Sabtu, 03 Maret 2012

Antara Al-Shabir, Al-Mashabir, dan Al-Shabur (1)


Nabi Ayub AS adalah orang yang paling sabar di dalam Alquran. Ia dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit aneh. Sekujur tubuhnya hancur dan membusuk. Bukan hanya itu, luka di sekujur tubuhnya dikerumuni belatung. 

Akibatnya, ia dipencilkan oleh masyarakat, termasuk oleh istri yang selama ini mendampinginya. Ia dibuang jauh di luar perkampungan di sebuah pegunungan. Ia hidup di dalam sebuah gua yang gelap dan sepi. 

Di dalam gua itu Nabi Ayub menghabiskan waktunya seorang diri. Di dalam kesendiriannya inilah Nabi Ayub pernah bersumpah, seandainya Allah memberikan kesembuhan, maka niscaya ia akan menccambuk istrinya karena tega membuang dirinya di tempat yang sepi.

Suatu ketika, ia termenung dan memandangi belatung yang sedang menggerogoti tubuhnya. Ia tiba-tiba berubah pandangan terhadap belatung-belatung yang menggerogoti tubuhnya. Ia menjadikan belatung-belatung tersebut sebagai temannya.

Ia berujar, "Wahai para belatung, sahabatku, makanlah sepuas-puasnya dagingku karena kalian semua sekarang sudah menjadi sahabatku. Kalau hari-hari yang lampau kalian kuanggap musuhku, kemana-mana aku mencari tabib untuk memusnahkan kalian, maka sekarang satu-satunya yang bersedia menemaniku di kegelapan malam di dalam gua ini hanyalah kalian. Semua orang, termasuk anggota keluargaku, membuang aku di tempat yang jauh ini."

Konon, belatung yang terjatuh pada saat ia beribadah diangkat lagi naik ke badannya karena begitu sayangnya Nabi Ayub terhadap belatung itu. Belatung-belatung itu seperti menjadi binatang kesayangannya. Kalau dahulu gigitan belatung itu menyakitkan, kini ia tidak merasakan rasa sakit. Kalau dahulu ia jijik dan benci, kini ia menyukai dan menyayangi belatung itu. Ini menjadi pelajaran bahwa perubahan paradigma dan persepsi ternyata bisa memengaruhi perasaan seseorang. Dari rasa yang amat sakit menjadi berkurang sakitnya, bahkan mungkin menjadi kenikmatan tersendiri.

Setelah sekian lama Allah SWT menguji Nabi Ayub, maka suatu ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk melakukan sesuatu,"Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad: 42). Setelah Nabi Ayub memukulkan kakinya ke tanah, maka tiba-tiba muncratlah aliran air jernih dan sejuk dari bekas tumit Nabi Ayub. 

Nabi Ayub minum dan mandi dari air itu dan tiba-tiba ia merasakan perubahan yang amat besar di dalam dirinya. Ia tidak menyaksikan lagi luka di dalam dirinya dan sahabat-sahabat belatungnya tiba-tiba menghilang entah kemana. Bahkan bekas-bekas luka pun tidak tampak pada diri Nabi Ayub. Ia lalu bersujud kepada Allah SWT dan bersyukur atas berakhirnya cobaan yang ia alami.

Peristiwa memancarnya air dari pukulan kaki mengingatkan kita pada Nabi Ismail yang juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba keluar mata air yang kini menjadi sumur Zamzam. Hanya bedanya, sumur Zamzam dirawat dengan baik. Sedangkan sumur Nabi Ayub yang terletak sekitar dua jam dari kota Damaskus, dekat dari makam Imim Al-Nawawi, pengarang kitab Riyadh al-Shalihin, tidak terurus dengan baik. 

Ketika penulis berkunjung ke sumur ini, baru saja dipugar oleh seorang Kanada yang mengaku kakinya yang “korengan” tidak bisa sembuh, tiba-tiba sembuh setelah mencucinya dengan air sumur itu. Ia kembali ke kota kecil ini membangun tembok dan pagar di sekeliling sumur Ayub.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar