Sewaktu sekolah di SMP dulu, seorang sahabat saya bernama Erick Happy ditanya oleh seorang guru, “Apa cita-cita kamu nanti?”
Dengan santai dia menjawab, “Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk syurga.” ...Gggrrrrr…suasana kelas pun bergemuruh. Sang guru pun marah karena merasa diolok-olok.
Cita-cita, tujuan, dan keinginan. Sewaktu kecil memang seringkali guru, orang tua dan teman-temannya bertanya tentang cita-cita, dan kita pun dilatih dengan menjawab cita-cita sebagai tujuan akhir dengan jawaban profesi pekerjaan, seperti menjadi pilot, dokter, tentara dan sebagainya. Seakan-akan jika kita menjawab selain dari itu adalah jawaban yang salah.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia tujuan adalah alamat, arah, haluan, jurusan, maksud, sasaran, kehendak, keinginan. Dan keinginan sendiri adalah kehendak, maksud, atau tujuan.
Sebenarnya yang terjadi pada kita, manusia dalam konteks keinginan atau tujuan, kita senantiasa dihantarkan oleh waktu untuk selalu menuju tujuan kita dari bangun tidur, melakukan keseharian kita sampai tidur dan kembali bangun; dari detik ke detik, dari jam ke jam, hari, minggu, bulan bahkan tahun….kita senantiasa diantarkan oleh waktu dari satu tujuan ke tujuan yang lain, dari satu keinginan ke keinginan yang lain, dan seterusnya sampai tujuan dimasa mendatang.
Mari kita tafakuri sejenak apa tujuan kita besok?
Apa tujuan kita esok lusa, atau minggu depan, atau bulan depan, atau bahkan tahun depan. Mari kita perhatikan di sekeliling kita. Orang-orang atau manusia-manusia yang tujuannya besok mungkin sekedar bangun lebih pagi, ada yang berencana sport, shopping & hang out besok, ada yang minggu depan berencana reunian dengan teman lama, ya kangen-kangenan, ada juga yang bulan depan sedang berencana menikah, atau ada juga dari mereka yang bulan depan akan promosi naik jabatan, dan masih banyak lagi yang bisa kita lihat dalam kehidupan kita, manusia.
Manusia dan tujuannya dalam kehidupan ini. Hanya saja semua tujuan-tujuan itu dari mulai rentan waktu yang pendek hingga yang panjang, dari mulai esok hari sampai minggu depan, bahkan bulan, bahkan tahun dan bertahun-tahun lagi……semuanya tidaklah pasti. Tidaklah pasti, kecuali Allah memberikan izin kepada dirinya, kita, manusia untuk mencapai tujuan tersebut, atau keinginan tersebut.
Makna dari kata Insya Allah
Insya Allah adalah kata yang sering kita ucapkan jika kita akan melakukan sesuatu apapun nanti, atau jika kita akan mengerjakan sebuah pekerjaan dimasa mendatang, baik itu dihitung dari mulai hitungan detik, jam, hari, minggu, bulan bahkan tahun.
Karena apapun yang akan dilakukan oleh manusia dimasa mendatang haruslah atas seizin Allah, tetapi makna dari kata Insya Allah inilah yang sering kita lupakan. Terkadang malah jika kita jawab Insya Allah teman kita malah berucap, ”Aduh jangan Insya Allah dong, pastiin….jadi apa nggak,”
Seakan-akan kata Insya Allah bermakna, “Ngak janji deh...” Atau kalo sempet ya... atau perkataan semacamnya. Inilah yang seringkali terjadi dan kata Insya Allah dimaknai lain.
Padahal, setidaknya ada dua makna dari ucapan kata Insya Allah yang atinya jika Allah mengizinkan. Pertama apakah Allah mengizinkan kita untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua apakah Allah masih memberikan waktu atau masa, sehingga umur kita masih bisa mencapai tujuan tersebut.
Terkadang manusia atau kita hanya terfokus pada tujuan-tujuan atau keinginan-keinginan yang belum pasti. Keinginan dan tujuan yang belum tentulah Allah akan mengizinkan kita untuk mencapai tujuan tersebut, dan melupakan tujuan yang pasti, tujuan yang hakiki, yaitu bertemu dengan Allah Rabb semesta alam, melalui pintu kematian.
Sahabat, begitulah skenario Allah. Dan ketika bahasan telah sampai di sini seringkali keinginan kita atau tujuan kita bertolak belakang dengan skenario Allah, yang menetapkan tujuan hakiki manusia adalah kembali kepada Allah, Tuhan Rabb semesta alam melewati pintu kematian. Allah telah berfirman dalam Alquran:
“Wahai Manusia, sesungguhnya engkau giat menuju TuhanMU dengan penuh kesungguhan, maka pasti engkau akan menemuiNYA.” (QS. Al Insyiqoq : 6)
Ayat yang baru saja kita simak menyeru kepada kita, Manusia bahwa secara sadar maupun tidak, mau ataupun tidak, manusia diantarkan oleh waktu atau masa sampai pada satu tujuan yaitu bertemu dengan Allah Rabb semesta alam. Hanya saja kebanyakan dari kita, manusia sering tidak menyadari akan hal itu.
Ya, seringkali kita lupa di dalam keseharian kita. Kita pikir yang pasti besok adalah tujuan-tujuan kita seperti sport, shopping, atau reuni, promosi naik jabatan, menikah, bercengkrama dengan anak dan keluarga dan sebagainya padahal itu semua tidaklah pasti, karena yang pasti kita sedang berjalan menuju Allah, lewat pintu kematian.
Malaikat maut mendatangi kita lima kali dalam sehari
Padahal tahukah sahabat, bahwa sesungguhnya malaikat maut itu mendatangi kita sehari lima kali. Ya, disebutkan dalam sebuah hadis lima kali dalam sehari dan dalam hadis lain 70 kali sehari. seakan-akan malaikat itu terus dengan teliti mengawasi kita, apakah sudah saatnya kita pada waktu yang telah ditetapkan, atau dengan kata lain sudah sampaikah kita pada jadwal ajal yang telah ditetapkan. Wallahu ‘alam bish shawwab.
Tidaklah ada satupun manusia yang akan tahu kapan ajal itu akan datang menjemputnya. Tetapi yang mengherankan adalah mengapa kebanyakan dari kita, manusia tidak mempersiapkan bekal untuk sesuatu yang pasti, yang pasti kita datangi yaitu kehidupan setelah kematian. Dan itulah tujuan, tujuan hakiki dari kehidupan kita.
Kuncinya adalah menselaraskan keinginan dan tujuan, sesuai dengan yang diridhai Allah SWT.
Kunci dari pemahaman tentang keinginan yang telah kita bahas, adalah menyelaraskan keinginan dan tujuan sehari-hari kita dengan tujuan kehidupan akhirat kelak. Bila kita tafakuri, waktu yang telah kita lalui tidaklah mungkin kembali, hari demi hari, minggu, bulan dan tahun, hidup kita ini adalah sebuah perjalanan, yang kita sedang mengarunginya hari demi hari sampai nanti ajal menjemput kita.
Oleh karena itu, di dalam perjalanan ini hendaklah kita semua, mengambil jalan yang “selamat”. Selamat bukan hanya untuk perjalanan di dunia ini sahabat, tetapi selamat di dunia sekaligus untuk bekal keselamatan di akhirat nanti. Jalan yang selamat, itulah kenapa islam mempunyai arti , salah satunya adalah selamat. Selain arti yang lain adalah berserah diri, berserah diri kepada ketentuan Allah SWT.
Jalan selamat perlulah cara, aturan dan jalan yang benar
Dan untuk mengambil jalan yang selamat perlulah pedoman cara dan aturan yang benar, cara yang telah dicontohkan oleh Rasullullah SAW, dan dengan aturan yang haq atau yang sebenar-benarnya yaitu aturan Alquran dan Sunnah. Itulah jalan yang selamat.
Mari kita tafakuri. Sementara tujuan esok kita sekedar jogging saja telah kita persiapkan, tujuan esok kita akan reuni, atau sekedar kongkow-pun telah kita persiapkan, apalagi di minggu depan misalkan promosi naik jabatan pastilah telah kita persiapkan, tetapi banyak dari kita yang lupa akan persiapan skenario Allah tentang tujuan kita kembali kepada Allah lewat pintu kematian, apa bekal kita untuk kehidupan akhirat kelak, amalan apa yang akan kita bawa?
Mari kita niatkan perubahan, mari berhijrah dari yang kurang baik menuju yang baik, dan dari yang baik menuju yang lebih baik lagi, mari kita niatkan agar hari ini lebih baik dari kemarin dan esok lebih baik dari hari ini, mari bersama-sama, selama kita masih berkesempatan, selama kita masih diberi kesempatan, selama nafas masih berhembus. Mari! Insya Allah, Aamiin.
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
Jumat, 23 Maret 2012
Kualitas Seseorang Tercermin dari Perkataannya (2)
Simaklah dengan iman Al-Ahzab 70-71, "Hai hamba-hamba beriman, bertaqwa kepada Allah dan berkatalah dengan benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalanmu, dan mengampuni dosa-dosamu. Siapa yang sungguh-sungguh taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh telah meraih kemenangan besar". Qaaf 18, "Tidaklah berkata satu kata kecuali dicatat oleh malaikat Roqid dan Atid".
Inilah yang membuat hamba beriman sangat berhati-hati dalam berujar apalagi dalam perbuatan... semuanya dicatat dan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya diakhirat kelak.
Inilah yang membuat hamba beriman sangat berhati-hati dalam berujar apalagi dalam perbuatan... semuanya dicatat dan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya diakhirat kelak.
Kwalitas Seseorang Tercermin dari Perkataannya (1)
"Anta Maa Taquulu" apa yang keluar dari mulutmu. Nilai dan kwalitas seseorang bisa diketahui dari bahasa yang keluar dari mulut.
Kalau ia beriman dan berilmu, maka yang keluar adalah hikmah, sopan, mulia, bahasa tersusun, sejuk, menyadarkan. Kalau lemah iman dan ilmu maka yang keluar dusta, gosip, hujatan dan sebagainya.
Disebut baru Taqwa karena lisannya mulia (QS Al Ahzab 33: 70-71).." Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah berkata baik, benar, jujur, sopan kalau tidak diam." (Hadis)
Kalau ia beriman dan berilmu, maka yang keluar adalah hikmah, sopan, mulia, bahasa tersusun, sejuk, menyadarkan. Kalau lemah iman dan ilmu maka yang keluar dusta, gosip, hujatan dan sebagainya.
Disebut baru Taqwa karena lisannya mulia (QS Al Ahzab 33: 70-71).." Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah berkata baik, benar, jujur, sopan kalau tidak diam." (Hadis)
Mengapa Orang Beriman itu Sangat Bahagia Hidupnya?
sahabatku fillah, inilah alasan mengapa orang beriman itu selalu bahagai dalam menjalani hidupnya:
1. Karena "al iman al amnu", iman kepada Allah itu membuat hidupnya tenang, damai, aman dan bahagia (QS6:82)
2. Karena tidak ada yang ditakuti selain Allah, takut mati, takut harta berkurang, takut jabatan direbut dan sebagainya membuat gelisah (QS2:150)
3. Serius, taat, tidak maksiyat, "fi'ludzdzunuub syu'mun" banyak maksiyat banyak sialnya (QS10:62)
4. Selalu baik sangka, tidak prasangka buruk, tidak dengki dan tidak suka mencari aib orang lain, sibuknya asyik muhasabah diri (QS49:12)
5. Keinginan kuatnya untuk bahagia di akhirat, itulah yang membuat ia semangat beribadah dan amal sholeh (QS29:69)
6. Tidak ada orang yang dizholiminya, semua disayanginya dengan kemuliaan akhlaknya, kalau disakiti dengan lapang dada ia maafkan. Ingat!... Dendam itu membawa sengsara (QS3:134)
7. Tawakkalnya, semua ia pasrahkan kepada Allah dan ia ridho dengan semua keputusan Allah (QS.65:3)
"Ya Allah bahagiakan kami di dunia sebentar ini dan bahagiakan kami di akhierat selama-lamanya... aamiin".
1. Karena "al iman al amnu", iman kepada Allah itu membuat hidupnya tenang, damai, aman dan bahagia (QS6:82)
2. Karena tidak ada yang ditakuti selain Allah, takut mati, takut harta berkurang, takut jabatan direbut dan sebagainya membuat gelisah (QS2:150)
3. Serius, taat, tidak maksiyat, "fi'ludzdzunuub syu'mun" banyak maksiyat banyak sialnya (QS10:62)
4. Selalu baik sangka, tidak prasangka buruk, tidak dengki dan tidak suka mencari aib orang lain, sibuknya asyik muhasabah diri (QS49:12)
5. Keinginan kuatnya untuk bahagia di akhirat, itulah yang membuat ia semangat beribadah dan amal sholeh (QS29:69)
6. Tidak ada orang yang dizholiminya, semua disayanginya dengan kemuliaan akhlaknya, kalau disakiti dengan lapang dada ia maafkan. Ingat!... Dendam itu membawa sengsara (QS3:134)
7. Tawakkalnya, semua ia pasrahkan kepada Allah dan ia ridho dengan semua keputusan Allah (QS.65:3)
"Ya Allah bahagiakan kami di dunia sebentar ini dan bahagiakan kami di akhierat selama-lamanya... aamiin".
Luasnya Dimensi Ibadah
Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Tetapi, mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’.
Nabi bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dengannya engkau bisa bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah, dan bersetubuh (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia melampiaskan syahwatnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram ia memperoleh dosa? Demikian pula jika ia menempatkan syahwatnya pada yang halal maka ia pun akan mendapatkan pahala’.” (HR Muslim).
Ketika kita diserbu oleh pesona iklan yang luar biasa dari banyak produk, impian pun melambung tinggi untuk segera memilikinya, seperti rumah, kendaraan, elektronik, atau perkakas rumah yang serbamewah. Ketika gaya hidup mewah sudah menyergap, korupsi menjadi mata pencaharian, maka banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan, hanya bisa gigit jari. Ada yang apatis, muak, jengah, namun tak urung ada pula yang terjerat dalam hayalan yang berkepanjangan.
Di tengah interaksi kehidupan Nabi dan para sahabatnya, bukan tidak ada orang yang kaya raya. Namun, bagaimana kekayaan yang mereka miliki justru dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih agung, lebih luhur, dan abadi, yakni di jalan Allah. Sehingga, cita-cita dan obsesi para sahabat yang miskin yang melihatnya pun bukan untuk memiliki harta yang melimpah ruah, kendaraan yang mewah, istana yang megah, atau baju yang indah seperti mereka. Namun, bagaimana mereka juga bisa beramal seperti sahabat yang kaya demi kebahagiaan di akhirat. (QS al-A‘la: 16-17, dan adh-Dhuha: 4).
Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa dimensi ibadah dalam Islam itu begitu luas. Bukan hanya sebatas harta, namun juga menjangkau banyak sisi kehidupan yang nyaris semua orang bisa melakukannya, tergantung lemah dan kuatnya niat. Jika tidak kuat secara materi maka bisa melalui fisik, pikiran, atau apa pun yang kita mampu. Bukankah tasbih, tahmid, dan tahlil nyaris tidak membutuhkan pengorbanan fisik dan materi sedikit pun dari pelakunya? Demikian pula amar makruf nahi mungkar.
Bahkan, ketika sepasang suami-istri menunaikan haknya masing-masing, di mana mereka bisa mereguk nikmatnya berkeluarga, justru di situ pun terbentang pahala. Karena, ketika hal itu disalurkan kepada yang haram maka pelakunya akan menuai dosa.
Nabi bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dengannya engkau bisa bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah, dan bersetubuh (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia melampiaskan syahwatnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram ia memperoleh dosa? Demikian pula jika ia menempatkan syahwatnya pada yang halal maka ia pun akan mendapatkan pahala’.” (HR Muslim).
Ketika kita diserbu oleh pesona iklan yang luar biasa dari banyak produk, impian pun melambung tinggi untuk segera memilikinya, seperti rumah, kendaraan, elektronik, atau perkakas rumah yang serbamewah. Ketika gaya hidup mewah sudah menyergap, korupsi menjadi mata pencaharian, maka banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan, hanya bisa gigit jari. Ada yang apatis, muak, jengah, namun tak urung ada pula yang terjerat dalam hayalan yang berkepanjangan.
Di tengah interaksi kehidupan Nabi dan para sahabatnya, bukan tidak ada orang yang kaya raya. Namun, bagaimana kekayaan yang mereka miliki justru dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih agung, lebih luhur, dan abadi, yakni di jalan Allah. Sehingga, cita-cita dan obsesi para sahabat yang miskin yang melihatnya pun bukan untuk memiliki harta yang melimpah ruah, kendaraan yang mewah, istana yang megah, atau baju yang indah seperti mereka. Namun, bagaimana mereka juga bisa beramal seperti sahabat yang kaya demi kebahagiaan di akhirat. (QS al-A‘la: 16-17, dan adh-Dhuha: 4).
Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa dimensi ibadah dalam Islam itu begitu luas. Bukan hanya sebatas harta, namun juga menjangkau banyak sisi kehidupan yang nyaris semua orang bisa melakukannya, tergantung lemah dan kuatnya niat. Jika tidak kuat secara materi maka bisa melalui fisik, pikiran, atau apa pun yang kita mampu. Bukankah tasbih, tahmid, dan tahlil nyaris tidak membutuhkan pengorbanan fisik dan materi sedikit pun dari pelakunya? Demikian pula amar makruf nahi mungkar.
Bahkan, ketika sepasang suami-istri menunaikan haknya masing-masing, di mana mereka bisa mereguk nikmatnya berkeluarga, justru di situ pun terbentang pahala. Karena, ketika hal itu disalurkan kepada yang haram maka pelakunya akan menuai dosa.
Demikian pula dengan perilaku seseorang ketika makan, minum, berbisnis, berjalan, belajar, bekerja, berbicara, menelepon, facebook-an, chatting, berinteraksi dengan sesama, dan aktivitas lainnya, semua itu tetap bernilai ibadah, sepanjang berada dalam koridor yang halal, menjalankan ketaatan, atau menghindari larangan. Karena itu, banyak ruang dan tempat untuk meraih keridaan Allah. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Islam dan Teori Bumi Bundar
Bumi serta segala isinya merupakan bidang kajian yang menarik perhatian para ilmuwan Islam di era keemasan. Peradaban Islam terbukti lebih awal menguasai ilmu bumi dibandingkan masyarakat Barat. Ketika Eropa terkungkung dalam 'kegelapan' dan masih meyakini bahwa bumi itu datar, para sarjana Muslim pada abad ke-9 M telah menyatakan bahwa bumi bundar seperti bola.
Wacana bentuk bumi bundar baru berkembang di Barat pada abad ke-16 M. Adalah Nicoulas Copernicus yang mencetuskannya. Di tengah kekuasaan Gereja yang dominan, Copernicus yang lahir di Polandia melawan arus dengan menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan bola. Sejarah Barat kemudian mengklaim bahwa Copernicus-lah ilmuwan pertama yang menggulirkan terori bumi bulat.
Klaim Barat selama berabad-abad itu akhirnya telah terpatahkan. Sejarah kemudian mencatat bahwa para sarjana Islam-lah yang mencetuskan teori bentuk bumi itu. Para sejarawan bahkan memiliki bukti bahwa Copernicus banyak terpengaruh oleh hasil pemikiran ilmuwan Islam. Para sejarawan sains sejak tahun 1950-an mengkaji hubungan Copernicus dengan pemikiran ilmuwan Muslim dari abad ke-11 hingga 15 M.
Hasil penelitian yang dilakukan Edward S Kennedy dari American University of Beirut menemukan adanya kesamaan antara matematika yang digunakan Copernicus untuk mengembangkan teorinya dengan matematika yang digunakan para astronom Islam –dua atau tiga abad sebelumnya. Copernicus ternyata banyak terpengaruh oleh astronom Muslim seperti Ibn al-Shatir (wafat 1375), Mu'ayyad al-Din al-'Urdi (wafat 1266) dan Nasir al-Din al-Tusi (wafat 1274).
Seperti halnya peradaban Barat, masyarakat Cina yang lebih dulu mencapai kejayaan dibandingkan dunia Islam pada awalnya meyakini bahwa bumi itu datar dan kotak. Orang Cina baru mengubah keyakinannya tentang bentuk bumi pada abad ke-17 M – setelah berakhirnya era kekuasaan Dinasti Ming. Sejak abad itulah, melalui risalah yang ditulis Xiong Ming-yu berjudul Ge Chi Cao wacana bentuk bumi bundar seperti bola mulai berkembang di Negeri Tirai Bambu.
***
Beberapa abad sebelum dua peradaban besar itu mulai mengakui bahwa bentuk bumi bundar, dunia Islam telah membuktikannya. Di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma'mun, pada tahun 830 M, Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi beserta para astronom lainnya telah membuat peta globe pertama. Tak hanya itu, para sarjana Muslim di era itu juga mampu mengukur volume dan keliling bumi.
Saat itu, para astronom Muslim menyatakan bahwa keliling bumi mencapai 24 ribu mil atau 38,6 ribu kilometer. Perhitungan yang dilakukan pada abad ke-9 itu hampir akurat. Sebab, hanya berbeda 3,6 persen dari perkiraan yang dilakukan para ilmuwan di era modern. Sebuah pencapaian yang terbilang luar biasa dan mungkin belum terpikirkan oleh peradaban Barat pada masa itu.
Atas permintaan Khalifah Abbasiyah ketujuh itu, para astronom Muslim sukses mengukur jarak antara Tadmur (Palmyra) hingga Al-Raqqah di Suriah. Para sarjana Muslim itu menemukan fakta bahwa kedua kota itu ternyata hanya terpisahkan oleh satu derajat garis lintang dan jarak kedua kota itu mencapai 66 2/3 mil.
***
Pada abad ke-10 M, ilmuwan Muslim bernama Abu Raihan Al-Biruni (973-1048) juga mengukur jari-jari bumi. Menurutnya, jari-jari bumi itu mencapai 6339,6 kilometer. Hal pengukurannya itu hanya kurang 16,8 kilometer dari nilai perkiraan ilmuwan modern. Saat itu, Al-Biruni mengembangkan metode baru dengan menggunakan perhitungan trigonometri yang didasarkan pada sudut antara sebuah daratan dengan puncak gunung.
Teori bentuk bumi bundar seperti bola juga dinyatakan geografer dan kartografer (pembuat peta) Muslim dari abad ke-12 M, Abu Abdullah Muhammad Ibnu Al-Idrisi Ash-Sharif. Pada tahun 1154 M, Al-Idrisi – ilmuwan dari Cordoba -- secara gemilang sukses membuat peta bola bumi alias globe dari perak. Bola bumi yang diciptakannya itu memiliki berat sekitar 400 kilogram.
Dalam globe itu, Al-Idrisi menggambarkan enam benua dengan dilengkapi jalur perdagangan, danau, sungai, kota-kota utama, daratan serta gunung-gunung. Tak cuma itu, globe yang dibuatnya itu juga sudah memuat informasi mengenai jarak, panjang dan tinggi secara tepat. Guna melengkapi bola bumi yang dirancangnya, Al-Idrisi pun menulis buku berjudul Al- Kitab al-Rujari atau Buku Roger yang didedikasikan untuk sang raja.
***
Penjelajah asal Spanyol, Cristhoper Columbus pun membuktikan kebenaran teori yang diungkapkan Al-Idrisi. Berbekal peta yang dibuat Al-Idrisi, Columbus mengelilingi bumi dan menemukan Benua Amerika yang disebutnya 'New World'. Padahal, bagi para penjelajah Muslim benua itu bukanlah dunia baru, karena telah disinggahinya beberapa abad sebelum Columbus. Dalam ekspedisi yang dilakukannya itulah, Columbus meyakini bahwa bentuk bumi adalah bulat.
Secara resmi, para sarjana Muslim telah mengelaurkan kesepakatan bersama dalam bentuk ijma tentang bentuk bumi bundar. Teori bentuk bumi bulat diyakini oleh Ibnu Hazm (wafat 1069), Ibnu Al-Jawi (wafat 1200) dan Ibnu Taimiyah (wafat 1328). Penegasan ketika tokoh Islam itu untuk memperkuat hasil penelitian dan penemuan yang dicapai astronom dan matematikus Muslim.
Secara sepakat, Abul-Hasan ibnu al-Manaadi, Abu Muhammad Ibnu Hazm, and Abul-Faraj Ibnu Al-Jawzi telah menyatakan bahwa bentuk bumi adalah bundar (istidaaratul-aflaak). Ibnu Taimiyah melandaskannya pada Alquran surat Az-Zumar ayat 5. Allah SWT berfirman: "...Dia memutarkan malam atas siang dan memutarkan siang atas malam..."
Selain itu, para ulama juga berpegang pada Surat Al-Anbiyaa ayat 33. Allah SWT berfirman,” Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar (falak) di dalam garis edarnya.” Kata “falak' dalam ayat itu, menurut para ulama, berarti bundar. Ibnu Taimiyah secara tegas kemudian menyatakan bahwa bentuk bumi bulat seperti bola.
Penegasan bentuk bumi bundar juga dinyatakan Abu Ya'la dalam karyanya berjudul Tabaqatal-Hanabilah. Dalam kitab itu, Abu Ya'la mengutip sebuah ijma para ulama Muslim yang bersepakat bahwa bentuk bumi itu bundar. Ijma itu diungkapkan oleh generasi kedua – murid-murid para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ilmuwan terkemuka Ibnu Khaldun (wafat 1406) dalam kitabnya yang fenomenal berjudul Muqaddimah, juga menyatakan bahwa bumi itu seperti bola. Pendapat itu diperkuat oleh Imam Ibnu Hazm Rohimahulloh dalam al-Fishol fil Milal wan Nihal. Menurutnya, tak ada satupun dari 'ulama kaum muslimin -- semoga Allah meridhoi mereka -- yang mengingkari bahwa Bumi itu bundar dan tidak dijumpai bantahan atau satu kalimat pun dari salah seorang dari mereka.
Dengan meyakini bahwa bentuk bumi itu bundar, para sarjana Muslim kemudian menetapkan sebuah cara untuk menghitung jarak dan arah dari satu titik di bumi ke Makkah. Melalui cara itulah, arah kiblat ditentukan.
Wacana bentuk bumi bundar baru berkembang di Barat pada abad ke-16 M. Adalah Nicoulas Copernicus yang mencetuskannya. Di tengah kekuasaan Gereja yang dominan, Copernicus yang lahir di Polandia melawan arus dengan menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan bola. Sejarah Barat kemudian mengklaim bahwa Copernicus-lah ilmuwan pertama yang menggulirkan terori bumi bulat.
Klaim Barat selama berabad-abad itu akhirnya telah terpatahkan. Sejarah kemudian mencatat bahwa para sarjana Islam-lah yang mencetuskan teori bentuk bumi itu. Para sejarawan bahkan memiliki bukti bahwa Copernicus banyak terpengaruh oleh hasil pemikiran ilmuwan Islam. Para sejarawan sains sejak tahun 1950-an mengkaji hubungan Copernicus dengan pemikiran ilmuwan Muslim dari abad ke-11 hingga 15 M.
Hasil penelitian yang dilakukan Edward S Kennedy dari American University of Beirut menemukan adanya kesamaan antara matematika yang digunakan Copernicus untuk mengembangkan teorinya dengan matematika yang digunakan para astronom Islam –dua atau tiga abad sebelumnya. Copernicus ternyata banyak terpengaruh oleh astronom Muslim seperti Ibn al-Shatir (wafat 1375), Mu'ayyad al-Din al-'Urdi (wafat 1266) dan Nasir al-Din al-Tusi (wafat 1274).
Seperti halnya peradaban Barat, masyarakat Cina yang lebih dulu mencapai kejayaan dibandingkan dunia Islam pada awalnya meyakini bahwa bumi itu datar dan kotak. Orang Cina baru mengubah keyakinannya tentang bentuk bumi pada abad ke-17 M – setelah berakhirnya era kekuasaan Dinasti Ming. Sejak abad itulah, melalui risalah yang ditulis Xiong Ming-yu berjudul Ge Chi Cao wacana bentuk bumi bundar seperti bola mulai berkembang di Negeri Tirai Bambu.
***
Beberapa abad sebelum dua peradaban besar itu mulai mengakui bahwa bentuk bumi bundar, dunia Islam telah membuktikannya. Di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma'mun, pada tahun 830 M, Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi beserta para astronom lainnya telah membuat peta globe pertama. Tak hanya itu, para sarjana Muslim di era itu juga mampu mengukur volume dan keliling bumi.
Saat itu, para astronom Muslim menyatakan bahwa keliling bumi mencapai 24 ribu mil atau 38,6 ribu kilometer. Perhitungan yang dilakukan pada abad ke-9 itu hampir akurat. Sebab, hanya berbeda 3,6 persen dari perkiraan yang dilakukan para ilmuwan di era modern. Sebuah pencapaian yang terbilang luar biasa dan mungkin belum terpikirkan oleh peradaban Barat pada masa itu.
Atas permintaan Khalifah Abbasiyah ketujuh itu, para astronom Muslim sukses mengukur jarak antara Tadmur (Palmyra) hingga Al-Raqqah di Suriah. Para sarjana Muslim itu menemukan fakta bahwa kedua kota itu ternyata hanya terpisahkan oleh satu derajat garis lintang dan jarak kedua kota itu mencapai 66 2/3 mil.
***
Pada abad ke-10 M, ilmuwan Muslim bernama Abu Raihan Al-Biruni (973-1048) juga mengukur jari-jari bumi. Menurutnya, jari-jari bumi itu mencapai 6339,6 kilometer. Hal pengukurannya itu hanya kurang 16,8 kilometer dari nilai perkiraan ilmuwan modern. Saat itu, Al-Biruni mengembangkan metode baru dengan menggunakan perhitungan trigonometri yang didasarkan pada sudut antara sebuah daratan dengan puncak gunung.
Teori bentuk bumi bundar seperti bola juga dinyatakan geografer dan kartografer (pembuat peta) Muslim dari abad ke-12 M, Abu Abdullah Muhammad Ibnu Al-Idrisi Ash-Sharif. Pada tahun 1154 M, Al-Idrisi – ilmuwan dari Cordoba -- secara gemilang sukses membuat peta bola bumi alias globe dari perak. Bola bumi yang diciptakannya itu memiliki berat sekitar 400 kilogram.
Dalam globe itu, Al-Idrisi menggambarkan enam benua dengan dilengkapi jalur perdagangan, danau, sungai, kota-kota utama, daratan serta gunung-gunung. Tak cuma itu, globe yang dibuatnya itu juga sudah memuat informasi mengenai jarak, panjang dan tinggi secara tepat. Guna melengkapi bola bumi yang dirancangnya, Al-Idrisi pun menulis buku berjudul Al- Kitab al-Rujari atau Buku Roger yang didedikasikan untuk sang raja.
***
Penjelajah asal Spanyol, Cristhoper Columbus pun membuktikan kebenaran teori yang diungkapkan Al-Idrisi. Berbekal peta yang dibuat Al-Idrisi, Columbus mengelilingi bumi dan menemukan Benua Amerika yang disebutnya 'New World'. Padahal, bagi para penjelajah Muslim benua itu bukanlah dunia baru, karena telah disinggahinya beberapa abad sebelum Columbus. Dalam ekspedisi yang dilakukannya itulah, Columbus meyakini bahwa bentuk bumi adalah bulat.
Secara resmi, para sarjana Muslim telah mengelaurkan kesepakatan bersama dalam bentuk ijma tentang bentuk bumi bundar. Teori bentuk bumi bulat diyakini oleh Ibnu Hazm (wafat 1069), Ibnu Al-Jawi (wafat 1200) dan Ibnu Taimiyah (wafat 1328). Penegasan ketika tokoh Islam itu untuk memperkuat hasil penelitian dan penemuan yang dicapai astronom dan matematikus Muslim.
Secara sepakat, Abul-Hasan ibnu al-Manaadi, Abu Muhammad Ibnu Hazm, and Abul-Faraj Ibnu Al-Jawzi telah menyatakan bahwa bentuk bumi adalah bundar (istidaaratul-aflaak). Ibnu Taimiyah melandaskannya pada Alquran surat Az-Zumar ayat 5. Allah SWT berfirman: "...Dia memutarkan malam atas siang dan memutarkan siang atas malam..."
Selain itu, para ulama juga berpegang pada Surat Al-Anbiyaa ayat 33. Allah SWT berfirman,” Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar (falak) di dalam garis edarnya.” Kata “falak' dalam ayat itu, menurut para ulama, berarti bundar. Ibnu Taimiyah secara tegas kemudian menyatakan bahwa bentuk bumi bulat seperti bola.
Penegasan bentuk bumi bundar juga dinyatakan Abu Ya'la dalam karyanya berjudul Tabaqatal-Hanabilah. Dalam kitab itu, Abu Ya'la mengutip sebuah ijma para ulama Muslim yang bersepakat bahwa bentuk bumi itu bundar. Ijma itu diungkapkan oleh generasi kedua – murid-murid para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Ilmuwan terkemuka Ibnu Khaldun (wafat 1406) dalam kitabnya yang fenomenal berjudul Muqaddimah, juga menyatakan bahwa bumi itu seperti bola. Pendapat itu diperkuat oleh Imam Ibnu Hazm Rohimahulloh dalam al-Fishol fil Milal wan Nihal. Menurutnya, tak ada satupun dari 'ulama kaum muslimin -- semoga Allah meridhoi mereka -- yang mengingkari bahwa Bumi itu bundar dan tidak dijumpai bantahan atau satu kalimat pun dari salah seorang dari mereka.
Dengan meyakini bahwa bentuk bumi itu bundar, para sarjana Muslim kemudian menetapkan sebuah cara untuk menghitung jarak dan arah dari satu titik di bumi ke Makkah. Melalui cara itulah, arah kiblat ditentukan.
Senin, 19 Maret 2012
It's Amazing Right?
Sungguh menakjubkan jika kita merasa hanya sendiri saja ketika segala
masalah menerpa padahal sejatinya kita tak sendiri. Ketika kita ingin
orang lain tahu bahwa kita sedang bermasalah, bahwa kita ingin di
dengar, ingin di perhatikan. You know what ?? Ada Allah di
dekat kita yang sering tak di sadari, banyak pertolonganNya yang
singgah, tepat pada saat kita berucap Alhamdulillah bahwa Dia telah
memeluk kita dengan cintaNya dan membantu kita menyelesaikan masalah
kita. It’s amazing right ??
Bahwa dengan hadirnya seorang pendengar yang baik, yang mau mendengar keluh kesah kita adalah perantara Allah untuk menolong kita. Bahwa dengan adanya ucapan-ucapan berupa nasehat adalah perantara Allah untuk mengingatkan kita.
Kita tidak sendiri, memang tidak sendiri. Bahkan jika nanti kita mati dan sendiri di alam kubur, akan ada amal shalih yang menemani. Kita tidak pernah sendiri, selama masih ada kebaikan yang tersebar. Selama masih ada telinga yang ingin lebih banyak mendengar. Selama masih ada tangan yang terulur. Maka kita tidak pernah sendiri. It's amazing right ??
Seorang muslim jika merasa sendiri, maka yakin ada Allah yang menemani. Zikir saja, resapi dalam-dalam. Rasakan kehadiranNya turut membantu kita menyelesaikan segala tugas dan persoalan hidup.
Semua terasa ringan bila Allah ada di sisi. Semua akan bernilai ibadah jika menghadirkan Allah dalam niat kita. Meskipun akan ada pihak yang di korbankan tapi jika untuk kebaikan dan untuk mencari keridhoan Illahi, semoga Allah memudahkan segala jalan untuk kebaikan.
Ya, hanya dengan Allah. Tidak perlu repot-repot mencari kesana-sini jalan keluar dari permasalahan. Sapa saja Allah, biarkan Allah menunjukkan jalannya.
Mungkin semua adalah proses. Proses menuju keyakinan bahwa Allah adalah segalanya. TanpaNya kita lemah tak berdaya.
Malu rasanya jika kita meratapi nasib yang kita hadapi sementara di tempat lain banyak orang yang tetap tersenyum meskipun Allah memberinya banyak kekurangan. Hebatnya mereka adalah keyakinan yang terpatri bahwa Allah bersama mereka. Beban mereka terasa ringan. Rasa syukur yang selalu di hadirkan. Dunia bukan penghalang untuk jalan akhirat yang panjang membentang.
It’s so amazing.. with Allah …
Semoga kita selalu dapat merasakan sesuatu yang amazing bersama Allah. Apapun kondisinya. Merasai keindahan takdir Allah.
InsyaAllah
Allahua’lam
Bahwa dengan hadirnya seorang pendengar yang baik, yang mau mendengar keluh kesah kita adalah perantara Allah untuk menolong kita. Bahwa dengan adanya ucapan-ucapan berupa nasehat adalah perantara Allah untuk mengingatkan kita.
Kita tidak sendiri, memang tidak sendiri. Bahkan jika nanti kita mati dan sendiri di alam kubur, akan ada amal shalih yang menemani. Kita tidak pernah sendiri, selama masih ada kebaikan yang tersebar. Selama masih ada telinga yang ingin lebih banyak mendengar. Selama masih ada tangan yang terulur. Maka kita tidak pernah sendiri. It's amazing right ??
Seorang muslim jika merasa sendiri, maka yakin ada Allah yang menemani. Zikir saja, resapi dalam-dalam. Rasakan kehadiranNya turut membantu kita menyelesaikan segala tugas dan persoalan hidup.
Semua terasa ringan bila Allah ada di sisi. Semua akan bernilai ibadah jika menghadirkan Allah dalam niat kita. Meskipun akan ada pihak yang di korbankan tapi jika untuk kebaikan dan untuk mencari keridhoan Illahi, semoga Allah memudahkan segala jalan untuk kebaikan.
Ya, hanya dengan Allah. Tidak perlu repot-repot mencari kesana-sini jalan keluar dari permasalahan. Sapa saja Allah, biarkan Allah menunjukkan jalannya.
Mungkin semua adalah proses. Proses menuju keyakinan bahwa Allah adalah segalanya. TanpaNya kita lemah tak berdaya.
Malu rasanya jika kita meratapi nasib yang kita hadapi sementara di tempat lain banyak orang yang tetap tersenyum meskipun Allah memberinya banyak kekurangan. Hebatnya mereka adalah keyakinan yang terpatri bahwa Allah bersama mereka. Beban mereka terasa ringan. Rasa syukur yang selalu di hadirkan. Dunia bukan penghalang untuk jalan akhirat yang panjang membentang.
It’s so amazing.. with Allah …
Semoga kita selalu dapat merasakan sesuatu yang amazing bersama Allah. Apapun kondisinya. Merasai keindahan takdir Allah.
InsyaAllah
Allahua’lam
Inilah Amalan Penolak Bala
Hidup ini tidak seindah yang dibayangkan. Banyak hal yang tidak terduga
menghampiri hidup kita. Kepahitan dan kegetiran ada ah warna yang
memoles lembar kehidupan manusia. Meski sesungguhnya bagi orang yang
beriman dunia ini adalah surga tak berperi dengan kenikmatan dan
keelokannya yang tidak bertepi.
Untuk kita yang saat ini sedang dalam kubangan musibah ada baiknya kita mencoba menyisir jalan kebaikan berikut ini. Atau, kita yang sedang dihantui kegagalan, inilah amalan yang menghibur untuk menolak berbagai kemungkinan bala. Pertama, melazimkan doa. Orang yang terbiasa dengan berdoa akan mengalir sebuah kekuatan yang mampu menjadikan dirinya tegar. Bah kan, doa adalah sebuah proteksi ampuh menstabilkan kondisi hati dengan berbagai macam keadaannya.
Disebut oleh Nabi Muhamad SAW, “Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa.” (HR Ahmad). Bahkan, ada doa yang langsung dari Allah untuk menuntun kita terhindar dari berbagai ujian, musibah, dan bala. “Duhai Allah jangan sekali-kali Engkau uji kami di luar batas kemampuan kami.” (QS al-Baqarah [2]: 286).
Kedua, kesungguhan takwa. Banyak disebut oleh berbagai ayat bahwa kesungguhan dan keseriusan dalam ketakwaan mengantarkan ketangguhan spiritual dalam menyelesaikan setiap kesulitan hidup. Ini artinya semangat takwa menghindarkan sebuah peristiwa buruk dalam hidup ma usia. “Siapa yang bertakwa maka Allah jadikan baginya jalan keluar. Dan Allah karunia kan rezeki dari arah tak terduga. Siapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah maka akan dicukupkan (nikmat dan kebutuhannya) …” (Baca QS al- Thalaq [65]: 2-3).
Ketiga, ridha orang tua. Setelah kita tegak dengan nilai-nilai Langit seperti disebut oleh dua poin di atas, saatnya kita mengumpulkan energi dari bumi. Dan, kita perlu memulainya dari bilik kedua orang tua kita. Doa dan restu mereka yang pada urutannya mengantarkan kepada sejuta kebaikan, yang kita unduh tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Keramat terampuh di dunia ini tidak lain doa dan restu orang tua. “Rida Allah ada pada rida orang tua dan murka-Nya ada pada murka kedua orang tua,” demikian sabda Nabi Muhammad SAW riwayat al-Hakim.
Keempat, sedekah. Keutamaan sedekah sudah banyak yang menyebutkan. Bahkan, secara terang sebuah hadis mengisyaratkan, “Sedekah itu benar-benar menolak bala.” (HR Thabrani dari Abdullah ib nu Mas’ud). Karena, agama adalah amal. Maka, nikmat dan ke lezatan beragama akan berasa jika kita benar-benar mengamalkan. Karena itu, saat nya kita buktikan dengan amal nyata. Kita bersedekah pasti ada proteksi bala yang langsung Allah desain.
Kelima, istighfar. “Kami tidak akan turunkan azab bencana selama mereka masih beristighfar.” (QS al-Anfal, 8: 33). Berikutnya, silaturahim, berzikir, dan selawat. Terkait dengan zikir, disebut oleh Nabi SAW, “Petir menyambar siapa pun, tetapi petir tidak akan menyambar orang yang sedang berzikir.”
Terakhir, senantiasa ber buat baik. Kebaikan yang kita tebarkan di bumi adalah kebaikan untuk kita yang Allah gelontorkan dari langit (QS ar- Rahman [55]: 60). Wallahu a’lam.
Untuk kita yang saat ini sedang dalam kubangan musibah ada baiknya kita mencoba menyisir jalan kebaikan berikut ini. Atau, kita yang sedang dihantui kegagalan, inilah amalan yang menghibur untuk menolak berbagai kemungkinan bala. Pertama, melazimkan doa. Orang yang terbiasa dengan berdoa akan mengalir sebuah kekuatan yang mampu menjadikan dirinya tegar. Bah kan, doa adalah sebuah proteksi ampuh menstabilkan kondisi hati dengan berbagai macam keadaannya.
Disebut oleh Nabi Muhamad SAW, “Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa.” (HR Ahmad). Bahkan, ada doa yang langsung dari Allah untuk menuntun kita terhindar dari berbagai ujian, musibah, dan bala. “Duhai Allah jangan sekali-kali Engkau uji kami di luar batas kemampuan kami.” (QS al-Baqarah [2]: 286).
Kedua, kesungguhan takwa. Banyak disebut oleh berbagai ayat bahwa kesungguhan dan keseriusan dalam ketakwaan mengantarkan ketangguhan spiritual dalam menyelesaikan setiap kesulitan hidup. Ini artinya semangat takwa menghindarkan sebuah peristiwa buruk dalam hidup ma usia. “Siapa yang bertakwa maka Allah jadikan baginya jalan keluar. Dan Allah karunia kan rezeki dari arah tak terduga. Siapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah maka akan dicukupkan (nikmat dan kebutuhannya) …” (Baca QS al- Thalaq [65]: 2-3).
Ketiga, ridha orang tua. Setelah kita tegak dengan nilai-nilai Langit seperti disebut oleh dua poin di atas, saatnya kita mengumpulkan energi dari bumi. Dan, kita perlu memulainya dari bilik kedua orang tua kita. Doa dan restu mereka yang pada urutannya mengantarkan kepada sejuta kebaikan, yang kita unduh tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Keramat terampuh di dunia ini tidak lain doa dan restu orang tua. “Rida Allah ada pada rida orang tua dan murka-Nya ada pada murka kedua orang tua,” demikian sabda Nabi Muhammad SAW riwayat al-Hakim.
Keempat, sedekah. Keutamaan sedekah sudah banyak yang menyebutkan. Bahkan, secara terang sebuah hadis mengisyaratkan, “Sedekah itu benar-benar menolak bala.” (HR Thabrani dari Abdullah ib nu Mas’ud). Karena, agama adalah amal. Maka, nikmat dan ke lezatan beragama akan berasa jika kita benar-benar mengamalkan. Karena itu, saat nya kita buktikan dengan amal nyata. Kita bersedekah pasti ada proteksi bala yang langsung Allah desain.
Kelima, istighfar. “Kami tidak akan turunkan azab bencana selama mereka masih beristighfar.” (QS al-Anfal, 8: 33). Berikutnya, silaturahim, berzikir, dan selawat. Terkait dengan zikir, disebut oleh Nabi SAW, “Petir menyambar siapa pun, tetapi petir tidak akan menyambar orang yang sedang berzikir.”
Terakhir, senantiasa ber buat baik. Kebaikan yang kita tebarkan di bumi adalah kebaikan untuk kita yang Allah gelontorkan dari langit (QS ar- Rahman [55]: 60). Wallahu a’lam.
Apa Itu Insan Kamil? (3-habis)
Banyak contoh alam membangkang kepada manusia sebagaimana diperlihatkan di dalam kisah-kisah umat terdahulu di dalam Alquran.
Umat Nuh yang keras kepala (QS. 53: 52) ditimpa bencana banjir (QS. 11: 40). Umat Syu’aib yang korup (QS. 7: 85, 11: 84-85) ditimpa gempa mematikan (QS 11: 94).
Umat Saleh yang hedonistik (QS. 26: 146-149) ditimpa keganasan virus dan gempa bumi (QS. 11: 67-68). Umat Luth yang dilanda penyimpangan seksual (QS. 11: 78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS. 11: 82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang ambisius ingin mengambil alih Ka’bah dihancurkan oleh burung/virus (QS. 105: 1-5).
Hujan tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS. 6: 99), tiba-tiba menjadi sumber malapetaka. Banjir memusnahkan areal kehidupan manusia (QS. 2: 59). Gunung-gunung tadinya sebagai patok bumi (QS. 30: 7) tiba-tiba memuntahkan lahar panas dan gas beracun (QS. 77: 10).
Angin yang tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan (QS. 18: 45) dan mendistribusikan awan (QS. 2: 164) tiba-tiba tampil ganas meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya (QS. 41: 16). Lautan tadinya jinak melayani mobilitas manusia (QS. 22: 65) tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS. 81: 6).
Tadinya, malam membawa kesejukan dan ketenangan (QS. 27: 86) tiba-tiba menampilkan ketakutan yang mencekam dan mematikan (QS. 11: 81). Siang tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS. 73: 7) seketika berubah menjadi hari-hari menyesakkan dan menyedot energi positif (QS. 46: 35).
Kilat dan guntur sebelumnya menjalankan fungsi positifnya dalam proses nitrifikasi untuk kehidupan makhluk biologis di bumi (QS. 13: 12) tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-larva (telur hama) betina, yang memusnahkan berbagai tanaman para petani (QS. 13: 12).
Disparitas flora dan fauna tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS. 13: 4) tiba-tiba berkembang menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia sehingga kesulitan memenuhi komposisi kebutuhan karbohidrat dan proteinnya secara seimbang (QS. 7: 132).
Manakala manusia kehilangan jati dirinya sebagai insan kamil, pertanda berbagai krisis akan muncul. Sebaliknya, selama masih ditemukan kualitas insan kamil di muka bumi, sepanjang itu kiamat belum akan terjadi.
Umat Nuh yang keras kepala (QS. 53: 52) ditimpa bencana banjir (QS. 11: 40). Umat Syu’aib yang korup (QS. 7: 85, 11: 84-85) ditimpa gempa mematikan (QS 11: 94).
Umat Saleh yang hedonistik (QS. 26: 146-149) ditimpa keganasan virus dan gempa bumi (QS. 11: 67-68). Umat Luth yang dilanda penyimpangan seksual (QS. 11: 78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS. 11: 82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang ambisius ingin mengambil alih Ka’bah dihancurkan oleh burung/virus (QS. 105: 1-5).
Hujan tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS. 6: 99), tiba-tiba menjadi sumber malapetaka. Banjir memusnahkan areal kehidupan manusia (QS. 2: 59). Gunung-gunung tadinya sebagai patok bumi (QS. 30: 7) tiba-tiba memuntahkan lahar panas dan gas beracun (QS. 77: 10).
Angin yang tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan (QS. 18: 45) dan mendistribusikan awan (QS. 2: 164) tiba-tiba tampil ganas meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya (QS. 41: 16). Lautan tadinya jinak melayani mobilitas manusia (QS. 22: 65) tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS. 81: 6).
Tadinya, malam membawa kesejukan dan ketenangan (QS. 27: 86) tiba-tiba menampilkan ketakutan yang mencekam dan mematikan (QS. 11: 81). Siang tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS. 73: 7) seketika berubah menjadi hari-hari menyesakkan dan menyedot energi positif (QS. 46: 35).
Kilat dan guntur sebelumnya menjalankan fungsi positifnya dalam proses nitrifikasi untuk kehidupan makhluk biologis di bumi (QS. 13: 12) tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-larva (telur hama) betina, yang memusnahkan berbagai tanaman para petani (QS. 13: 12).
Disparitas flora dan fauna tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS. 13: 4) tiba-tiba berkembang menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia sehingga kesulitan memenuhi komposisi kebutuhan karbohidrat dan proteinnya secara seimbang (QS. 7: 132).
Manakala manusia kehilangan jati dirinya sebagai insan kamil, pertanda berbagai krisis akan muncul. Sebaliknya, selama masih ditemukan kualitas insan kamil di muka bumi, sepanjang itu kiamat belum akan terjadi.
Apa Itu Insan Kamil? (2)
Kesempurnaan lain manusia menurut Ibnu Arabi adalah diri manusia
mempunyai perpaduan dua unsur penting, yaitu aspek lahir dan batin.
Aspek lahir baharu (hadis) dan aspek batin yang tidak baharu. Seperti disimpulkan Dr Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya, “Aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan.”
Kepaduan dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep khalifah dan ketundukan alam semesta (taskhir). Atas dasar ini maka dapat dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam dan alam semesta tunduk kepada anak manusia.
Namun, perlu diketahui, konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi maupun Al-Jili menyatakan tidak semua manusia berhak menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya seperti manusia yang didikte hawa nafsunya sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, kata Ibnu Arabi, tidak layak disebut insan kamil.
Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya benar yang layak disebut insan kamil. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan lebih tepat disebut binatang menyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas kekhalifahan.
Perlu ditegaskan kembali, kesempurnaan manusia bukan terletak pada kekuatan akal dan pikiran (an-nuthq) yang dimilikinya, melainkan pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan. Manusia menjadi khalifah bukan karena kapasitas akal dan pikiran yang dimilikinya.
Alam raya tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal pikirannya, tetapi lebih pada kemampuan manusia mengaktualisasikan dirinya sebagai insan kamil. Kemampuan aktualisasi diri ini bukan kerja akal, melainkan kerja batin, yakni kemampuan intuitif manusia menyingkap tabir yang menutupi dirinya dari Tuhan.
Kekuatan intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat daripada akal pikiran. Tidak semua manusia secara otomatis mampu menjadi insan kamil. Ia memerlukan perjuangan dan mungkin perjalanan panjang. Tidak cukup bermodal kecerdasan logika dan intelektual. Yang lebih penting adalah kecerdasan emosional-spiritual.
Modal utama menjadi khalifah di bumi pun tidak cukup dengan kecerdasan logika dan intelektual, tetapi diperlukan juga kualitas insan kamil. Saat alam dikelola manusia yang tidak berkualitas insan kamil, selain menimbulkan ancaman yang dikhawatirkan malaikat, yaitu kerusakan alam dan pertumpahan darah (QS. Al-Baqarah: 30), alam juga belum tentu mau tunduk kepada manusia.
Aspek lahir baharu (hadis) dan aspek batin yang tidak baharu. Seperti disimpulkan Dr Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya, “Aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan.”
Kepaduan dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep khalifah dan ketundukan alam semesta (taskhir). Atas dasar ini maka dapat dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam dan alam semesta tunduk kepada anak manusia.
Namun, perlu diketahui, konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi maupun Al-Jili menyatakan tidak semua manusia berhak menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya seperti manusia yang didikte hawa nafsunya sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, kata Ibnu Arabi, tidak layak disebut insan kamil.
Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya benar yang layak disebut insan kamil. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan lebih tepat disebut binatang menyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas kekhalifahan.
Perlu ditegaskan kembali, kesempurnaan manusia bukan terletak pada kekuatan akal dan pikiran (an-nuthq) yang dimilikinya, melainkan pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan. Manusia menjadi khalifah bukan karena kapasitas akal dan pikiran yang dimilikinya.
Alam raya tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal pikirannya, tetapi lebih pada kemampuan manusia mengaktualisasikan dirinya sebagai insan kamil. Kemampuan aktualisasi diri ini bukan kerja akal, melainkan kerja batin, yakni kemampuan intuitif manusia menyingkap tabir yang menutupi dirinya dari Tuhan.
Kekuatan intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat daripada akal pikiran. Tidak semua manusia secara otomatis mampu menjadi insan kamil. Ia memerlukan perjuangan dan mungkin perjalanan panjang. Tidak cukup bermodal kecerdasan logika dan intelektual. Yang lebih penting adalah kecerdasan emosional-spiritual.
Modal utama menjadi khalifah di bumi pun tidak cukup dengan kecerdasan logika dan intelektual, tetapi diperlukan juga kualitas insan kamil. Saat alam dikelola manusia yang tidak berkualitas insan kamil, selain menimbulkan ancaman yang dikhawatirkan malaikat, yaitu kerusakan alam dan pertumpahan darah (QS. Al-Baqarah: 30), alam juga belum tentu mau tunduk kepada manusia.
Apa Itu Insan Kamil? (1)
Insan kamil atau manusia paripurna dibahas secara khusus oleh para sufi,
khususnya Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili. Pengertian insan kamil
tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami kalangan ulama, yaitu
manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi Muhammad SAW.
Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Alquran.
Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.
Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.
Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).
Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).
Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-kamilah.
Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa.
Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut insan kamil.
Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Alquran.
Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.
Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.
Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).
Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).
Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-kamilah.
Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa.
Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut insan kamil.
Kamis, 08 Maret 2012
Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran Tentang Buah Anggur
''Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.'' ( QS: An Nahl: ayat 11)
Aneka ragam buah-buahan segar diciptakan Sang Khalik untuk umat manusia. Di antara sekian banyak buah-buahan itu, salah satu yang disebutkan Allah SWT dalam Alquran dalah anggur. Buah yang rasanya lezat itu, disebutkan dalam Alquran sebanyak 14 kali.
"Ini menunjukkan bahwa betapa banyak nikmat yang Allah berikan dan sediakan untuk hamba-Nya, baik ketika masih di dunia maupun kelak nanti di kehidupan abadi, yaitu surga bagi orang-orang yang bertakwa," ujar Hisham Tahlbah dalam karyanya bertajuk Al-I'jaz Al Ilmi fi Alquran wa al sunnah (Ensiklopedia Mukzijat Alquran dan Hadis).
Anggur merupakan salah satu tanaman yang dikenal umat manusia sejak lama. Menurut Thlbah, anggur sudah dikenal sejak masa Nabi Nuh AS. Tanaman yang berbuah manis dan lezat itu tumbuh merambat ke atas, berlawanan arah dengan ujung kuncupnya, dan searah dengan penopang anggur.
"Anggur juga telah diketahui oleh orang-orang kuno sebagai tanaman berkhasiat tinggi dan memiliki manfaat sangat banyak. Kesimpulannya, anggur adalah salah satu buah yang paling banyak manfaatnya," tutur Tahlbah.
Buah anggur ini, sangat baik untuk dimakan, baik ketika masih segar ataupun sudah kering. Anggur merupakan buah yang mudah dicerna, dapat menggemukan, dan dapat menyuplai gizi yang yang cukup. Anggur hijau maupun merah memiliki khasiat yang sama, keduanya bisa dimanfaatkan untuk menjadi buah, makanan, minuman, maupun sebagai obat.
Hal senada juga dituturkan Ibnu Qayyim. Menurutnya, anggur adalah salah satu buah-buahan yang memiliki banyak manfaat. "Anggur adalah salah satu buah dari sekian banyak buah, salah satu makanan bergizi dari sekian banyak makanan bergizi, salah satu obat dari sekian banyak obat, atau salah satu minuman dari sekian banyak minuman," ungkap Ibnu Qayyim.
Sebagai obat, anggur memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Tahlbah mengungkapkan, anggur diyakini bisa mengobati batuk, memurnikan darah, membersihkan usus, pencernaan, bahkan bermanfaat untuk orang-orang yang terkena penyakit lambung. Tak hanya itu, anggur juga bisa dimanfaatkan bagi siapa saja yang henda melakukan diet (mengatur pola makanan).
Thalbah menjelaskan dalam buku-buku pengobatan pernafasan, anggur juga memiliki manfaat sebagai obat untuk mendukung pengobatan pernafasan. Untuk mendukung pengobatan tersebut, anggur diolah menjadi minuman yang berupa jus anggur. "Perasan air anggur juga berkhasiat menurunkan panas tubuh, menghentikan batuk, dan membuat perut merasa nyaman," papar Tahlbah.
Jus anggur, menurut dia, bisa membantu penyembuhan dari penyakit hemaroid (wasir), gangguan pencernaan, batu ginjal dan gangguan kantong empedu. Untuk itu, para peneliti menganjurkan untuk meminum segelas jus anggur, sebelum sarapan dan sebelum makan malam.
Bahkan meminum segelas anggur sebelum tidur juga bisa membantu anda untuk tidur nyenyak tanpa insomnia yang mengganggu. Jus anggur juga baik untuk orang-orang yang keracunan, keletihan atau dalam masa penyembuhan atau terkena batu ginjal (kencing batu).
Menurut para peneliti, jus anggur harus segera diminum setelah pembuatannya, karena jika didiamkan terlalu lama akan berubah menjadi arak yang memabukkan. "Dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti," (QS Al-Nahl (16) ayat 67).
Anggur juga bisa digunakan sebagai cairan pelembab kulit muka dan untuk bahan kosmetika. Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi atau akrab disapa Ibnu al-Baitar (1197 M – 1248 M) menuturkan bahwa anggur yang baik adalah anggur yang berukuran besar, berkulit tipis, berbiji jarang, dan berwarna agak kemerah-merahan. Menurutnya anggur adalah buah yang paling diminati.
"Ia juga tergolong paling baik dibandingkan buah-buahan lainnya, karena mengandung banyak lemak. Ia dapat menggemukan orang yang kurus, membersihkan darah, dan memperlancar saluran pencernaan. Anggur juga bermanfaat untuk meningkatkan libido, memulihkan orang yang sakit, dan menguatkan jantung," jelas Ibnu Baithar, ahli botani Muslim terkemuka di era kejayaan Islam di Andalusia.
Anggur muda atau anggur yang masih segar, lanjut Tahlbah, memiliki manfaat dapat memampatkan darah yang terus menerus mengalir keluar (pendarahan), menguatkan lambung, memperlancar saluran pencernaan, dan mengatasi masalah usus besar.
"Dari beberapa penelitian diperoleh kesimpulan bahwa anggur adalah buah yang memiliki banyak manfaat. Anggur sangat efektif dalam membangun, memperbaiki, dan memperkuat sel-sel tubuh. Ia juga dapat mengobati sejumlah penyakit. Selain mengobati anggur juga berfungsi untuk melindingi manusia dari serangan penyakit," tandas Tahlbah.
Fakta ini menunjukkan betapa buah-buahan yang disebutkan Sang Khalik dalam Alquran memiliki khasiat dan kegunaan yang luar biasa. Inilah salah satu bukti kemukjizatan ayat-ayat suci Alquran.
Aneka ragam buah-buahan segar diciptakan Sang Khalik untuk umat manusia. Di antara sekian banyak buah-buahan itu, salah satu yang disebutkan Allah SWT dalam Alquran dalah anggur. Buah yang rasanya lezat itu, disebutkan dalam Alquran sebanyak 14 kali.
"Ini menunjukkan bahwa betapa banyak nikmat yang Allah berikan dan sediakan untuk hamba-Nya, baik ketika masih di dunia maupun kelak nanti di kehidupan abadi, yaitu surga bagi orang-orang yang bertakwa," ujar Hisham Tahlbah dalam karyanya bertajuk Al-I'jaz Al Ilmi fi Alquran wa al sunnah (Ensiklopedia Mukzijat Alquran dan Hadis).
Anggur merupakan salah satu tanaman yang dikenal umat manusia sejak lama. Menurut Thlbah, anggur sudah dikenal sejak masa Nabi Nuh AS. Tanaman yang berbuah manis dan lezat itu tumbuh merambat ke atas, berlawanan arah dengan ujung kuncupnya, dan searah dengan penopang anggur.
"Anggur juga telah diketahui oleh orang-orang kuno sebagai tanaman berkhasiat tinggi dan memiliki manfaat sangat banyak. Kesimpulannya, anggur adalah salah satu buah yang paling banyak manfaatnya," tutur Tahlbah.
Buah anggur ini, sangat baik untuk dimakan, baik ketika masih segar ataupun sudah kering. Anggur merupakan buah yang mudah dicerna, dapat menggemukan, dan dapat menyuplai gizi yang yang cukup. Anggur hijau maupun merah memiliki khasiat yang sama, keduanya bisa dimanfaatkan untuk menjadi buah, makanan, minuman, maupun sebagai obat.
Hal senada juga dituturkan Ibnu Qayyim. Menurutnya, anggur adalah salah satu buah-buahan yang memiliki banyak manfaat. "Anggur adalah salah satu buah dari sekian banyak buah, salah satu makanan bergizi dari sekian banyak makanan bergizi, salah satu obat dari sekian banyak obat, atau salah satu minuman dari sekian banyak minuman," ungkap Ibnu Qayyim.
Sebagai obat, anggur memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Tahlbah mengungkapkan, anggur diyakini bisa mengobati batuk, memurnikan darah, membersihkan usus, pencernaan, bahkan bermanfaat untuk orang-orang yang terkena penyakit lambung. Tak hanya itu, anggur juga bisa dimanfaatkan bagi siapa saja yang henda melakukan diet (mengatur pola makanan).
Thalbah menjelaskan dalam buku-buku pengobatan pernafasan, anggur juga memiliki manfaat sebagai obat untuk mendukung pengobatan pernafasan. Untuk mendukung pengobatan tersebut, anggur diolah menjadi minuman yang berupa jus anggur. "Perasan air anggur juga berkhasiat menurunkan panas tubuh, menghentikan batuk, dan membuat perut merasa nyaman," papar Tahlbah.
Jus anggur, menurut dia, bisa membantu penyembuhan dari penyakit hemaroid (wasir), gangguan pencernaan, batu ginjal dan gangguan kantong empedu. Untuk itu, para peneliti menganjurkan untuk meminum segelas jus anggur, sebelum sarapan dan sebelum makan malam.
Bahkan meminum segelas anggur sebelum tidur juga bisa membantu anda untuk tidur nyenyak tanpa insomnia yang mengganggu. Jus anggur juga baik untuk orang-orang yang keracunan, keletihan atau dalam masa penyembuhan atau terkena batu ginjal (kencing batu).
Menurut para peneliti, jus anggur harus segera diminum setelah pembuatannya, karena jika didiamkan terlalu lama akan berubah menjadi arak yang memabukkan. "Dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti," (QS Al-Nahl (16) ayat 67).
Anggur juga bisa digunakan sebagai cairan pelembab kulit muka dan untuk bahan kosmetika. Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya al-Din al-Malaqi atau akrab disapa Ibnu al-Baitar (1197 M – 1248 M) menuturkan bahwa anggur yang baik adalah anggur yang berukuran besar, berkulit tipis, berbiji jarang, dan berwarna agak kemerah-merahan. Menurutnya anggur adalah buah yang paling diminati.
"Ia juga tergolong paling baik dibandingkan buah-buahan lainnya, karena mengandung banyak lemak. Ia dapat menggemukan orang yang kurus, membersihkan darah, dan memperlancar saluran pencernaan. Anggur juga bermanfaat untuk meningkatkan libido, memulihkan orang yang sakit, dan menguatkan jantung," jelas Ibnu Baithar, ahli botani Muslim terkemuka di era kejayaan Islam di Andalusia.
Anggur muda atau anggur yang masih segar, lanjut Tahlbah, memiliki manfaat dapat memampatkan darah yang terus menerus mengalir keluar (pendarahan), menguatkan lambung, memperlancar saluran pencernaan, dan mengatasi masalah usus besar.
"Dari beberapa penelitian diperoleh kesimpulan bahwa anggur adalah buah yang memiliki banyak manfaat. Anggur sangat efektif dalam membangun, memperbaiki, dan memperkuat sel-sel tubuh. Ia juga dapat mengobati sejumlah penyakit. Selain mengobati anggur juga berfungsi untuk melindingi manusia dari serangan penyakit," tandas Tahlbah.
Fakta ini menunjukkan betapa buah-buahan yang disebutkan Sang Khalik dalam Alquran memiliki khasiat dan kegunaan yang luar biasa. Inilah salah satu bukti kemukjizatan ayat-ayat suci Alquran.
Minggu, 04 Maret 2012
Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri
Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak
ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima
dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga
memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau
setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan
dirinya (QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan
karena pada naturnya manusia itu fitri, hanif dan berakal. Lebih
dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah
lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai
petunjuk hidupnya (QS. 4:174).
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan.
Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar.
Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para sufi. Kritik terhadap aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai
moral and religious being.
Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin Al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuni—Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam Al-Qur'an beristilah "min ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.
Dari jenjang pertama sampai ketiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh.
Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci.
Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal.
Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima.
Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master.
Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS. 89:27).
Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."
Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan hamba-Nya.
Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima Arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibnu Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan.
Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam konteks inilah, menurut Ibnu Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana Arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dhahir, bukannya Yang Bathin.
Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi sufi.
Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan.
Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar.
Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para sufi. Kritik terhadap aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai
moral and religious being.
Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin Al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuni—Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam Al-Qur'an beristilah "min ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.
Dari jenjang pertama sampai ketiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh.
Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci.
Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal.
Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima.
Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master.
Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS. 89:27).
Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."
Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan hamba-Nya.
Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima Arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibnu Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan.
Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam konteks inilah, menurut Ibnu Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana Arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dhahir, bukannya Yang Bathin.
Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi sufi.
Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
Langganan:
Postingan (Atom)