hatinya untuk memperdalam imannya,
memperbaharuinya dan berkomitmen untuk menghabiskan setiap saat dalam
hidupnya dalam mengerjakan amal saleh sehingga mendapatkan ridhlo Allah.
Orang Yang Beriman Harus Memperbaharui Niatnya Setiap Hari
Pada
saat ini, seperti saat kita sedang membaca artikel ini, kitapun dapat
memperbaharui niat kita. Sejak saat ini, kita dapat berniat untuk
menghabiskan waktu kita, menggunakan kesempatan kita, dan mengerahkan
segenap kekuatan spiritual dan fisik kita untuk digunakan pada hal-hal
yang jauh lebih berguna, penuh perhatian dan tulus
Kita
bisa menilai setiap kesempatan dalam melaksanakan segala macam ibadah
dengan penuh semangat. Kita bisa mengamati setiap kesempatan yang dapat
menjadikan kita mendapatkan ridha Allah dan berlomba untuk melakukan
amal saleh.
Kita
bisa mengalami kemajuan dalam rangka mendapatkan ridha Allah jika tidak
memiliki pemikiran seperti "Saya sudah membuat perbuatan yang baik ini,
dan ini sudah cukup untuk hari ini," atau "Dibandingkan dengan orang
lain di sekitar saya, saya sudah melakukan banyak usaha yang lebih
besar, dan dalam hal apapun, saya lebih baik dari mereka",.
Apa
yang dimaksud di sini adalah keadaan yang sangat berbeda dan khas dari
pikiran. Tidak diragukan lagi, seorang Muslim menghabiskan setiap
waktunya sesuai dengan moralitas Al-Qur'an. Namun, sikap seseorang yang
membuat keputusan secara sadar dan tegas mengenai hal ini sangat jauh
berbeda, untuk hati nurani seseorang yang seperti itu, hal ini sangat
sensitif.
Dia
sangat peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Dia lebih
waspada terhadap pekerjaan yang sulit, dibandingkan dengan orang yang
lain. Dia adalah orang yang selalu berbicara dengan kata-kata terbaik.
Dia lebih baik, lebih damai dan lebih positif dibandingkan dengan orang
yang lain.
Dia
adalah orang yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Dia lebih
memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan berusaha untuk
memenuhinya, sebelum orang lain melakukannya. Dia selalu berpenampilan
dengan gaya yang damai dan sesuai. Suasana hatinya sangat berbeda dan
positif, dimana orang lain langsung bisa mengetahuinya.
Orang
beriman Berniat untuk Hidup dengan Nilai Moral Yang Diajarkan oleh
Allah dalam Al Qur'an dengan Cara Terbaik selama 24 Jam Sehari.
Apapun
kondisinya, orang beriman tidak akan berkompromi dalam menunjukkan
akhlak yang tinggi. Nilai-nilai mereka tidak berubah, mereka selalu
menyesuaikan dengan apa yang Allah Perintah dan Ridhoi.
Mereka mengambil Muhammad Rasulullah (saw) sebagai suri tauladan mereka yang Allah Puji dalam Al Qur'an dalam kata-kata ini:
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (Surat Al-Qalam: 4)
Hanya
ada satu cara untuk selamat dari hancur dalam siksaan kekal api neraka,
yaitu hidup menurut Al-Qur'an dan Sunnah, dimana dengan cara ini, Alloh
Menghadiahkan kepada manusia "suatu kemenangan"
Hidup
dalam Al-Qur’an dan Sunnah lah yang menyelamatkan manusia dari
kebodohan, di mana mereka tenggelam, cara berpikir mereka yang primitif,
lingkungan yang penuh dengan stres, karakter negatif, ketakutan yang
tak berdasar, keyakinan yang sesat, dimana kesemuanya inilah yang
merupakan penyebab dari disiksanya dalam neraka.
Dengan
menerapkan hidup berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, mereka memperoleh
pemahaman dan kebijaksanaan, nilai yang lebih tinggi, lingkungan yang
wajar, penuh dengan ketenangan pikiran, dan yang terpenting adalah hidup
di Surga yang penuh dengan berkah tiada akhir.
Hanya
ada satu cara untuk menghapus semua kecemasan, pertempuran, perang,
permusuhan, kemiskinan, kemelaratan dan kemarahan yang mengisi dunia:
yaitu dengan hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an dan Sunnah Muhammad
(saw). Tidak ada cara lain bagi seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan,
kesejahteraan, keadilan, kasih dan damai yang dia inginkan
Hidup
menurut Al-Qur'an dan Sunnah adalah semacam sebuah tameng terhadap
ketidakadilan, konflik, ketidaksetaraan, iri hati, perang,
ketidakseimbangan, kotoran, ketakutan, kefanatikan, kekejaman,
kekerasan, amoral, dan hal lain seperti itu adalah solusi yang paling
dasar bagi manusia agar mereka dapat hidup dengan nyaman, damai, penuh
kebahagiaan dan keadilan.
Meskipun
demikian, dan karena mereka telah berpaling dari moralitas agama yang
benar demi keuntungan kecil, keuntungan duniawi dan kelemahan manusia
itu sendiri, sebagian orang menimbulkan kerusakan besar pada diri mereka
sendiri. Bagi manusia, dengan berpaling dari moralitas Al-Qur'an dan
Sunnah, ini berarti bahwa ia akan tetap tidak sadar akan kebenaran yang
merupakan hal yang sangat penting untuk diketahuinya.
Namun,
sumber daya yang telah dikumpulkan oleh dia dan manusia fana seperti
dia, tidak akan cukup untuk bertahan hidup dalam situasi dan masalah
yang mereka hadapi di dunia. Orang-orang seperti mereka akan
menghabiskan seluruh hidup mereka didalam kecemasan, kekhawatiran,
stres, ketakutan dan kesulitan, dan tidak ada solusi untuk masalah
mereka. Dan pada akhirnya, mereka akan menerima situasi ini sebagai
suatu yang normal dan akan menghabiskan sisa hidup mereka dalam keadaan
tertipu, dan mereka berpikir bahwa penderitaan mereka adalah "sebuah
kenyataan hidup", padahal keadaan seperti itu sebenarnya merupakan
hukuman karena tidak menjalani hidup dengan prinsip-prinsip moralitas
agama.
Orang-orang
beriman yang mengikuti nilai-nilai yang ditetapkan oleh Allah dalam Al
Qur'an dan membuat mereka menang atas setiap saat dalam hidup mereka,
akan hidup dalam keadaan terbaik
Allah mengumumkan kabar baik untuk orang beriman dalam kata-kata berikut:
Dan
sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang
mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan
yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan
mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (Surat
Saba: 37)
Orang
beriman mengalami efek positif dari "memperbaharui niatnya" setiap
hari. Tujuan seorang beriman yang memiliki sikap moral seperti ini
(selalu memperbaharui niat) adalah agar menjadi salah seorang diantara
"para hamba yang paling dicintai Allah." Untuk alasan seperti ini, saat
dia bisa sepenuhnya mengadopsi sikap moralitas ini, ia sekali lagi
berkeinginan untuk menjadi lebih tulus, lebih sensitif terhadap ridha
Allah, dan lebih teliti, hal ini akan memperdalam moralitasnya dan
bahkan lebih.
Hal
ini berlanjut hingga akhir hidupnya, ia tidak pernah merasa bahwa usaha
dan perbuatannya yang baik ini sudah mencukupi. Akibatnya, iman,
moralitas, kepribadian dan sikapnya, mengalami kemajuan terus menerus
dan pada akhirnya mencapai kesempurnaan.
Dalam Qur'an, Allah Memberi tahu kepada kita tentang karakter Muslim seperti itu, berikut ini:
Orang-orang
seperti itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah
orang-orang yang segera memperolehnya. (Surat Al-Mu’minun: 61)
Dengan
kehendak Allah, hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an dan Sunnah akan
menjadikan orang untuk mampu mengembangkan suatu wawasan yang luas dari
pemahaman, kecerdasan yang unggul, kemampuan untuk membedakan mana yang
benar dan salah, serta kemampuan untuk mempertimbangkan suatu hal secara
mendalam.
Karakter-karakter
seperti ini akan memastikan bahwa orang yang memiliki karakter-karakter
tersebut, akan menjalani hidup setiap saat dalam kehidupannya dalam
kemudahan yang berasal dari keuntungan-keuntungan ini.
Seseorang
yang menjalani hidupnya dengan tunduk pada Allah dan sesuai dengan
ajaran agama akan sangat berbeda dari orang lain dalam cara dia
berperilaku, duduk dan berjalan, dalam sudut pandangnya dan bagaimana ia
menjelaskan dan menafsirkan sesuatu hal, dan dalam solusi yang ia
temukan untuk masalah-masalah yang menghadapinya.
Rabu, 02 Mei 2012
Inilah Resep Meramu Hidup
Dengan ontelnya yang sudah usang, lelaki paruh baya itu berusaha
menjajakan dagangannya, dari satu warung ke warung lainnya yang berjarak
30-an kilometer. Kelebatan kendaraan bermotor roda dua yang
disaksikannya berseliweran tiap hari di hadapannya, sama sekali tak
memikat di hatinya. Laju sepeda motor yang tentu lebih cepat dibanding
sepeda tuanya, sama sekali tidak menggiurkannya. Dia lebih asyik
menikmati ontelnya yang sudah berjasa menghidupi anak dan istrinya
selama belasan tahun dengan berjualan kerupuk itu.
Langkah sepedanya yang pelan, ternyata mewujud pula dalam perilakunya yang kalem dan tenang. Itulah yang terjadi manakala waktu shalat tiba, Zhuhur atau Ashar. Entah kerupuknya masih menggunung setinggi 1,5 meter, maupun setengahnya, dia selalu singgah di masjid. Bahkan, lima atau 10 menit sebelum tiba waktu shalat, dia sudah duduk tafakur di rumah Allah itu, menanti azan dikumandangkan. Sesungging senyum, dia tebarkan manakala berjumpa dengan orang lain. Dari perilakunya, sama sekali tak terlihat gaya orang yang sedang dikejar setoran.
Setelah menunaikan shalat, biasanya seusai shalat Zhuhur, lalu bakdiah Zhuhur, dia mengambil posisi di sudut masjid. Kemudian pria yang rambutnya sebagian telah memutih itu pun merebahkan tubuhnya seenaknya. Tidur, berbantalkan handuk kecil yang biasa melingkari lehernya. Kalau ada kipas angin masjid yang dihidupkan, biasanya dia mengambil tempat di bawahnya. Mungkin agar terasa lebih sejuk dan membangkitkan pulasnya tidur.
Tapi, dia sendiri tak pernah kelihatan menghidupkan kipas angin tersebut. Dia menyadari benar etika seorang musafir, kendati jamaah atau mukimin di situ sudah menganggap dia sebagai bagian dari jamaah masjid, karena seringnya ikut shalat berjamaah, terutama Zhuhur dan Ashar.
Setelah shalat dan tubuh kembali fresh, dia kembali mengayuh sepedanya untuk mencari karunia Ilahi di muka bumi. Entah, berapa warung lagi yang harus dia datangi dan tawari kerupuknya. Jam berapa pula dia kembali pulang, menemui keluarga tercintanya.
Selain lelaki ini telah berjasa pada negeri, yang telah menciptakan lapangan pekerjaan, meski hanya untuk dirinya sendiri. Namun, pelajaran yang tak kurang nilainya adalah bagaimana dia membingkai dan meramu hidup ini dengan indahnya. Bagaimana dia merangkai aktivitas hariannya menjadi sebuah paduan harmoni yang manis dalam konteks ibadahnya pada Allah, baik secara vertikal maupun horizontal.
Lelaki sederhana ini mengajarkan banyak hal; tentang kesederhanaan, tawakal, sikap tidak tergopoh-gopoh (karena itu datang dari setan), tidur siang agar bisa qiyamullail (bangun malam), shalat di awal waktu dan berjamaah, serta tentang manajemen waktu. Banyak ayat Alquran yang menerangkan pentingnya hal-hal tersebut di atas. Salah satunya surah al-Ashr yang bercerita soal waktu.
Ketika banyak orang kacau-balau dan tidak tepat waktu dalam shalatnya, dengan dalih banyak pekerjaan atau waktu mepet, lelaki sederhana ini justru piawai sekali dalam menjadikan waktu-waktu shalat sebagai pemandu dari aktivitas hariannya.
Langkah sepedanya yang pelan, ternyata mewujud pula dalam perilakunya yang kalem dan tenang. Itulah yang terjadi manakala waktu shalat tiba, Zhuhur atau Ashar. Entah kerupuknya masih menggunung setinggi 1,5 meter, maupun setengahnya, dia selalu singgah di masjid. Bahkan, lima atau 10 menit sebelum tiba waktu shalat, dia sudah duduk tafakur di rumah Allah itu, menanti azan dikumandangkan. Sesungging senyum, dia tebarkan manakala berjumpa dengan orang lain. Dari perilakunya, sama sekali tak terlihat gaya orang yang sedang dikejar setoran.
Setelah menunaikan shalat, biasanya seusai shalat Zhuhur, lalu bakdiah Zhuhur, dia mengambil posisi di sudut masjid. Kemudian pria yang rambutnya sebagian telah memutih itu pun merebahkan tubuhnya seenaknya. Tidur, berbantalkan handuk kecil yang biasa melingkari lehernya. Kalau ada kipas angin masjid yang dihidupkan, biasanya dia mengambil tempat di bawahnya. Mungkin agar terasa lebih sejuk dan membangkitkan pulasnya tidur.
Tapi, dia sendiri tak pernah kelihatan menghidupkan kipas angin tersebut. Dia menyadari benar etika seorang musafir, kendati jamaah atau mukimin di situ sudah menganggap dia sebagai bagian dari jamaah masjid, karena seringnya ikut shalat berjamaah, terutama Zhuhur dan Ashar.
Setelah shalat dan tubuh kembali fresh, dia kembali mengayuh sepedanya untuk mencari karunia Ilahi di muka bumi. Entah, berapa warung lagi yang harus dia datangi dan tawari kerupuknya. Jam berapa pula dia kembali pulang, menemui keluarga tercintanya.
Selain lelaki ini telah berjasa pada negeri, yang telah menciptakan lapangan pekerjaan, meski hanya untuk dirinya sendiri. Namun, pelajaran yang tak kurang nilainya adalah bagaimana dia membingkai dan meramu hidup ini dengan indahnya. Bagaimana dia merangkai aktivitas hariannya menjadi sebuah paduan harmoni yang manis dalam konteks ibadahnya pada Allah, baik secara vertikal maupun horizontal.
Lelaki sederhana ini mengajarkan banyak hal; tentang kesederhanaan, tawakal, sikap tidak tergopoh-gopoh (karena itu datang dari setan), tidur siang agar bisa qiyamullail (bangun malam), shalat di awal waktu dan berjamaah, serta tentang manajemen waktu. Banyak ayat Alquran yang menerangkan pentingnya hal-hal tersebut di atas. Salah satunya surah al-Ashr yang bercerita soal waktu.
Ketika banyak orang kacau-balau dan tidak tepat waktu dalam shalatnya, dengan dalih banyak pekerjaan atau waktu mepet, lelaki sederhana ini justru piawai sekali dalam menjadikan waktu-waktu shalat sebagai pemandu dari aktivitas hariannya.
Langganan:
Postingan (Atom)