Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak
ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima
dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah juga
memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau
setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan
dirinya (QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan
karena pada naturnya manusia itu fitri, hanif dan berakal. Lebih
dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah
lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai
petunjuk hidupnya (QS. 4:174).
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu—siapa
yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya.
Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang
untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal
Tuhan.
Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana
diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini
manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan
hakikat kemanusiaannya. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah
misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung
sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah
mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba
berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut
kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik
lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman
komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan diri
sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern,
melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap
ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada
persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan
Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini
cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara
manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap
menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau,
sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas
ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
Demikianlah, bila ilmu
fiqih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha Hakim, maka ilmu
kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal,
sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan
ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan
adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang
dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam
realitas sejarah hidupnya. Jadi, bila langkah pertama untuk
mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu
secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh
ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar.
Bagi mereka
yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir
empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna
penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di
kalangan para sufi. Kritik terhadap aliran materialisme
akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai
bidang studi keilmuan Barat kontemporer dengan dalih, antara
lain, faham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan
Tuhan sebagai
moral and religious being.
Pandangan yang
begitu dangkal tentang manusia secara tegas dikritik oleh al-Qur'an.
Menurut doktrin Al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di
muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang
surga di bumi ini (QS. 2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi
terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja
diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan
melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuni—Aku
pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal,
Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas
apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi
menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang
berbeda. Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia
adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan
dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam
QS. 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia
memang terdapat unsur Ilahi yang dalam Al-Qur'an beristilah "min
ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata
rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality,
vegetality, animality, dan humanity.
Dari jenjang pertama sampai
ketiga aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup
dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau
fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks
inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia
materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin
berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas
dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya
secara utuh.
Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf
belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat
bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat
keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya
melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa
sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci.
Ajaran
spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan
pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan
mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah
bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan
kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik
bersifat natural dan universal.
Pendeknya, pada nurani
manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap
Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara
nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling
prima.
Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati
Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan
merupakan natur manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya
sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani
yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat
imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini
seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai
master.
Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan
standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa
tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa
yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan
sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang
kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu
turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran:
minerality, vegetality, dan animality.
Jadi, tujuan utama ajaran
tasawuf adalah membantu seseorang bagaimana caranya seseorang bisa
memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia
merasa damai dan juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai
pula (QS. 89:27).
Secara garis besar tahapan seorang mukmin
untuk meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama,
dzikir atau ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan
mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di
manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan
berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini meningkat
sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar meniru
sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia
sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga disebut sebagai proses
internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini
kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi,
"Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."
Maqam ketiga tahaqquq.
Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan
kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah
"didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang
serba suci dan mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits
Qudsi yang digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi
seorang mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan
intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan
hamba-Nya.
Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya
ialah apa yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang
metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati
seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya bagai istana
dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan
tergantung bagaimana perilaku sang raja.
Dalam sebuah hadits
Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu kecil dan
mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil
(qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia
sanggup menerima Arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup.
Menurut Ibnu Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata
taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati
sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan.
Tajalli
berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam pengertian
metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan
Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya
dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977,
p.138). Dalam konteks inilah, menurut Ibnu Arabi, yang dimaksudkan
dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan
mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad
cilik dimana Arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan bukan
pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha
Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dhahir, bukannya Yang
Bathin.
Bila upaya penyucian jiwa
merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan
menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti
keberagaman dan karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk
menjadi sufi.
Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan
tahaqquq, maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah
dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan
damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah
sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka
bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek untuk
memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah
dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara karikatural, seorang
sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir
tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang
mewah pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar