Kamis, 08 Desember 2011

Menikmati Kesegaran Ibadah


Menelusuri jalan hidup kadang tak ubahnya seperti pengembara yang berjalan di tengah terik. Haus dan melelahkan. Andai ada air segar yang tersaji di tiap persinggahan. Andai tiap orang sadar kalau air segar itu adalah ibadah di tiap persinggahan kesibukan.
Ada yang aneh dari sudut pandang Aisyah r.a. terhadap tingkah suaminya, Rasulullah saw. Ia terheran ketika mendapati Rasul yang begitu menikmati shalat sunnah hingga kakinya bengkak. Apa beliau tidak merasakan sakit itu?
Aisyah pun mengatakan, “Kenapa kau lakukan itu, ya Rasulullah? Bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang dulu dan akan datang?” Dengan ringan Rasul menjawab, “Tak patutkah aku untuk menjadi hamba Allah yang senantiasa bersyukur!”
Kenikmatan beribadah. Itulah yang dirasakan Baginda Rasulullah saw. ketika sedang shalat. Sedemikian nikmatnya, hingga rasa sakit dari bengkak kakinya tak lagi terasa. Beliau seperti tak ingin menyudahi komunikasinya dengan Yang Maha Kasih, Yang Maha Sayang.
Keindahan hubungan antara seorang hamba dengan Khaliqnya itu bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Persis seperti seorang rakyat ketika berkomunikasi dengan seorang pejabat tinggi. Umumnya, komunikasi akan berlangsung formal, kaku, dan membosankan. Akan beda jika rakyat itu masih ada hubungan keluarga dengan sang pejabat. Mereka sudah saling kenal. Komunikasi menjadi tidak formal, santai, dan sangat menyenangkan. Padahal posisinya tetap sama: antara rakyat dengan seorang pejabat tinggi.
Secara sederhana bisa dibilang ada hijab. Ada sesuatu yang mendindingi antara hati seorang manusia dengan Allah swt. Dinding ini bisa menebal, bisa juga menipis. Bahkan nyaris tak ada dinding sama sekali.
Firman Allah swt. dalam surah Qaf ayat 16, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Masalahnya, sedekat itu pulakah seorang hamba Allah kepada Allah swt. Ini yang akhirnya menentukan keharmonisan dan kenikmatan dalam beribadah. Dan ini pula yang menentukan bermutu tidaknya ibadah seorang hamba Allah swt.
Mutu ibadah yang terkesan sederhana ini, ternyata punya dampak yang luar biasa dalam tatanan kehidupan manusia. Mutu ibadah seseorang sangat berpengaruh pada sepak terjangnya di dunia nyata. Apakah terhadap sesama manusia atau dengan alam lingkungannya.
Dalam hal shalat misalnya, Al-Qur’an menyebutnya dengan mereka yang lalai dari shalat. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” [QS. Al-Ma'un (107): 4-7]
Bagaimana mungkin orang yang rajin shalat bisa tak peduli dengan lingkungan, bahkan bisa berbuat jahat dengan saudara seiman? Ini menandakan kalau shalat yang dilakukan tidak bermutu sama sekali. Karena pengaruh shalatnya tidak terlihat dalam hubungan sosialnya dengan yang lain.
Rasulullah saw. mengatakan, “Maafkanlah kesalahan orang yang murah hati (dermawan). Sesungguhnya Allah menuntun tangannya jika dia terpeleset (jatuh). Seorang pemurah hati dekat kepada Allah, dekat kepada manusia dan dekat kepada surga. Seorang yang bodoh tapi murah hati lebih disukai Allah daripada seorang alim (tekun beribadah) tapi kikir.” (HR. Athabrani)
Ternyata, jauh tidaknya seseorang kepada Allah bisa dilihat dari hubungannya dengan orang sekitar. Kalau seseorang tidak disukai dengan orang sekitarnya, terlebih sesama mukmin, berarti hubungan orang itu dengan Allah swt. seperti minyak dengan air. Terlihat seperti menyatu, padahal selalu pisah.
Perhatikanlah bagaimana sosok Rasulullah saw. di mata para sahabatnya. Begitu dekat, begitu dicintai. Rasulullah saw. buat para sahabatnya bisa seperti ayah dengan anak, antara sesama sahabat dekat, dan seperti guru dengan murid.
“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” [QS. At-Taubah (9): 128]
Dekat tidaknya seseorang dengan Allah swt. juga bergantung pada diri orang itu sendiri. Dan pintu itu ada pada kebersihan hati, kekuatan iman, serta istiqamah dalam mentaati aturan Allah dalam kehidupan.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” [QS. Al-Baqarah (2): 186]
Andai ibadah menjadi sesuatu yang menyenangkan buat diri seseorang, dia akan menjadikan shalat persis seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap shalatnya. Rasulullah saw. bila menghadapi suatu dilema (situasi yang sukar dan membingungkan), beliau shalat. (HR Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar