Menelusuri
jalan hidup kadang tak ubahnya seperti pengembara yang berjalan di tengah
terik. Haus dan melelahkan. Andai ada air segar yang tersaji di tiap
persinggahan. Andai tiap orang sadar kalau air segar itu adalah ibadah di tiap
persinggahan kesibukan.
Ada yang
aneh dari sudut pandang Aisyah r.a. terhadap tingkah suaminya, Rasulullah saw.
Ia terheran ketika mendapati Rasul yang begitu menikmati shalat sunnah hingga
kakinya bengkak. Apa beliau tidak merasakan sakit itu?
Aisyah pun
mengatakan, “Kenapa kau lakukan itu, ya Rasulullah? Bukankah Allah telah
mengampuni dosa-dosamu yang dulu dan akan datang?” Dengan ringan Rasul
menjawab, “Tak patutkah aku untuk menjadi hamba Allah yang senantiasa
bersyukur!”
Kenikmatan
beribadah. Itulah yang dirasakan Baginda Rasulullah saw. ketika sedang shalat.
Sedemikian nikmatnya, hingga rasa sakit dari bengkak kakinya tak lagi terasa.
Beliau seperti tak ingin menyudahi komunikasinya dengan Yang Maha Kasih, Yang
Maha Sayang.
Keindahan
hubungan antara seorang hamba dengan Khaliqnya itu bukan sesuatu yang terjadi
begitu saja. Persis seperti seorang rakyat ketika berkomunikasi dengan seorang
pejabat tinggi. Umumnya, komunikasi akan berlangsung formal, kaku, dan
membosankan. Akan beda jika rakyat itu masih ada hubungan keluarga dengan sang
pejabat. Mereka sudah saling kenal. Komunikasi menjadi tidak formal, santai,
dan sangat menyenangkan. Padahal posisinya tetap sama: antara rakyat dengan
seorang pejabat tinggi.
Secara
sederhana bisa dibilang ada hijab. Ada sesuatu yang mendindingi antara hati
seorang manusia dengan Allah swt. Dinding ini bisa menebal, bisa juga menipis.
Bahkan nyaris tak ada dinding sama sekali.
Firman
Allah swt. dalam surah Qaf ayat 16, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya.”
Masalahnya,
sedekat itu pulakah seorang hamba Allah kepada Allah swt. Ini yang akhirnya
menentukan keharmonisan dan kenikmatan dalam beribadah. Dan ini pula yang
menentukan bermutu tidaknya ibadah seorang hamba Allah swt.
Mutu
ibadah yang terkesan sederhana ini, ternyata punya dampak yang luar biasa dalam
tatanan kehidupan manusia. Mutu ibadah seseorang sangat berpengaruh pada sepak
terjangnya di dunia nyata. Apakah terhadap sesama manusia atau dengan alam
lingkungannya.
Dalam hal
shalat misalnya, Al-Qur’an menyebutnya dengan mereka yang lalai dari shalat.
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong
dengan) barang berguna.” [QS. Al-Ma'un (107): 4-7]
Bagaimana
mungkin orang yang rajin shalat bisa tak peduli dengan lingkungan, bahkan bisa
berbuat jahat dengan saudara seiman? Ini menandakan kalau shalat yang dilakukan
tidak bermutu sama sekali. Karena pengaruh shalatnya tidak terlihat dalam
hubungan sosialnya dengan yang lain.
Rasulullah
saw. mengatakan, “Maafkanlah kesalahan orang yang murah hati (dermawan).
Sesungguhnya Allah menuntun tangannya jika dia terpeleset (jatuh). Seorang
pemurah hati dekat kepada Allah, dekat kepada manusia dan dekat kepada surga.
Seorang yang bodoh tapi murah hati lebih disukai Allah daripada seorang alim
(tekun beribadah) tapi kikir.” (HR. Athabrani)
Ternyata,
jauh tidaknya seseorang kepada Allah bisa dilihat dari hubungannya dengan orang
sekitar. Kalau seseorang tidak disukai dengan orang sekitarnya, terlebih sesama
mukmin, berarti hubungan orang itu dengan Allah swt. seperti minyak dengan air.
Terlihat seperti menyatu, padahal selalu pisah.
Perhatikanlah
bagaimana sosok Rasulullah saw. di mata para sahabatnya. Begitu dekat, begitu
dicintai. Rasulullah saw. buat para sahabatnya bisa seperti ayah dengan anak,
antara sesama sahabat dekat, dan seperti guru dengan murid.
“Sungguh telah
datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” [QS. At-Taubah (9):
128]
Dekat
tidaknya seseorang dengan Allah swt. juga bergantung pada diri orang itu
sendiri. Dan pintu itu ada pada kebersihan hati, kekuatan iman, serta istiqamah
dalam mentaati aturan Allah dalam kehidupan.
Maha Benar
Allah dalam firman-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran.” [QS. Al-Baqarah (2): 186]
Andai
ibadah menjadi sesuatu yang menyenangkan buat diri seseorang, dia akan
menjadikan shalat persis seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap shalatnya.
Rasulullah saw. bila menghadapi suatu dilema (situasi yang sukar dan
membingungkan), beliau shalat. (HR Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar