Sore itu Shafiyyah ingin cepat pulang ke rumah. Ia pun izin untuk
pulang terlebih dahulu setelah waktu kerjanya berakhir. Meskipun ada
beberapa kerjaan yang belum selesai, ia tetap bertekad ingin pulang.
Kelelahan yang membuatnya ingin cepat pulang. Sejak pagi, ia merasakan
badannya kurang fit. Namun tidak disangka, ketika ia sudah berada di bus
kota. Sayup-sayup terdengar azan Maghrib. Ia sadar bahwa tadi ia pulang
pukul setengah enam lewat. Menuju jalan raya, ia harus berjalan kaki
selama kurang lebih dua puluh menit, sedangkan waktu Maghrib pukul enam.
Jadilah dilanda rasa gelisah karena perjalanan masih jauh sedangkan ia
belum menunaikan shalat Maghrib.
Saat di bus, ia terus berdzikir
serta berdoa supaya diizinkan untuk dapat melaksanakan shalat Maghrib.
Ia lihat jalanan agak macet sehingga perjalanan sedikit terhambat. Hari
semakin gelap. Sudah gelisah, ditambah oleh ulah sopir bus yang
seenaknya menurunkan penumpang dan menyuruh penumpang untuk berganti bus
yang berada di belakangnya.
Shafiyyah terus berdzikir. Sesekali
melihat jam yang tertera di hape-nya. Ia berharap supaya detik bergerak
lebih lambat dari biasanya. Jarak yang ditempuh sudah semakin dekat
dengan lokasi tempat Shafiyyah berganti kendaraan yang kedua. Memang,
selama ini Shafiyyah harus berganti angkot dua kali menuju tempat
kerjanya.
Dengan tetap merasa gelisah, Shafiyyah turun dari bus
dan bergegas mencari lokasi masjid terdekat. Alhamdulillah, ia hafal
daerah itu sehingga dengan mudah menemukan sebuah masjid yang sudah
tidak asing lagi namun belum pernah dijamah oleh Shafiyyah. Ia langsung
menuju ke tempat wudhu wanita setelah sebelumnya bertanya letaknya
kepada seorang ibu. Waktu sudah beranjak mendekati Isya, Shafiyyah
melaksanakan shalat Maghrib sendirian.
Selesai shalat, Shafiyyah
berjalan ke tempat biasa ia menunggu bus. Tempat yang strategis,
pikirnya. Karena di lokasi itu, ia bisa menunggu dua bus dengan tujuan
berbeda namun sama-sama melewati tempat tinggalnya. Menit demi menit ia
lewati penantian itu dengan sabar. Sambil terus berdzikir. Ia amati
secara seksama arah datangnya bus yang dinanti. Lama-lama Shafiyyah
merasakan lapar yang sangat, ia juga merasa kelelahan dan didera kantuk
yang datang bersama. Hampir setengah jam ia menunggu. Tanda-tanda bus
datang belum ada. Kemudian ia rasai, bahwa tangis mulai hadir. Ya,
Shafiyyah menangis. Bukan menangis karena cengeng. Tapi karena tubuhnya
belum terbiasa dengan jadwal baru di tempat bekerja yang mengharuskan ia
bangun lebih pagi dan pulang lebih sore ditambah lokasi yang lebih jauh
dari sebelumnya.
Di balik masker yang selalu dikenakannya, air
matanya terus mengalir. Badannya semakin lemah dirasa. Perutnya mulai
sakit karena lapar. Bukan ia tidak punya uang jika langsung membeli
makanan atau makan di lokasi terdekat. Namun ia hanya ingin makan di
rumahnya, memakan masakan ibunya yang pasti telah menanti untuk
dinikmati. Ia takut jika pulang dalam keadaan kenyang, maka masakan sang
ibu akan teronggok begitu saja tanpa tersentuh.
Dalam tangisnya,
seolah kemarahan membuncah di dadanya. Ia ingin memaki Allah. Memprotes
ketidakadilanNya. Mempertanyakan kasih sayangNya. Ya, hanya karena bus
yang ditunggunya belum tiba juga. Tapi semua makian tidak ia keluarkan.
Ia tetap memaksa untuk berfikir jernih. Ia tetap memaksa dirinya untuk
berfikir positif. Ia tetap memaksa dirinya untuk bersabar. Shafiyyah
takut, Allah tidak ridha akan dirinya jika ia khilaf memaki Allah.
Meskipun dalam dadanya terasa berat menahan tangis.
Shafiyyah
sadar, dirinya bukanlah orang suci. Beberapa hari yang lalu, ia
mengalami hal yang sama, perlahan ia menyalahkan Allah atas
ketidaksesuaian keinginan dan keadaan. Namun hanya sesal yang terjadi
setelahnya, ia terus beristighfar. Shafiyyah berfikir, nikmat Allah jauh
lebih besar, lebih banyak jika dibandingkan dengan segala cobaan yang
Allah berikan. Allah bukan tidak sayang. Hanya Allah sedang melimpahkan
kasih sayangNya dengan cara yang berbeda yang insya Allah jika mampu
melewatinya dengan baik akan menjadikan suatu pembelajaran. Belajar
sabar. Insya Allah.
Akhirnya penantiannya berakhir. Dalam satu
waktu, dua bus langsung datang. Ia pun menaiki pun yang terlebih dahulu
tiba. Masih dengan merasakan lapar dan badan yang kurang baik, ia
memaksa sabar hingga sampai di rumah.
Dan hari ini, Shafiyyah
mendapat pelajaran baru mengenai makna sabar yang acap kali terlupakan.
Terlihat sepele, teramat sepelenya terkadang kita tidak menyadari jika
kita telah mengabaikan kesabaran. Jika dari hal kecil saja kita sudah
membiasakan diri untuk bersabar (Insya Allah) maka kita akan terus
belajar menggali kesabaran untuk hal yang lebih besar.
“…..maka
kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang
dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)
Allahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar