CEO Garudafood, Sudhamek AWS melihat happiness dari dua angle. Dari sisi duniawi (ekonomi) dan non duniawi (spiritual). Dari sisi ekonomi, happiness merupakan hasil bagi dari possession (yang dimiliki) dengang desire (keinginan). Penafsiran dari hukum ekonomi adalah untuk meningkatkan kebahagiaan maka prosentase possession harus ditambah. “Nah, ini yang saya tidak setuju. Dari pandangan seorang Budhis, secara spiritual, untuk mencapai kebahagiaan yang harus dikendalikan adalah desire-nya,” ujar Sudhamek yang juga Ketua Umum Majelis Budhayana Indonesia ini. Setinggi apa pun possession ditingkatkan kalau desire-nya liar, maka hasil baginya tidak akan ketemu.
Contohnya, masyarakat yang hidup di pedesaan. Meski secara financial kehidupan mereka sangat minimal, tetapi mereka bersahaja dan tidak memiliki keinginan (desire) yang neko-neko maka mereka jauh lebih bahagia dari orang-orang sukses di kota-kota. “Saya memaknai happiness secara berbeda. Memang, possession harus berkembang, tetapidesire harus di-manage,” katanya.
Konsep lain tentang kebahagiaan yang diyakini Sudhamek adalah kemampuan mengendalikan keadaan. Yakni, keadaan sebab-akibat. Dalam kondisi ini, segala sesuatu pasti ada penyebab yang mengakibatkan sebuah peristiwa. Misalnya, belum lama ini Sudhamek bertemu anaknya yang mengeluh tentang beratnya beban pendidikan yang ditempuhnya. “Saya bilang, ini merupakan konsekuensi dari pilihan kamu sebelumnya,” kata dia. Karenanya, konsekuensi tersebut harus dihadapi dengan positiveatau negative thinking. “Kalau kita menerimanya dengan negativethinking, ya kita akan menderita,” jelasnya.
Intinya adalah bagaimana seseorang merespon sebuah stimulus akan menentukan kebahagiaan orang tersebut. Sudhamek sepakat dengan teori psikologi logotherapy yang dikembangkan oleh Viktor Frankl. Yakni, teori untuk memaknai sebuah stimulus. Tahap memaknai ini ada di antara stimulus dan respon. “Sebelum merespon sebuah stimulus, ada tahapan memaknai yang disebut dengan the box of freedom,” katanya. Nah, the box of freedom ini ada di dalam masing-masing manusia. Tergantung apakah mau merespon stimulus dengan negatif atau positif. “Pada konsep ini, kebahagiaan bergantung pada pikiran masing-masing,” kata dia. Karena itu, Sudhamek akan merasa tidak bahagia apabila dirinya tidak bisa mengendalikan pikirannya untuk merespon sebuah keadaan.
Sementara, dirinya akan merasa bahagia apabila mampu memberikan manfaat bagi orang lain: keluarga, lingkungan, dan rekan kerja juga karyawan. “Bila yang kita lakukan mampu memberi manfaat bagi orang lain, itu sangat membahagiakan,” jelas dia.
Lalu bagaimana Sudhamek menerapkan konsep kebahagiaan tersebut di dalam perusahaan? Menurut dia, perusahaan harus bertumbuh untuk tetap bertahan. Namun, pertumbuhan tersebut tidak perlu dipaksakan. “Kalau kita berpikir, sebuah target pertumbuhan mau-tidak mau harus dicapai dan kemudian tidak tercapai seperti yang ditargetkan, maka pada saat itulah kita akan menderita,” ujarnya. Tetapi, akan berbeda bila cara berpikirnya diubah menjadi, “oke saya akan bertumbuh, saya akan kerjakan sebaik-baiknya dengan team work yang baik. Kalau kemudian tidak tercapai maka respon sikap mental kita menjadi lebih besar, tidak menderita,” terangnya.
Dalam masing-masing karyawan juga diterapkan konsep happiness. Sudhamek percaya bila karyawan bahagia maka kinerja karyawan dan perusahaan juga akan meningkat. Misalnya, baru-baru ini Garudafood membuat Model Leader Development Program. Melalui program ini, karyawan dibantu untuk menemukan pekerjaan sesuai dengan calling (panggilan)-nya. Apabila karyawan ditempatkan pada bidang yang sesuai dengan kecintaannya, maka mereka akan bekerja dengan perasaan bahagia.
Garudafood juga membangun manusia yang kompeten sekaligus saleh (spiritual). Menurut Sudhamek, seseorang yang saleh lebih mampu mengendalikan pikiran untuk merespon keadaan. “Dari kesalehan akan muncul kreatifitas dan melahirkan karya-karya besar karena karyawan bekerja dengan nyaman, tentram dan bahagia,” jelas dia. Contoh konkretnya, setiap akan memulai rapat, anggota tim Garudafood diajak untuk mengatur pernafasan. Tujuannya, untuk membuat pikiran karyawan berada pada kondisi saat ini dan di tempat ini. “Kadang, yang membuat tidak bahagia itu karena pikiran kita melayang ke masa lalu atau masa depan,” katanya. Memikirkan masa lalu dan/atau masa depan hanya akan memunculkan romantika dan juga kekhawatiran akan masa depan. “Maka itu, kita kembalikan pikiran mereka pada saat ini dan di tempat ini,” terangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar