Ketika Nabi Ayub masuk kembali ke perkampungan di dalam kota dengan wajah tampan seperti semula, maka semua orang memujanya, termasuk istrinya. Namun, karena sudah terlanjur bersumpah akan mencabuk istrinya kalau ia kembali sembuh, maka ia diminta Allah SWT untuk menunaikan sumpahnya tanpa menimbulkan rasa sakit pada istrinya.
"Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44).
Yang menarik untuk diperhatikan dari kisah ini ialah, Allah SWT menyebut Nabi Ayub sebagai orang yang shabir, bukanmashabir, atau shabur. Di dalam Alquran ada tiga istilah yang sering digunakan Allah, yaitu shabir, mashabir, dan shabur.
Meskipun ketiga kata tersebut berasal dari akar kata yang sama (shabara), namun ketiganya membentuk makna berbeda satu sama lain. Kata shabir menunjukkan kepada orang yang sabar, tetapi kesabarannya masih temporer. Sewaktu-waktu masih bisa lepas kontrol sehingga kesabaran menjadi lenyap.
Sedangkan kata mashabir berarti orang yang sabar dan kesabarannya bersifat permanen. Kalau ada orang yang membatasi kesabaran dalam kurun waktu tertentu, seperti ungkapan “tapi kesabaran kan punya batas”, maka orang itu belum masuk kategori mashabir. Sedangkan shabur hanya berlaku untuk Allah SWT. Karena itu, salah satu sifat Allah yang ditempatkan dalam asma’ yang terakhir ialah al-Sabur.
Hanya Allah SWT yang dapat disebut shabur (setimbang fa’ul atau fa’il) yang tidak akan pernah mungkin dapat dilakukan oleh makhluknya. Seperti Al-Rahim (Maha Penyayang), Al-Hakim (Maha Bijaksana), Al-Halim (Maha Lembut), dll.
Allah SWT disebut Al-Shabur karena Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ulah dan tingkah laku hamba-Nya. Sekufur dan sezalim apa pun hambanya, Ia tetap tidak bergeming dan tetap bersedia untuk memaafkannya. Ini buktinya bahwa Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih-Penyayang daripada Tuhan Maha Penyiksa dan Pendendam.
Nabi Ayub disebut shabir, menurut ulama tasawuf (isyari) karena ia menjalani ujian penderitaan itu hanya sebentar. Karena penderitaannya diubah menjadi kenikmatan. Bagi seorang Ayub, tidak peduli apakah itu shabir atau mashabir, yang penting ia menjalani kehidupan yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Yang Maha Pengatur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar