Dalam literatur Sunni, mungkin itu hanya bisa disebut ilham.
Keluarbiasaan yang dimiliki orang-orang tersebut bukanlah mukjizat,
melainkan kekeramatan (karamah).
Dalam ontologi Islam dapat
dibedakan. Ada tiga hal yang dapat dianggap luar biasa (khariq
al-‘adat), yaitu mukjizat, karamah, dan sihir.
Mukjizat adalah
perbuatan yang luar biasa yang muncul pada diri seorang nabi atau rasul.
Seperti Nabi Ibrahim yang bisa keluar dari lautan api tanpa sedikit pun
anggota badannya cedera, Nabi Musa membelah lautan, dan Nabi Isa
menghidupkan orang mati. Karamah adalah perbuatan luar biasa, tetapi
hanya muncul pada diri seorang wali.
Contohnya banyak, seperti
kehebatan yang ditunjukkan oleh Khidir dalam Alquran. Sedangkan sihir
adalah perbuatan luar biasa juga, tetapi lebih sederhana dan muncul pada
diri orang yang mempelajari ilmunya dengan tekun. Contohnya,
tukang-tukang sihir pada zaman Nabi Musa yang mendemonstrasikan sihir
ularnya.
Mereka akhirnya berakhir dengan tragis karena ular-ular
dan tukang sihirnya ditelan oleh tongkat musa yang menjelma menjadi ular
yang lebih hebat. Kepada para calon sufi atau sufi pemula, tak perlu
terkecoh dengan keajaiban seseorang. Sebab, mungkin saja itu adalah
tukang sihir atau seseorang yang memiliki kemampuan untuk memerintah
jin.
Meski demikian, tak bisa juga kita mengingkari bahwa ada
hamba-hamba Tuhan yang dikaruniai kedekatan sehingga ia diberi ilham dan
kekeramatan. Inilah yang perlu dicari dan diikuti. Para sufi pemula
juga tidak boleh terlalu yakin dengan bisikan-bisikan dan informasi gaib
yang muncul pada dirinya sebab belum tentu itu bisikan malaikat. Boleh
jadi itu bisikan setan.
Yang paling penting ialah keikhlasan
sejati seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa ada
motivasi duniawi sekecil apa pun. Kalaupun seandainya Allah SWT
memberikan kekhususan seperti apa yang pernah diberikan Tuhan kepada
kekasih-Nya yang lain, biarkanlah itu disimpan di dalam memorinya
sendiri.
Tak perlu hal itu digembar-gemborkan. Apalagi didasari
oleh dorongan keinginan untuk menjadi populer dan demi kepentingan
duniawi lainnya. Oleh karena itu, orang yang hendak menjalani kehidupan
sufistik harus belajar banyak, memilih pembimbing yang benar, dan tidak
boleh meninggalkan apalagi mengecilkan arti dan peran syariat. Jangan
sampai kita menginginkan kedekatan, tetapi yang diperoleh adalah
kesesatan.
Selasa, 28 Februari 2012
Apa yang Perlu Diperhatikan Sufi Pemula? (2)
Dalam doa meminta pertolongan Tuhan secara masif (istigatsah), syekh
atau mursyid sering disebut dan dilibatkan. Syekh atau mursyid juga
sering dijadikan objek perantara (tawasul atau wasilah) yang
diperlakukan sepadan dengan Rasulullah.
Ketakjuban dan kehormatan kita kepada seorang syekh atau mursyid tidak boleh melampaui batas yang sewajarnya sebagai seorang guru.
Namun di sini, tidak berarti seorang pencari Tuhan atau murid dilarang mengagumi dan menghormati syekh atau mursyidnya sesuai dengan tradisi yang sudah lazim di dalam tarekat tertentu yang diikutinya.
Hal yang penting, niat penghormatan itu tidak terkandung keyakinan bahwa syekh atau mursyid itu suci, dianggap sama, bahkan melampaui Rasulullah.
Sebab, kedudukan nabi dan rasul dalam Islam sudah jelas. Nabi dan rasul memperoleh wahyu dan mukjizat serta keistimewaan dari Allah SWT. Sehebat apa pun seorang ulama, syekh, atau mursyid, bahkan para wali, tidak boleh disamakan apalagi diyakini melampaui kehebatan nabi dan rasul.
Tidak bisa diingkari bahwa ada manusia-manusia saleh atau salehah yang mencapai puncak kedekatan diri dengan Allah SWT. Dalam Alquran mereka disebut sebagai wali, seperti Luqman dan Khidir. Namun, wali yang sebenarnya tidak pernah memperkenalkan dirinya sebagai seorang wali. Bahkan, mereka selalu berusaha menyembunyikan diri agar tak dikenal begitu luas.
Jika ada orang mengaku wali dengan mendemonstrasikan keajaiban atau kekeramatan yang dimilikinya, menurut Ibnu Taimiyah, orang itu perlu dicurigai. Kalangan syekh atau mursyid memang banyak mendambakan kekeramatan untuk legitimasi dirinya di depan jamaahnya. Ia berusaha mencari informasi dari alam gaib guna menunjukkan dirinya sebagai wali.
Namun, orang yang berkecenderungan seperti ini, menurut Ibnu Athaillah, tidak termasuk tokoh mursyid ideal. Orang yang sudah mampu merasa dekat sedekat-dekatnya dengan Tuhannya tidak lagi memerlukan kekeramatan, karena ia sudah yakin dengan dirinya sendiri bahwa apa yang dicarinya selama ini sudah ditemukan. Ambisi popularitas di mata publik sudah tidak ada lagi.
Mukjizat dan karamah
Sekiranya ada tokoh pembimbing spiritual, apakah itu syekh, mursyid, atau wali, yang mengaku berkemampuan untuk berkomunikasi dengan para penghuni alam malakut sehingga mereka memiliki kemampuan memahami sejumlah rahasia, misalnya mampu menebak kejadian yang akan datang. Informasi itu tak bisa diparalelkan dengan kemutlakan kebenaran wahyu.
Ketakjuban dan kehormatan kita kepada seorang syekh atau mursyid tidak boleh melampaui batas yang sewajarnya sebagai seorang guru.
Namun di sini, tidak berarti seorang pencari Tuhan atau murid dilarang mengagumi dan menghormati syekh atau mursyidnya sesuai dengan tradisi yang sudah lazim di dalam tarekat tertentu yang diikutinya.
Hal yang penting, niat penghormatan itu tidak terkandung keyakinan bahwa syekh atau mursyid itu suci, dianggap sama, bahkan melampaui Rasulullah.
Sebab, kedudukan nabi dan rasul dalam Islam sudah jelas. Nabi dan rasul memperoleh wahyu dan mukjizat serta keistimewaan dari Allah SWT. Sehebat apa pun seorang ulama, syekh, atau mursyid, bahkan para wali, tidak boleh disamakan apalagi diyakini melampaui kehebatan nabi dan rasul.
Tidak bisa diingkari bahwa ada manusia-manusia saleh atau salehah yang mencapai puncak kedekatan diri dengan Allah SWT. Dalam Alquran mereka disebut sebagai wali, seperti Luqman dan Khidir. Namun, wali yang sebenarnya tidak pernah memperkenalkan dirinya sebagai seorang wali. Bahkan, mereka selalu berusaha menyembunyikan diri agar tak dikenal begitu luas.
Jika ada orang mengaku wali dengan mendemonstrasikan keajaiban atau kekeramatan yang dimilikinya, menurut Ibnu Taimiyah, orang itu perlu dicurigai. Kalangan syekh atau mursyid memang banyak mendambakan kekeramatan untuk legitimasi dirinya di depan jamaahnya. Ia berusaha mencari informasi dari alam gaib guna menunjukkan dirinya sebagai wali.
Namun, orang yang berkecenderungan seperti ini, menurut Ibnu Athaillah, tidak termasuk tokoh mursyid ideal. Orang yang sudah mampu merasa dekat sedekat-dekatnya dengan Tuhannya tidak lagi memerlukan kekeramatan, karena ia sudah yakin dengan dirinya sendiri bahwa apa yang dicarinya selama ini sudah ditemukan. Ambisi popularitas di mata publik sudah tidak ada lagi.
Mukjizat dan karamah
Sekiranya ada tokoh pembimbing spiritual, apakah itu syekh, mursyid, atau wali, yang mengaku berkemampuan untuk berkomunikasi dengan para penghuni alam malakut sehingga mereka memiliki kemampuan memahami sejumlah rahasia, misalnya mampu menebak kejadian yang akan datang. Informasi itu tak bisa diparalelkan dengan kemutlakan kebenaran wahyu.
Apa yang Perlu Diperhatikan Sufi Pemula? (1)
Fenomena kelas menengah kota untuk memahami dan menjalani kehidupan sufistik semakin meningkat.
Namun, masih perlu dipertanyakan, apakah itu sebagai reaksi terhadap pola hidup yang semakin pragmatis dan materialistis? Mungkinkah itu buah dari kesadaran yang lahir dari semakin luasnya kajian agama melalui berbagai media?
Atau juga mungkin kedua-duanya, yaitu kerinduan terhadap sejuknya pemahaman esoterisme yang dipicu keringnya pemahaman eksoterisme keagamaan yang begitu dominan selama ini?
Untuk mengantisipasi hal tak sejalan dengan keluhuran ajaran Islam, mereka yang memilih menjalani kehidupan spiritual-sufistik (baca: sufi pemula) perlu mempelajari beberapa hal.
Pertama adalah pengenalan konsep tauhid, yaitu pengesaan Allah SWT. Tidak boleh menyimpang dari penjelasan yang digariskan Alquran dan hadits. Konsep keesaan Allah SWT meliputi keesaan dalam dzat, sifat, dan perbuatan. Sejauh dan setinggi apa pun pencarian seseorang terhadap Tuhan, tak boleh dengan mudah mengklaim dirinya menyatu dengan Tuhan.
Dalam terminologi tasawuf hal itu disebut penyatuan diri manusia dengan Tuhannya (ittihad), Tuhan mengambil tempat di dalam diri manusia (hulul), dan kesatuan Tuhan sebagai Sang Khaliq dengan makhluk-Nya (wahdatul wujud).
Para sufi, terlebih sufi pemula, yang tiba-tiba mengaku sudah sampai di tingkat atau maqam paling tinggi, misalnya fana’, di mana diri sang hamba merasa hancur dan lebur dengan Tuhannya, mengakibatkan ia melewati batas-batas syariat tentang baik dan buruk. Seolah ayat hukum yang tersurat dalam Alquran seakan terhapus dengan kedekatannya dengan Allah.
Mereka juga seolah-olah melewati dunia lahir (syariat) dan sudah masuk ke dalam dunia batin atau hakikat. Ini adalah contoh buruk bagi pengamal tasawuf karena mempertentangkan antara syariat dan hakikat. Mereka menganggap kecintaan terhadap Tuhan telah mencapai puncaknya yang kerap disebut sebagai mahabbah.
Untuk sampai ke puncak dan mempertahankan mahabbah itu, seakan dibutuhkan media seni bunyi-bunyian yang indah dan merdu (sama’). Bahkan, dengan memanfaatkan lagu dan tari. Tingkat ketergantungannya terhadap media musik itu sangat tinggi. Mahabbah boleh-boleh saja, tetapi tidak mesti lebih menonjolkan media ketimbang Tuhannya sendiri.
Dalam menjalani praktik sufi atau masuk ke dalam sebuah tarekat, peran pembimbing (syekh/mursyid) sangat penting. Tanpa pembimbing dikhawatirkan seseorang akan terjebak di dalam praktik sinkretisme atau syirik. Pemujaan berlebihan terhadap syekh atau mursyid bisa juga membawa masalah tersendiri.
Namun, masih perlu dipertanyakan, apakah itu sebagai reaksi terhadap pola hidup yang semakin pragmatis dan materialistis? Mungkinkah itu buah dari kesadaran yang lahir dari semakin luasnya kajian agama melalui berbagai media?
Atau juga mungkin kedua-duanya, yaitu kerinduan terhadap sejuknya pemahaman esoterisme yang dipicu keringnya pemahaman eksoterisme keagamaan yang begitu dominan selama ini?
Untuk mengantisipasi hal tak sejalan dengan keluhuran ajaran Islam, mereka yang memilih menjalani kehidupan spiritual-sufistik (baca: sufi pemula) perlu mempelajari beberapa hal.
Pertama adalah pengenalan konsep tauhid, yaitu pengesaan Allah SWT. Tidak boleh menyimpang dari penjelasan yang digariskan Alquran dan hadits. Konsep keesaan Allah SWT meliputi keesaan dalam dzat, sifat, dan perbuatan. Sejauh dan setinggi apa pun pencarian seseorang terhadap Tuhan, tak boleh dengan mudah mengklaim dirinya menyatu dengan Tuhan.
Dalam terminologi tasawuf hal itu disebut penyatuan diri manusia dengan Tuhannya (ittihad), Tuhan mengambil tempat di dalam diri manusia (hulul), dan kesatuan Tuhan sebagai Sang Khaliq dengan makhluk-Nya (wahdatul wujud).
Para sufi, terlebih sufi pemula, yang tiba-tiba mengaku sudah sampai di tingkat atau maqam paling tinggi, misalnya fana’, di mana diri sang hamba merasa hancur dan lebur dengan Tuhannya, mengakibatkan ia melewati batas-batas syariat tentang baik dan buruk. Seolah ayat hukum yang tersurat dalam Alquran seakan terhapus dengan kedekatannya dengan Allah.
Mereka juga seolah-olah melewati dunia lahir (syariat) dan sudah masuk ke dalam dunia batin atau hakikat. Ini adalah contoh buruk bagi pengamal tasawuf karena mempertentangkan antara syariat dan hakikat. Mereka menganggap kecintaan terhadap Tuhan telah mencapai puncaknya yang kerap disebut sebagai mahabbah.
Untuk sampai ke puncak dan mempertahankan mahabbah itu, seakan dibutuhkan media seni bunyi-bunyian yang indah dan merdu (sama’). Bahkan, dengan memanfaatkan lagu dan tari. Tingkat ketergantungannya terhadap media musik itu sangat tinggi. Mahabbah boleh-boleh saja, tetapi tidak mesti lebih menonjolkan media ketimbang Tuhannya sendiri.
Dalam menjalani praktik sufi atau masuk ke dalam sebuah tarekat, peran pembimbing (syekh/mursyid) sangat penting. Tanpa pembimbing dikhawatirkan seseorang akan terjebak di dalam praktik sinkretisme atau syirik. Pemujaan berlebihan terhadap syekh atau mursyid bisa juga membawa masalah tersendiri.
Meremehkan Dosa
Diriwayatkan dari Abdullah bin Masud, Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah
dosa-dosa kecil karena bila berkumpul pada seseorang akan menghancurkan
dirinya.” Dan, sesungguhnya Rasulullah SAW membuat perumpamaan,
bagaikan suatu kaum yang turun ke suatu lembah, lalu hadir pemimpin kaum
itu dan menyuruh setiap orang membawa satu potong kayu kecil dan
terkumpullah setumpuk kayu yang banyak lalu dibakar sehingga bisa
membakar apa saja yang dilempar ke dalamnya.(HR Ahmad).
Imam Ghazali berkata, “Dosa-dosa kecil saling menarik sahingga pada akhirnya orang mukmin bisa mengahancurkan pokok keimanannya.” ( Faidhul Qadir juz II hal 127). Para ulama terdahulu sudah mewaspadai bahaya dosa-dosa kecil dan besar sehingga mereka berusaha menjauhinya. Bahkan, mereka melihat dosa-dosa kecil sebagai dosa besar.
Al-Ghazali menambahkan, dosa kecil menjadi besar karena menganggap kecil dosa tersebut atau karena dilakukan secara terus-menerus. Bila seseorang menganggap yang kecil sebagai dosa besar maka menjadi kecil di hadapan Allah. Dan, sebaliknya bila menganggap dosa sebagai dosa kecil maka dianggap besar di hadapan Allah. Karena, orang menganggap dosa sebagai besar karena adanya penolakan hati untuk melakukannya.
Anas ra berkata, “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan amalan yang menurut kamu lebih kecil dari rambut, padahal kami di masa Nabi menganggapnya sebagai dosa-dosa besar. Rasulullah menegaskan dalam hadisnya bahwa seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya sehingga mati. Dia tidak memberi makan minum dan tidak membiarkan kucing memakan dari tumbuhan di tanah.” (HR Al Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah).
Karenanya, bila seorang menganggap remeh dosa-dosa kecil maka imannya sudah terkontaminasi dan hilanglah kewibawaannya karena selalu menganggap kecil segala sesuatunya. (Faidhul Qadir juz III hal 127).
Dosa kecil bisa menjadi perusak iman karena dua hal; banyaknya dosa kecil terkadang bisa menjadi malapetaka iman. Dan, menganggap remeh dosa kecil akan menjadi dosa besar di hadapan Allah.
Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah muhasabah. Seperti dikatakan Ibnu Masud, “Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seakan dia duduk dan di atasnya ada gunung yang khawatir akan menindihnya, tetapi orang kafir melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di atas hidungnya.”
Ada dua hal yang menyebabkan dosa-dosa kecil menjadi berbahaya. Pertama, jumlahnya yang menumpuk hingga membawanya pada kehancuran. Kedua, menganggap remeh dosa-dosa kecil dan Allah menganggapnya sebagai dosa besar.
Sikap yang kedua, bermujahadah dan terus berusaha melawan godaan setan. Ketiga, mengetahui akibat negatif dosa yang akan menimbulkan ketidaktenteraman hati, kesengsaraan, dan siksa neraka yang pedih. Keempat, menjauhi semua penyebab dosa dengan cara menjaga pandangan mata, lisan, dan kemaluan. Wallahu a’lam.
Imam Ghazali berkata, “Dosa-dosa kecil saling menarik sahingga pada akhirnya orang mukmin bisa mengahancurkan pokok keimanannya.” ( Faidhul Qadir juz II hal 127). Para ulama terdahulu sudah mewaspadai bahaya dosa-dosa kecil dan besar sehingga mereka berusaha menjauhinya. Bahkan, mereka melihat dosa-dosa kecil sebagai dosa besar.
Al-Ghazali menambahkan, dosa kecil menjadi besar karena menganggap kecil dosa tersebut atau karena dilakukan secara terus-menerus. Bila seseorang menganggap yang kecil sebagai dosa besar maka menjadi kecil di hadapan Allah. Dan, sebaliknya bila menganggap dosa sebagai dosa kecil maka dianggap besar di hadapan Allah. Karena, orang menganggap dosa sebagai besar karena adanya penolakan hati untuk melakukannya.
Anas ra berkata, “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan amalan yang menurut kamu lebih kecil dari rambut, padahal kami di masa Nabi menganggapnya sebagai dosa-dosa besar. Rasulullah menegaskan dalam hadisnya bahwa seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dikurungnya sehingga mati. Dia tidak memberi makan minum dan tidak membiarkan kucing memakan dari tumbuhan di tanah.” (HR Al Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah).
Karenanya, bila seorang menganggap remeh dosa-dosa kecil maka imannya sudah terkontaminasi dan hilanglah kewibawaannya karena selalu menganggap kecil segala sesuatunya. (Faidhul Qadir juz III hal 127).
Dosa kecil bisa menjadi perusak iman karena dua hal; banyaknya dosa kecil terkadang bisa menjadi malapetaka iman. Dan, menganggap remeh dosa kecil akan menjadi dosa besar di hadapan Allah.
Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah muhasabah. Seperti dikatakan Ibnu Masud, “Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seakan dia duduk dan di atasnya ada gunung yang khawatir akan menindihnya, tetapi orang kafir melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di atas hidungnya.”
Ada dua hal yang menyebabkan dosa-dosa kecil menjadi berbahaya. Pertama, jumlahnya yang menumpuk hingga membawanya pada kehancuran. Kedua, menganggap remeh dosa-dosa kecil dan Allah menganggapnya sebagai dosa besar.
Sikap yang kedua, bermujahadah dan terus berusaha melawan godaan setan. Ketiga, mengetahui akibat negatif dosa yang akan menimbulkan ketidaktenteraman hati, kesengsaraan, dan siksa neraka yang pedih. Keempat, menjauhi semua penyebab dosa dengan cara menjaga pandangan mata, lisan, dan kemaluan. Wallahu a’lam.
Minggu, 26 Februari 2012
Ini Alasannya Mengapa Islam Anjurkan Berpakaian Bersih
''Kebersihan sebagian dari iman.'' Sabda Rasulullah SAW itu sudah begitu
melekat dalam kehidupan umat Muslim. Memang, dalam Islam, ada standar
higenitas (kesehatan) yang tinggi yang harus diwujudkan secara nyata
dalam keseharian.
Salah satu hal yang senantiasa dianjurkan Rasulullah terkait kebersihan yakni mengenakan pakaian bersih. Ada dua tujuan, yakni agar terhindar dari kuman penyakit, serta menampakkan penampilan menarik.
Berdasarkan riwayat, Nabi SAW tidak menginginkan seorang Muslim membiarkan dirinya berpakaian kotor serta lusuh, apalagi dia memiliki sarana untuk membersihkannya. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada sesuatu yang salah dengan memakai dua kain pada hari Jumat, (yang merupakan) bagian dari pakaian sehari-hari seseorang.''
Dalam menafsir hadis di atas, Dr Muhammad Ali al-Hasyimi, mengungkapkan, anjuran itu sudah sangat jelas, bahwa hendaknya setiap Muslim senantiasa berpakaian bersih dalam rangka menjaga kesehatan jasmani dan rohani. ''Nabi SAW menganggap berpakaian yang bersih sebagai sebuah pengungkapan syukur atas rahmat Allah SWT,'' katanya.
Ulama terkemuka, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, menegaskan, Islam meletakkan kesucian (kebersihan) dalam posisi yang tinggi. Sehingga tidak akan diterima ibadah shalat seseorang sebelum pakaian, badan dan tempat shalatnya dalam kondisi bersih.
Dijelaskannya, pada zaman Rasulullah SAW, lingkungan tempat tinggal kaum Muslim masih lekat dengan suasana pedesaan padang pasir. Sehingga, urusan kebersihan seakan diremehkan. Lalu, Nabi SAW memberikan bimbingan dan tuntunan bagi umatnya untuk lebih memerhatikan masalah kebersihan diri.
Jadi, sambung Syekh al-Qaradhawi, pakaian bukan semata sebagai sarana penutup aurat, akan tetapi sangat penting untuk merawat kebersihan dan kesehatan tubuh. ''Sekaligus menjadi penanda kepribadian seseorang,'' ujarnya dalam buku Halal dan Haram dalam Islam.
Dr Muhammad juga berpendapat pakaian yang bersih sekaligus untuk menunjukkan penampilan rapi dan menarik. Diriwayatkan dalam al-Tabqat, Jundab ibnu Makith RA berkata: bahwa di manapun sebuah delegasi hendak menemui Rasulullah, beliau akan memakai pakaian terbaiknya. Nabi SAW pun memerintahkan para sahabat untuk melakukan hal yang sama.
Bahkan, sejumlah hadis lain menunjukkan Nabi SAW tak sekadar menjaga pakaiannya tetap bersih, tetapi menambahkann pula dengan wewangian. Maka, tak heran jika selalu tercium aroma harum dari pakaian dan tubuh beliau.
Imam Bukhari menyebutkan dalam al-Tarikh al-Kabir, diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi SAW tidak pernah melewati suatu tempat kecuali seseorang yang mengikuti beliau akan mengetahui bahwa beliau berada di sana dari bau (aroma) beliau yang melekat.
Tidak berlebihan
Lebih jauh diuraikan dalam buku Hidup Saleh dengan Nilai Spiritual Islam, tak pernah Nabi tidak memerhatikan penampilan umatnya. Beliau tidak pernah melihat seorang yang berpakaian lusuh, kecuali Nabi mengkritiknya lantaran ketidakpeduliannya terhadap dirinya sendiri.
Oleh karenanya, umat sebaiknya memeriksakan penampilan diri sebelum bepergian atau menemui orang lain. Ia hendaknya membuat dirinya terlihat menarik dan bersih, dengan sikap yang sederhana, karena Nabi SAW membuat diri beliau enak dilihat di hadapan para sahabat juga keluarganya.
''Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.'' (QS: al A'raf [7] : 31).
Atas petunjuk inilah, Imam Abu Hanifah RA selalu merawat pakaian dengan baik dan memastikan beliau merasa bersih dan segar. Beliau juga menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa.
Pernah suatu waktu, Imam Abu Hanifah melihat seorang lelaki yang menghadiri majelis kajiannya dengan berpakaian lusuh dan kotor. Lalu beliau menyuruhnya menyingkir ke sisi lain dan memberinya uang seribu Dirham untuk membeli pakaian yang bersih.
Muslim sejati memahami bahwa Islam menganjurkan untuk berpakaian bersih setiap waktu, terlebih ketika shalat. Tetapi diingatkan dalam sebuah hadis, Islam pun merupakan agama yang memberi peringatan atas sikap berlebihan dalam hal itu, dan mengatakan kepadanya untuk menghindari perbudakan oleh penampilannya.
Salah satu hal yang senantiasa dianjurkan Rasulullah terkait kebersihan yakni mengenakan pakaian bersih. Ada dua tujuan, yakni agar terhindar dari kuman penyakit, serta menampakkan penampilan menarik.
Berdasarkan riwayat, Nabi SAW tidak menginginkan seorang Muslim membiarkan dirinya berpakaian kotor serta lusuh, apalagi dia memiliki sarana untuk membersihkannya. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada sesuatu yang salah dengan memakai dua kain pada hari Jumat, (yang merupakan) bagian dari pakaian sehari-hari seseorang.''
Dalam menafsir hadis di atas, Dr Muhammad Ali al-Hasyimi, mengungkapkan, anjuran itu sudah sangat jelas, bahwa hendaknya setiap Muslim senantiasa berpakaian bersih dalam rangka menjaga kesehatan jasmani dan rohani. ''Nabi SAW menganggap berpakaian yang bersih sebagai sebuah pengungkapan syukur atas rahmat Allah SWT,'' katanya.
Ulama terkemuka, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, menegaskan, Islam meletakkan kesucian (kebersihan) dalam posisi yang tinggi. Sehingga tidak akan diterima ibadah shalat seseorang sebelum pakaian, badan dan tempat shalatnya dalam kondisi bersih.
Dijelaskannya, pada zaman Rasulullah SAW, lingkungan tempat tinggal kaum Muslim masih lekat dengan suasana pedesaan padang pasir. Sehingga, urusan kebersihan seakan diremehkan. Lalu, Nabi SAW memberikan bimbingan dan tuntunan bagi umatnya untuk lebih memerhatikan masalah kebersihan diri.
Jadi, sambung Syekh al-Qaradhawi, pakaian bukan semata sebagai sarana penutup aurat, akan tetapi sangat penting untuk merawat kebersihan dan kesehatan tubuh. ''Sekaligus menjadi penanda kepribadian seseorang,'' ujarnya dalam buku Halal dan Haram dalam Islam.
Dr Muhammad juga berpendapat pakaian yang bersih sekaligus untuk menunjukkan penampilan rapi dan menarik. Diriwayatkan dalam al-Tabqat, Jundab ibnu Makith RA berkata: bahwa di manapun sebuah delegasi hendak menemui Rasulullah, beliau akan memakai pakaian terbaiknya. Nabi SAW pun memerintahkan para sahabat untuk melakukan hal yang sama.
Bahkan, sejumlah hadis lain menunjukkan Nabi SAW tak sekadar menjaga pakaiannya tetap bersih, tetapi menambahkann pula dengan wewangian. Maka, tak heran jika selalu tercium aroma harum dari pakaian dan tubuh beliau.
Imam Bukhari menyebutkan dalam al-Tarikh al-Kabir, diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi SAW tidak pernah melewati suatu tempat kecuali seseorang yang mengikuti beliau akan mengetahui bahwa beliau berada di sana dari bau (aroma) beliau yang melekat.
Tidak berlebihan
Lebih jauh diuraikan dalam buku Hidup Saleh dengan Nilai Spiritual Islam, tak pernah Nabi tidak memerhatikan penampilan umatnya. Beliau tidak pernah melihat seorang yang berpakaian lusuh, kecuali Nabi mengkritiknya lantaran ketidakpeduliannya terhadap dirinya sendiri.
Oleh karenanya, umat sebaiknya memeriksakan penampilan diri sebelum bepergian atau menemui orang lain. Ia hendaknya membuat dirinya terlihat menarik dan bersih, dengan sikap yang sederhana, karena Nabi SAW membuat diri beliau enak dilihat di hadapan para sahabat juga keluarganya.
''Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.'' (QS: al A'raf [7] : 31).
Atas petunjuk inilah, Imam Abu Hanifah RA selalu merawat pakaian dengan baik dan memastikan beliau merasa bersih dan segar. Beliau juga menganjurkan orang lain untuk melakukan hal serupa.
Pernah suatu waktu, Imam Abu Hanifah melihat seorang lelaki yang menghadiri majelis kajiannya dengan berpakaian lusuh dan kotor. Lalu beliau menyuruhnya menyingkir ke sisi lain dan memberinya uang seribu Dirham untuk membeli pakaian yang bersih.
Muslim sejati memahami bahwa Islam menganjurkan untuk berpakaian bersih setiap waktu, terlebih ketika shalat. Tetapi diingatkan dalam sebuah hadis, Islam pun merupakan agama yang memberi peringatan atas sikap berlebihan dalam hal itu, dan mengatakan kepadanya untuk menghindari perbudakan oleh penampilannya.
Adab Berobat Ala Rasulullah SAW (Bag 2-habis)
Menurut Syekh Abdul Azis, obat-obatan atau pengobatan yang
diharamkan, misalnya, meruqyah dengan lafaz-lafaz yang mengandung
kesyirikan. ''Menggunakan ruqyah jenis ini hukumnya haram, bahkan bisa
jadi dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam,'' tutur Syekh Abdul Azis.
Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasululllah SAW melarang umatnya berobat dengan obat-obatan yang kotor. Suatu ketika, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang menggunakan khamer (arak) sebagai obat. Laki-laki itu berkata, ''Khamer itu obat.'' Rasulullah SAW kemudian bersabda, ''Khamer itu bukan obat, tetapi penyakit.''
''Tak sepantasnya seorang Muslim berpaling dari sabda Rasulullah SAW, dikarenakan pendapat orang lain,'' ujar Syekh Abdul Azis.
Adab keempat, berkonsultasi dengan ahli medis.
Seorang Muslim yang berobat hendaknya berkonsultasi dengan kalangan orang-orang yang diketahui bertakwa kepada Allah SWT dan mengetahui ilmu pengobatan. Hal itu ditegaskan dalam Alquran surat an-N ahl ayat 43. ''... Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.''
Tidak semua orang mengetahui ilmu pengobatan. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menurunkan penyakit kecuali Dia menurunkan obatnya, ada yang mengetahuinya dan ada juga yang tidak, keciali penyakitas-saam, yaitu kematian.'' Oleh karena itu, orang yang sakit hendaknya berkonsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis penyakit serta obatnya yang cocok.
Adab berobat yang kelima, meyakini bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah SWT. Orang yang sakit serta dokter wajib meyakini bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah SWT. Sedangkan obat dan terapi merupakan sebab dari kesembuhan.
''Jika Allah menginginkan, Dia akan menjadikan obat itu bermanfaat dan jika tidak, maka obat tersebut tak akan memberikan pengaruh.''
Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasululllah SAW melarang umatnya berobat dengan obat-obatan yang kotor. Suatu ketika, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang menggunakan khamer (arak) sebagai obat. Laki-laki itu berkata, ''Khamer itu obat.'' Rasulullah SAW kemudian bersabda, ''Khamer itu bukan obat, tetapi penyakit.''
''Tak sepantasnya seorang Muslim berpaling dari sabda Rasulullah SAW, dikarenakan pendapat orang lain,'' ujar Syekh Abdul Azis.
Adab keempat, berkonsultasi dengan ahli medis.
Seorang Muslim yang berobat hendaknya berkonsultasi dengan kalangan orang-orang yang diketahui bertakwa kepada Allah SWT dan mengetahui ilmu pengobatan. Hal itu ditegaskan dalam Alquran surat an-N ahl ayat 43. ''... Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.''
Tidak semua orang mengetahui ilmu pengobatan. Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menurunkan penyakit kecuali Dia menurunkan obatnya, ada yang mengetahuinya dan ada juga yang tidak, keciali penyakitas-saam, yaitu kematian.'' Oleh karena itu, orang yang sakit hendaknya berkonsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis penyakit serta obatnya yang cocok.
Adab berobat yang kelima, meyakini bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah SWT. Orang yang sakit serta dokter wajib meyakini bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah SWT. Sedangkan obat dan terapi merupakan sebab dari kesembuhan.
''Jika Allah menginginkan, Dia akan menjadikan obat itu bermanfaat dan jika tidak, maka obat tersebut tak akan memberikan pengaruh.''
Adab Berobat Ala Rasulullah SAW (Bag 1)
Setiap penyakit pasti ada obatnya. Rasulullah SAW mengajarkan
umatnya untuk berobat bila sedang sakit. Pada dasarnya, setiap Muslim
pasti pernah sakit, baik ringan maupun berat. Semua itu merupakan
ketentuan dari Sang Khalik. Saat ini, berbagai jenis penyakit berkembang
di tengah-tengah masyarakat.
Berbagai cara dilakukan dan ditempuh untuk mengobati penyakit yang diderita. Ada yang berobat ke dokter, bahkan tak sedikit pula yang melakukan pengobatan secara tradisional. Sebagai agama yang sempurna, Islam ternyata telah mengatur adab berobat (at-tadaawi) bagi seorang Muslim. Lalu bagaimanakah adab berobat itu?
Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu'atul Aadaab al-Islamiyah, mengungkapkan, ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan umat Islam berkaitan dengan proses pengobatan.
Pertama, saat akan berobat, seorang Muslim harus meluruskan niatnya.
''Orang yang sakit berniat untuk menjaga kesehatannya agar ia tetap kuat melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT,'' tutur Syekh Abdul Azis. Sedangkan orang yang mengobati harus berniat untuk membantu saudaranya sesama Muslim dan menolong semampunya. Pengobatan yang dilakukannya semata-mata untuk mendapatkan pahala dari Allah serta memberi manfaat bagi saudaranya sesuai dengan perintah agama.
Kedua, menggunakan obat-obatan syar'i untuk mengatasi penyakit tertentu.
Ada beberapa obat dan pengobatan yang disebutkan dalam hadis, seperti habbbatus saudaa (jintan hitam), madu, bekam, daun inai serta ruqyah.
Keutamaan habbbatus saudaa, misalnya, diungkapan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Rasulullah SAW bersabda, ''Habbbatus saudaa adalah obat semua penyakit kecuali as-saam (kematian).''
Sedangkan keutamaan dan keistimewaan madu sebagai dijelaskan dalam Alquran surat an-Nahl ayat 69. Allah SWT berfirman, ''... Di dalamnya (madu) terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia...'' Selain itu, Nabi SAW juga biasa menggunakan daun inai (al-hinaa) untuk mengobati luka atau terkena duri.
Untuk terapi pengobatan, Rasulullah SAW menganjurkan bekam dan ruqyah. Rasulullah SAW bersabda, ''Terapi terbaik untuk kalian adalah bekam dan al-qusthul bahri ( cendana laut).'' (HR Bukhari (5696) dan Muslim (1577).
Selain itu, Rasulullan SAW juga bersabda, ''Barang siapa mengeluarkan darah dengan berbekam, maka tidak akan memadharatkan jika ia tak berobat dengan menggunakan obat lain.'' (HR Abu Dawud).
Selain itu, terapi lainnya yang diajarkan Rasulullah SAW adalah ruqyah al-masyuu'ah yakni ruqyah yang sesuai syariat, seperti ruqyah dengan bacaan Alquran dan lainnya yang tak mengandung kesyirikan. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak mengapa melakukan ruqyah, selama tidak mengandung kesyirikan.'' (HR Muslim).
''Meruqyah dengan membaca surat al-Fatihah, ayat Kursi, beberapa ayat pada akhir surat al-Baqarah, surat al-Kaafiruu, al-Mu'awwizaat dan ayat-ayat lainnya. Dibolehkan juga membaca da-doa yang sahih dari Rasulullah SAW,'' papar Syekh Abdul Aziz.
Berbagai cara dilakukan dan ditempuh untuk mengobati penyakit yang diderita. Ada yang berobat ke dokter, bahkan tak sedikit pula yang melakukan pengobatan secara tradisional. Sebagai agama yang sempurna, Islam ternyata telah mengatur adab berobat (at-tadaawi) bagi seorang Muslim. Lalu bagaimanakah adab berobat itu?
Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada dalam kitab Mausuu'atul Aadaab al-Islamiyah, mengungkapkan, ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan umat Islam berkaitan dengan proses pengobatan.
Pertama, saat akan berobat, seorang Muslim harus meluruskan niatnya.
''Orang yang sakit berniat untuk menjaga kesehatannya agar ia tetap kuat melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT,'' tutur Syekh Abdul Azis. Sedangkan orang yang mengobati harus berniat untuk membantu saudaranya sesama Muslim dan menolong semampunya. Pengobatan yang dilakukannya semata-mata untuk mendapatkan pahala dari Allah serta memberi manfaat bagi saudaranya sesuai dengan perintah agama.
Kedua, menggunakan obat-obatan syar'i untuk mengatasi penyakit tertentu.
Ada beberapa obat dan pengobatan yang disebutkan dalam hadis, seperti habbbatus saudaa (jintan hitam), madu, bekam, daun inai serta ruqyah.
Keutamaan habbbatus saudaa, misalnya, diungkapan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Rasulullah SAW bersabda, ''Habbbatus saudaa adalah obat semua penyakit kecuali as-saam (kematian).''
Sedangkan keutamaan dan keistimewaan madu sebagai dijelaskan dalam Alquran surat an-Nahl ayat 69. Allah SWT berfirman, ''... Di dalamnya (madu) terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia...'' Selain itu, Nabi SAW juga biasa menggunakan daun inai (al-hinaa) untuk mengobati luka atau terkena duri.
Untuk terapi pengobatan, Rasulullah SAW menganjurkan bekam dan ruqyah. Rasulullah SAW bersabda, ''Terapi terbaik untuk kalian adalah bekam dan al-qusthul bahri ( cendana laut).'' (HR Bukhari (5696) dan Muslim (1577).
Selain itu, Rasulullan SAW juga bersabda, ''Barang siapa mengeluarkan darah dengan berbekam, maka tidak akan memadharatkan jika ia tak berobat dengan menggunakan obat lain.'' (HR Abu Dawud).
Selain itu, terapi lainnya yang diajarkan Rasulullah SAW adalah ruqyah al-masyuu'ah yakni ruqyah yang sesuai syariat, seperti ruqyah dengan bacaan Alquran dan lainnya yang tak mengandung kesyirikan. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak mengapa melakukan ruqyah, selama tidak mengandung kesyirikan.'' (HR Muslim).
''Meruqyah dengan membaca surat al-Fatihah, ayat Kursi, beberapa ayat pada akhir surat al-Baqarah, surat al-Kaafiruu, al-Mu'awwizaat dan ayat-ayat lainnya. Dibolehkan juga membaca da-doa yang sahih dari Rasulullah SAW,'' papar Syekh Abdul Aziz.
Kisah Bijak Para Sufi: Orang yang Mudah Marah
Setelah bertahun-tahun lamanya, seorang yang sangat mudah naik darah
menyadari bahwa ia sering mendapat kesulitan karena sifatnya itu.
Suatu hari, ia mendengar tentang seorang darwis yang berpengetahuan dalam; ia pun menemuinya untuk meminta nasihat.
Darwis itu berkata, "Pergilah ke sebuah persimpangan jalan. Di sana, kau akan menemukan sebatang pohon mati. Berdirilah di bawahnya dan berikan air kepada setiap pejalan yang lewat di tempat itu!"
Lelaki itu berbuat seperti yang diperintahkan. Hari-hari berlalu, dan ia pun mulai dikenal sebagai seorang yang mengikuti latihan tertentu perihal kemurahan hati dan pengendalian diri, di bawah bimbingan seseorang yang berpengetahuan sejati.
Pada suatu hari, ada seorang lelaki berjalan tergesa-gesa; ia membuang muka ketika ditawari air, dan terus bergegas melanjutkan perjalanannya. Orang yang mudah marah itu memanggilnya berulang kali, "Kembali kau, balas salamku! Minum air ini, yang kusediakan untuk para musafir!"
Tetapi tak ada jawaban. Tidak tahan menerima perlakuan tersebut, orang yang pemarah itu lupa akan latihannya. Ia meraih senjatanya, yang dicantelkannya di pohon mati itu. Dengan sigap dibidiknya musafir yang tak peduli itu, dan ditembaknya. Musafir itu pun seketika tersungkur mati.
Tepat pada saat peluru menembus tubuh orang itu, pohon mati tersebut, secara ajaib, penuh dengan mekar bunga. Orang yang terbunuh itu seorang pembunuh, yang sedang dalam perjalanan untuk melakukan kejahatan terburuk sepanjang hidupnya.
Seperti Saudara lihat, ada dua jenis penasihat. Jenis yang pertama adalah penasihat yang secara mekanis memberitahu apa yang harus dilakukan menurut prinsip-prinsip baku tertentu. Jenis yang kedua adalah Manusia Pengetahuan. Barangsiapa bertemu dengan Manusia Pengetahuan, ia akan menanyakan nasihat moral kepadanya, dan menganggapnya sebagai moralis. Tetapi yang dijunjungnya adalah Kebenaran, bukan harapan-harapan saleh.
Guru Darwis yang digambarkan dalam kisah ini konon adalah Najmudin Kubra, salah seorang ulama Sufi yang terbesar. Ia mendirikan Kubrawi (Persaudaraan yang Lebih Agung) yang sangat mirip dengan serikat yang belakangan didirikan oleh Santo Fransiskus Assisi. Seperti juga Santo Fransiskus Assisi, Najmudin dikenal memiliki kekuasaan gaib atas binatang.
Najmudin termasuk di antara enam ratus ribu orang yang tewas ketika Khawarizmi di Asia Tengah dihancurkan pada tahun 1221. Konon, Jengiz Khan, Penguasa Mongol, karena mengetahui reputasinya, menawarkan kebebasan jika ia mau menyerahkan diri. Tetapi, Najmudin memilih berada di antara para pembela kota itu. Ia kemudian termasuk di antara korban yang tewas. Karena telah mengetahui akan datangnya malapetaka itu, Najmudin mengungsikan semua muridnya ke tempat aman beberapa saat sebelum bala tentara Mongol menyerbu.
Suatu hari, ia mendengar tentang seorang darwis yang berpengetahuan dalam; ia pun menemuinya untuk meminta nasihat.
Darwis itu berkata, "Pergilah ke sebuah persimpangan jalan. Di sana, kau akan menemukan sebatang pohon mati. Berdirilah di bawahnya dan berikan air kepada setiap pejalan yang lewat di tempat itu!"
Lelaki itu berbuat seperti yang diperintahkan. Hari-hari berlalu, dan ia pun mulai dikenal sebagai seorang yang mengikuti latihan tertentu perihal kemurahan hati dan pengendalian diri, di bawah bimbingan seseorang yang berpengetahuan sejati.
Pada suatu hari, ada seorang lelaki berjalan tergesa-gesa; ia membuang muka ketika ditawari air, dan terus bergegas melanjutkan perjalanannya. Orang yang mudah marah itu memanggilnya berulang kali, "Kembali kau, balas salamku! Minum air ini, yang kusediakan untuk para musafir!"
Tetapi tak ada jawaban. Tidak tahan menerima perlakuan tersebut, orang yang pemarah itu lupa akan latihannya. Ia meraih senjatanya, yang dicantelkannya di pohon mati itu. Dengan sigap dibidiknya musafir yang tak peduli itu, dan ditembaknya. Musafir itu pun seketika tersungkur mati.
Tepat pada saat peluru menembus tubuh orang itu, pohon mati tersebut, secara ajaib, penuh dengan mekar bunga. Orang yang terbunuh itu seorang pembunuh, yang sedang dalam perjalanan untuk melakukan kejahatan terburuk sepanjang hidupnya.
Seperti Saudara lihat, ada dua jenis penasihat. Jenis yang pertama adalah penasihat yang secara mekanis memberitahu apa yang harus dilakukan menurut prinsip-prinsip baku tertentu. Jenis yang kedua adalah Manusia Pengetahuan. Barangsiapa bertemu dengan Manusia Pengetahuan, ia akan menanyakan nasihat moral kepadanya, dan menganggapnya sebagai moralis. Tetapi yang dijunjungnya adalah Kebenaran, bukan harapan-harapan saleh.
Guru Darwis yang digambarkan dalam kisah ini konon adalah Najmudin Kubra, salah seorang ulama Sufi yang terbesar. Ia mendirikan Kubrawi (Persaudaraan yang Lebih Agung) yang sangat mirip dengan serikat yang belakangan didirikan oleh Santo Fransiskus Assisi. Seperti juga Santo Fransiskus Assisi, Najmudin dikenal memiliki kekuasaan gaib atas binatang.
Najmudin termasuk di antara enam ratus ribu orang yang tewas ketika Khawarizmi di Asia Tengah dihancurkan pada tahun 1221. Konon, Jengiz Khan, Penguasa Mongol, karena mengetahui reputasinya, menawarkan kebebasan jika ia mau menyerahkan diri. Tetapi, Najmudin memilih berada di antara para pembela kota itu. Ia kemudian termasuk di antara korban yang tewas. Karena telah mengetahui akan datangnya malapetaka itu, Najmudin mengungsikan semua muridnya ke tempat aman beberapa saat sebelum bala tentara Mongol menyerbu.
Kisah Bijak Para Sufi: Semut dan Capung
Seekor semut yang pikirannya tersusun dalam rencana teratur, sedang
mencari-cari madu ketika seekor capung hinggap menghisap madu dari bunga
itu. Capung itu melesat pergi untuk kemudian datang kembali.
Kali ini Si Semut berkata, "Kau ini hidup tanpa usaha, dan kau tak punya rencana. Karena kau tak punya tujuan nyata ataupun perkiraan. Apa pula ciri utama hidupmu dan kapan pula berakhir?"
Kata Si Capung, "Aku bahagia, dan aku mencari kesenangan, ini jelas ada dan nyata. Tujuanku adalah tanpa tujuan. Kau boleh merencanakan sekehendakmu; kau tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih berharga daripada yang kulakukan ini. Kau laksanakan saja rencanamu, dan aku rencanaku."
Semut berpikir, "Yang tampak padaku ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa yang terjadi pada semut. Aku tahu apa yang terjadi pada capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku."
Dan semut pun berlalu, sebab ia telah memberikan teguran sebaik-baiknya dalam masalah itu.
Beberapa waktu sesudah itu, mereka pun bertemu lagi. Si Semut menemukan kedai tukang daging, dan ia berdiri di bawah meja tumpuan daging dengan bijaksana, menunggu saja apa yang mungkin datang padanya.
Si Capung, yang melihat daging merah dari atas, menukik dan hinggap di atasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging berayun dan membelah capung itu menjadi dua.
Separuh tubuhnya jatuh di lantai dekat kaki semut itu. Sambil menangkap bangkai itu dan mulai menyeretnya ke sarang, semut itu berkata kepada dirinya sendiri. "Rencananya tamat sudah, dan rencanaku terus berjalan. Ia laksanakan rencananya—sudah berakhir, aku laksanakan rencanaku—mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting, nyatanya hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan dimakan. Ketika aku katakan hal ini, yang mungkin dipikirkannya adalah bahwa aku suka merusak kesenangan orang lain."
Kali ini Si Semut berkata, "Kau ini hidup tanpa usaha, dan kau tak punya rencana. Karena kau tak punya tujuan nyata ataupun perkiraan. Apa pula ciri utama hidupmu dan kapan pula berakhir?"
Kata Si Capung, "Aku bahagia, dan aku mencari kesenangan, ini jelas ada dan nyata. Tujuanku adalah tanpa tujuan. Kau boleh merencanakan sekehendakmu; kau tak bisa meyakinkanku bahwa ada yang lebih berharga daripada yang kulakukan ini. Kau laksanakan saja rencanamu, dan aku rencanaku."
Semut berpikir, "Yang tampak padaku ternyata tak tampak olehnya. Ia tahu apa yang terjadi pada semut. Aku tahu apa yang terjadi pada capung. Ia laksanakan rencananya, aku laksanakan rencanaku."
Dan semut pun berlalu, sebab ia telah memberikan teguran sebaik-baiknya dalam masalah itu.
Beberapa waktu sesudah itu, mereka pun bertemu lagi. Si Semut menemukan kedai tukang daging, dan ia berdiri di bawah meja tumpuan daging dengan bijaksana, menunggu saja apa yang mungkin datang padanya.
Si Capung, yang melihat daging merah dari atas, menukik dan hinggap di atasnya. Pada saat itu pula, parang tukang daging berayun dan membelah capung itu menjadi dua.
Separuh tubuhnya jatuh di lantai dekat kaki semut itu. Sambil menangkap bangkai itu dan mulai menyeretnya ke sarang, semut itu berkata kepada dirinya sendiri. "Rencananya tamat sudah, dan rencanaku terus berjalan. Ia laksanakan rencananya—sudah berakhir, aku laksanakan rencanaku—mulai berputar. Kebanggaan tampaknya penting, nyatanya hanya sementara. Hidup memakan, berakhir dengan dimakan. Ketika aku katakan hal ini, yang mungkin dipikirkannya adalah bahwa aku suka merusak kesenangan orang lain."
Kisah Bijak Para Sufi: Berharga dan Tak Berharga
Konon ada seorang raja yang memanggil seorang penasihat dan berkata
kepadanya, "Kekuatan pikiran yang sejati bergantung pada pemeriksaan
terhadap berbagai pilihan. Katakan padaku pilihan mana yang lebih baik
meningkatkan pengetahuan rakyatku atau memberi mereka tambahan makanan.
Kedua pilihan itu sama bermanfaat."
Sufi itu berkata, "Baginda, percuma saja memberikan pengetahuan kepada mereka yang tak dapat mengetahuinya, demikian pula sia-sia menambahkan makanan kepada mereka yang tak mengerti maksud baik Baginda.
Oleh karena itu, tidaklah benar menganggap bahwa 'kedua pilihan itu sama bermanfaat'. Bila mereka tak bisa mencerna makanan itu, atau bila mereka berpikir bahwa makanan itu diberikan untuk menyogok, atau malah membuat mereka berniat meminta lebih maka maksud Baginda akan gagal.
Jika mereka tak bisa menyadari bahwa mereka diberikan pengetahuan, atau bila mereka tak sanggup mengenali pengetahuan itu, atau bahkan tak mengetahui alasan Baginda memberikan pengetahuan itu kepada mereka, maka maksud Baginda itu akan kandas.
Untuk itu, pertanyaan harus diajukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pertimbangan: 'Orang paling berharga sesungguhnya tak berharga dan orang paling tak berharga sebenarnya berharga.'"
"Terangkanlah kebenaran ini bagiku, sebab aku belum bisa memahaminya," kata raja itu.
Sang sufi kemudian memanggil ketua para darwis di Afghanistan, dan ia pun datang ke istana. "Kalau engkau mempunyai jalanmu, apa yang akan engkau suruhkan kepada seseorang di Kabul?" tanya sang sufi kepada darwis itu.
"Kebetulan ada seorang lelaki di dekat suatu tempat yang bila ia mengetahuinya, bisa mendapatkan kekayaan bagi dirinya dan juga kemakmuran bagi seluruh negeri itu, dengan memberikan sekeranjang buah ceri kepada orang miskin tertentu," kata darwis itu, yang mengetahui pertalian gaib antara berbagai hal.
Raja itu merasa senang, sebab para sufi tak biasanya memperbincangkan perihal semacam itu. "Bawa lelaki itu kemari dan kita akan membuatnya terjadi!" seru raja itu.
Para pejabat memberi raja itu isyarat agar tetap bersikap tenang. "Tidak," kata Sufi pertama, "Hal itu takkan terjadi kecuali bila dilakukan dengan ikhlas."
Agar tidak memengaruhi pilihan lelaki itu, mereka bertiga pergi ke pasar Kabul dengan menyamar. Dengan melepaskan sorban dan jubahnya, ketua sufi itu tampak sangat mirip dengan orang biasa.
"Aku akan ambil bagian dalam perihal yang menggairahkan ini," bisik raja itu, dan kelompok itu berdiri memandangi buah ceri. Ia mendekati penjualnya dan mengucapkan salam. Kemudian, ia berkata, "Aku kenal seorang miskin. Maukah kau memberinya sekeranjang ceri sebagai derma!"
Penjual itu tertawa terpingkal-pingkal. "Nah, aku sudah pernah mendengar beberapa tipuan, tetapi baru kali ini ada orang yang menginginkan buah ceri membungkuk untuk meminta agar buah ini diberikan sebagai derma!"
"Kau paham maksudku?" kata sufi pertama itu kepada raja. "Orang paling berharga di antara kita baru saja menyampaikan usul yang paling mulia, dan kejadian tadi membuktikan bahwa ia tak berharga bagi orang yang diajaknya bicara tadi."
"Tetapi bagaimana tentang 'orang paling tak berharga' menjadi orang berharga?" tanya raja itu. Kedua darwis itu memberinya isyarat agar mengikuti mereka.
Ketika mereka hendak menyeberangi sungai Kabul, kedua sufi itu tiba-tiba menyergap raja dan membuangnya ke sungai. Raja itu tak bisa berenang. Ketika raja itu merasa hampir tenggelam, seorang yang terkenal miskin dan tak waras yang berkelana di jalan-jalan, melompat ke sungai dan menyelamatkan raja serta membawanya ke tepi. Beberapa orang lain, yang lebih kuat, juga melihatnya jatuh ke air, tetapi mereka diam saja.
Tatkala raja sudah pulih, kedua darwis itu berkata serempak, "Orang paling tak berharga sesungguhnya berharga!"
Sejak saat itu, raja kembali pada kebiasaannya, yaitu memberi apa saja yang ia bisa, entah itu pendidikan atau berbagai macam pertolongan kepada orang-orang yang diputuskan dari masa ke masa sebagai yang paling pantas menerima pemberian semacam itu.
Sufi itu berkata, "Baginda, percuma saja memberikan pengetahuan kepada mereka yang tak dapat mengetahuinya, demikian pula sia-sia menambahkan makanan kepada mereka yang tak mengerti maksud baik Baginda.
Oleh karena itu, tidaklah benar menganggap bahwa 'kedua pilihan itu sama bermanfaat'. Bila mereka tak bisa mencerna makanan itu, atau bila mereka berpikir bahwa makanan itu diberikan untuk menyogok, atau malah membuat mereka berniat meminta lebih maka maksud Baginda akan gagal.
Jika mereka tak bisa menyadari bahwa mereka diberikan pengetahuan, atau bila mereka tak sanggup mengenali pengetahuan itu, atau bahkan tak mengetahui alasan Baginda memberikan pengetahuan itu kepada mereka, maka maksud Baginda itu akan kandas.
Untuk itu, pertanyaan harus diajukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pertimbangan: 'Orang paling berharga sesungguhnya tak berharga dan orang paling tak berharga sebenarnya berharga.'"
"Terangkanlah kebenaran ini bagiku, sebab aku belum bisa memahaminya," kata raja itu.
Sang sufi kemudian memanggil ketua para darwis di Afghanistan, dan ia pun datang ke istana. "Kalau engkau mempunyai jalanmu, apa yang akan engkau suruhkan kepada seseorang di Kabul?" tanya sang sufi kepada darwis itu.
"Kebetulan ada seorang lelaki di dekat suatu tempat yang bila ia mengetahuinya, bisa mendapatkan kekayaan bagi dirinya dan juga kemakmuran bagi seluruh negeri itu, dengan memberikan sekeranjang buah ceri kepada orang miskin tertentu," kata darwis itu, yang mengetahui pertalian gaib antara berbagai hal.
Raja itu merasa senang, sebab para sufi tak biasanya memperbincangkan perihal semacam itu. "Bawa lelaki itu kemari dan kita akan membuatnya terjadi!" seru raja itu.
Para pejabat memberi raja itu isyarat agar tetap bersikap tenang. "Tidak," kata Sufi pertama, "Hal itu takkan terjadi kecuali bila dilakukan dengan ikhlas."
Agar tidak memengaruhi pilihan lelaki itu, mereka bertiga pergi ke pasar Kabul dengan menyamar. Dengan melepaskan sorban dan jubahnya, ketua sufi itu tampak sangat mirip dengan orang biasa.
"Aku akan ambil bagian dalam perihal yang menggairahkan ini," bisik raja itu, dan kelompok itu berdiri memandangi buah ceri. Ia mendekati penjualnya dan mengucapkan salam. Kemudian, ia berkata, "Aku kenal seorang miskin. Maukah kau memberinya sekeranjang ceri sebagai derma!"
Penjual itu tertawa terpingkal-pingkal. "Nah, aku sudah pernah mendengar beberapa tipuan, tetapi baru kali ini ada orang yang menginginkan buah ceri membungkuk untuk meminta agar buah ini diberikan sebagai derma!"
"Kau paham maksudku?" kata sufi pertama itu kepada raja. "Orang paling berharga di antara kita baru saja menyampaikan usul yang paling mulia, dan kejadian tadi membuktikan bahwa ia tak berharga bagi orang yang diajaknya bicara tadi."
"Tetapi bagaimana tentang 'orang paling tak berharga' menjadi orang berharga?" tanya raja itu. Kedua darwis itu memberinya isyarat agar mengikuti mereka.
Ketika mereka hendak menyeberangi sungai Kabul, kedua sufi itu tiba-tiba menyergap raja dan membuangnya ke sungai. Raja itu tak bisa berenang. Ketika raja itu merasa hampir tenggelam, seorang yang terkenal miskin dan tak waras yang berkelana di jalan-jalan, melompat ke sungai dan menyelamatkan raja serta membawanya ke tepi. Beberapa orang lain, yang lebih kuat, juga melihatnya jatuh ke air, tetapi mereka diam saja.
Tatkala raja sudah pulih, kedua darwis itu berkata serempak, "Orang paling tak berharga sesungguhnya berharga!"
Sejak saat itu, raja kembali pada kebiasaannya, yaitu memberi apa saja yang ia bisa, entah itu pendidikan atau berbagai macam pertolongan kepada orang-orang yang diputuskan dari masa ke masa sebagai yang paling pantas menerima pemberian semacam itu.
Kisah Bijak Para Sufi: Sifat Murid
Diceritakan bahwa Ibrahim Khawas, ketika ia masih muda, ingin mengikuti
seorang guru. Ia pun mencari seorang bijak, dan mohon agar diperbolehkan
menjadi pengikutnya.
Sang Bijak berkata. "Kau belum lagi siap."
Karena anak muda itu bersikeras juga, guru itu berkata, "Baiklah, aku akan mengajarimu sesuatu. Aku akan berziarah ke Makkah. Kau ikut."
Murid itu teramat gembira. "Karena kita mengadakan perjalanan berdua, salah seorang harus menjadi pemimpin," kata sang Guru. "Kau pilih jadi apa?"
"Saya ikut saja, Bapak yang memimpin," kata Ibrahim.
"Tentu aku akan memimpin, asal kau tahu bagaimana menjadi pengikut," kata sang Guru.
Perjalanan pun dimulai. Sementara mereka beristirahat pada suatu malam di padang pasir Hijaz, hujan pun turun. Sang guru bangkit dan memegangi kain penutup, melindungi muridnya dari kebasahan.
"Tetapi seharusnya sayalah yang melakukan itu bagi Bapak," kata Ibrahim.
"Aku perintahkan agar kau memperbolehkan aku melindungimu," kata sang Bijak.
Siang harinya, anak muda itu berkata, "Nah, ini hari baru. Sekarang perkenankan saya menjadi pemimpin, dan Bapak mengikut saya." Sang guru pun setuju.
"Saya akan mengumpulkan kayu, untuk membuat api," kata pemuda itu.
"Kau tak boleh melakukan itu. Aku yang akan melakukannya," kata sang Bijak.
"Saya memerintahkan agar Bapak duduk saja sementara saya mengumpulkan kayu!" kata pemuda itu.
"Kau tak boleh melakukan hal itu," kata si Bijak. "Sebab, hal itu tidak sesuai dengan syarat menjadi murid. Pengikut tidak boleh membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpinnya."
Demikianlah, setiap kali Sang Guru menunjukkan kepada murid apa yang sebenarnya makna menjadi murid dengan contoh-contoh.
Mereka berpisah di gerbang Kota Suci. Waktu bertemu dengan orang bijaksana itu, si pemuda tidak berani menatap matanya.
"Yang kau pelajari itu," kata sang Bijak, "Adalah sesuatu yang berkaitan dengan sedikit menjadi murid."
Ibrahim Khawas (Si Penganyam Palem) memberi batasan jalan sufi sebagai, "Biarkan saja apa yang dilakukan untukmu dikerjakan orang untukmu. Kerjakan sendiri apa yang harus kau kerjakan bagi dirimu sendiri."
Kisah ini menggaris-bawahi dengan cara dramatik, perbedaan antara apa yang dipikirkan calon pengikut tentang bagaimana seharusnya hubunganya dengan gurunya, dan bagaimana hubungan tersebut dalam kenyataannya.
Khawas adalah salah seorang di antara guru-guru agung zaman awal, dan perjalanan ini dikutip oleh Hujwiri dalam "Pengungkapan Yang Terselubung", ikhtisar tertua yang masih ada tentang sufisme dalam bahasa Persia.
Sang Bijak berkata. "Kau belum lagi siap."
Karena anak muda itu bersikeras juga, guru itu berkata, "Baiklah, aku akan mengajarimu sesuatu. Aku akan berziarah ke Makkah. Kau ikut."
Murid itu teramat gembira. "Karena kita mengadakan perjalanan berdua, salah seorang harus menjadi pemimpin," kata sang Guru. "Kau pilih jadi apa?"
"Saya ikut saja, Bapak yang memimpin," kata Ibrahim.
"Tentu aku akan memimpin, asal kau tahu bagaimana menjadi pengikut," kata sang Guru.
Perjalanan pun dimulai. Sementara mereka beristirahat pada suatu malam di padang pasir Hijaz, hujan pun turun. Sang guru bangkit dan memegangi kain penutup, melindungi muridnya dari kebasahan.
"Tetapi seharusnya sayalah yang melakukan itu bagi Bapak," kata Ibrahim.
"Aku perintahkan agar kau memperbolehkan aku melindungimu," kata sang Bijak.
Siang harinya, anak muda itu berkata, "Nah, ini hari baru. Sekarang perkenankan saya menjadi pemimpin, dan Bapak mengikut saya." Sang guru pun setuju.
"Saya akan mengumpulkan kayu, untuk membuat api," kata pemuda itu.
"Kau tak boleh melakukan itu. Aku yang akan melakukannya," kata sang Bijak.
"Saya memerintahkan agar Bapak duduk saja sementara saya mengumpulkan kayu!" kata pemuda itu.
"Kau tak boleh melakukan hal itu," kata si Bijak. "Sebab, hal itu tidak sesuai dengan syarat menjadi murid. Pengikut tidak boleh membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpinnya."
Demikianlah, setiap kali Sang Guru menunjukkan kepada murid apa yang sebenarnya makna menjadi murid dengan contoh-contoh.
Mereka berpisah di gerbang Kota Suci. Waktu bertemu dengan orang bijaksana itu, si pemuda tidak berani menatap matanya.
"Yang kau pelajari itu," kata sang Bijak, "Adalah sesuatu yang berkaitan dengan sedikit menjadi murid."
Ibrahim Khawas (Si Penganyam Palem) memberi batasan jalan sufi sebagai, "Biarkan saja apa yang dilakukan untukmu dikerjakan orang untukmu. Kerjakan sendiri apa yang harus kau kerjakan bagi dirimu sendiri."
Kisah ini menggaris-bawahi dengan cara dramatik, perbedaan antara apa yang dipikirkan calon pengikut tentang bagaimana seharusnya hubunganya dengan gurunya, dan bagaimana hubungan tersebut dalam kenyataannya.
Khawas adalah salah seorang di antara guru-guru agung zaman awal, dan perjalanan ini dikutip oleh Hujwiri dalam "Pengungkapan Yang Terselubung", ikhtisar tertua yang masih ada tentang sufisme dalam bahasa Persia.
Makna Suluk dan Tasawuf
Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan
pengetahuan. Suluk merupakan aktivitas rutin dalam memakmurkan lahir dan
batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb. Bahkan
ia selalu disibukkan dengan usaha-usaha menjernihkan hati sebagai
persiapan untuk sampai kepada-Nya (wusul).
Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk); Pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran. Dan kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya, maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-orang lemah.
Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara. Sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (karena kehinaan dirinya di hadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berdzikir.
Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara', meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya.
Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya karena Allah SWT, bukan sekedar untuk meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan. Karena sesungguhnya orang yang asyik dengan amaliyahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yang benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir mudik takdir Tuhan.
Dalam sebuah syair dinyatakan;
Aku ingin menemuinya,
Namun Dia menghendakiku untuk menghindar
Lalu kutanggalkan semua hasratku
Demi apa yang Kau kehendaki
Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah SWT dan binasakan hawa nafsumu atas perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan-perbuatan-Nya (af'al). Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah SWT.
Kebebasanmu dari ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan mereka, kau tidak akan kembali dengan mereka, dan kau pun tidak akan menyesali semua yang ada dalam genggaman mereka. Adapun tanda kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak memasang harapan yang berlebihan dari semua usahamu, dan tidak pula bergantung dengan urusan kausalitas untuk meraih sebuah kemanfaatan ataupun untuk menghindari kebinasaan.
Maka kau jangan hanya bergulat dengan dirimu sendiri, jangan terlalu percaya diri, jangan mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri. Namun pertama-tama yang harus kau lakukan adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak, agar Dia berkenan memberikan kuasa-Nya kepadamu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau berada dalam rahim ibumu, atau saat kau masih dalam susuan ibumu.
Sementara tanggalnya seluruh hasrat iradah-mu, lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak adanya sifat menghendaki dalam dirimu (murid), dalam hal ini kau hanyalah sebagai obyek yang dikehendaki (murad). Bahkan dalam setiap lakumu ada intervensi aktivitas-Nya maka jadilah kau sebagai obyek yang dikehendaki-Nya.
Adapun aktivitas-Nya menempati semua anggota ragamu, menenteramkan jiwa, melapangkan dada, menyinari wajahmu, dan memeriahkan suasana batinmu. Takdir menjadi nuansa dalam hatimu, azali senantiasa akan menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai mengajarimu dengan ilmu-Nya, menyematkan pakaian untukmu dari cahaya hulul, dan memposisikanmu pada derajat generasi orang terdahulu di antara para ulama yang saleh (ulu al-'ilm).
Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk); Pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran. Dan kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya, maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-orang lemah.
Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara. Sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (karena kehinaan dirinya di hadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berdzikir.
Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara', meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya.
Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya karena Allah SWT, bukan sekedar untuk meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan. Karena sesungguhnya orang yang asyik dengan amaliyahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yang benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir mudik takdir Tuhan.
Dalam sebuah syair dinyatakan;
Aku ingin menemuinya,
Namun Dia menghendakiku untuk menghindar
Lalu kutanggalkan semua hasratku
Demi apa yang Kau kehendaki
Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah SWT dan binasakan hawa nafsumu atas perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan-perbuatan-Nya (af'al). Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah SWT.
Kebebasanmu dari ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan mereka, kau tidak akan kembali dengan mereka, dan kau pun tidak akan menyesali semua yang ada dalam genggaman mereka. Adapun tanda kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak memasang harapan yang berlebihan dari semua usahamu, dan tidak pula bergantung dengan urusan kausalitas untuk meraih sebuah kemanfaatan ataupun untuk menghindari kebinasaan.
Maka kau jangan hanya bergulat dengan dirimu sendiri, jangan terlalu percaya diri, jangan mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri. Namun pertama-tama yang harus kau lakukan adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak, agar Dia berkenan memberikan kuasa-Nya kepadamu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau berada dalam rahim ibumu, atau saat kau masih dalam susuan ibumu.
Sementara tanggalnya seluruh hasrat iradah-mu, lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak adanya sifat menghendaki dalam dirimu (murid), dalam hal ini kau hanyalah sebagai obyek yang dikehendaki (murad). Bahkan dalam setiap lakumu ada intervensi aktivitas-Nya maka jadilah kau sebagai obyek yang dikehendaki-Nya.
Adapun aktivitas-Nya menempati semua anggota ragamu, menenteramkan jiwa, melapangkan dada, menyinari wajahmu, dan memeriahkan suasana batinmu. Takdir menjadi nuansa dalam hatimu, azali senantiasa akan menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai mengajarimu dengan ilmu-Nya, menyematkan pakaian untukmu dari cahaya hulul, dan memposisikanmu pada derajat generasi orang terdahulu di antara para ulama yang saleh (ulu al-'ilm).
Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu
ilmu tauhid (ushuluddin), ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ilmu tauhid
untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai
keTuhanan, kerasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya.
Ilmu fiqih bertugas membahas soal-soal ibadah lahir, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyuk, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain. Ringkasnya, tauhid takluk kepada i’tiqad, fiqih takluk kepada ibadah, dan tasawuf takluk kepada akhlak.
Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (ushuluddin), supaya beribadah sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.
Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan. Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut: Pada suatu hari kami (Umar bin Khathab dan para sahabat) duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah SAW.
Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah SAW, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam."
Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu."
Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman."
Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada qadhar baik dan buruknya."
Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan."
Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihatmu."
Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang As-Sa’ah (azab kiamat)."
Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."
Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya."
Rasulullah menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan tuannya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat."
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.
Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?"
Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui."
Rasulullah SAW lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian." (HR Muslim)
Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syariat lahir. Umpamanya shalat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan, perdamaian dan lainnya.
Tentang iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (ushuluddin), sasarannya i’tiqad (akidah/kepercayaan). Umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap Tuhan, malaikat-malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari kebangkitan, surga, neraka, qadha dan qadhar (takdir).
Tentang ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasawuf. Sasarannya akhlak, budi pekerti, batin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan, bagaimana takhalli, tahalli dan tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang dengan tasawuf.
Setiap Muslim harus mengetahui tiga unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari. Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan atau dalam jamaah, manhaj, metode atau jalan. Waspadalah jika jamaah yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu karena akan memungkinkan ketidaksempurnaan hasil yang akan dicapai.
Ilmu tasawuf itu tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Nabi dan bahkan Alquran dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya. Andaikata ada kelihatan orang-orang tasawuf yang menyalahi syariat, umpamanya ia tidak shalat, tidak shalat Jumat ke masjid atau shalat tidak berpakaian, makan siang hari pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang tasawuf dan jangan kita dengarkan ocehannya.
Imam Abu Yazid Al-Busthami berkata, "Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syariat."
Syekh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili berujar, "Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Alquran dan hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Alquran dan hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Alquran dan hadits."
Jadi syarat untuk mendalami ilmu tasawuf (tentang ihsan) terlebih dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid/ushuluddin (tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketakwaan kita.
Mulai sebagai Muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan. Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.
Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang saleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah SAW. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya Al-Abbas, kedua definisi ini tidak tepat. Ia mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, "shafahu Allah", yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya. Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu (kesuciannya). Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya). Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu (kefanaannya). Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya. Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Allah SWT berfirman: "...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorang pun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki.." (QS An-Nuur: 21)
"Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat." (QS Shaad: 46)
"Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS Shaad: 47)
Ilmu fiqih bertugas membahas soal-soal ibadah lahir, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyuk, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain. Ringkasnya, tauhid takluk kepada i’tiqad, fiqih takluk kepada ibadah, dan tasawuf takluk kepada akhlak.
Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (ushuluddin), supaya beribadah sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.
Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan. Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut: Pada suatu hari kami (Umar bin Khathab dan para sahabat) duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah SAW.
Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah SAW, seraya berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam."
Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu."
Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman."
Rasulullah Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada qadhar baik dan buruknya."
Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan."
Rasulullah berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihatmu."
Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang As-Sa’ah (azab kiamat)."
Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."
Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya."
Rasulullah menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan tuannya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat."
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.
Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?"
Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui."
Rasulullah SAW lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian." (HR Muslim)
Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syariat lahir. Umpamanya shalat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan, perdamaian dan lainnya.
Tentang iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (ushuluddin), sasarannya i’tiqad (akidah/kepercayaan). Umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap Tuhan, malaikat-malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari kebangkitan, surga, neraka, qadha dan qadhar (takdir).
Tentang ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasawuf. Sasarannya akhlak, budi pekerti, batin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan, bagaimana takhalli, tahalli dan tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang dengan tasawuf.
Setiap Muslim harus mengetahui tiga unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari. Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan atau dalam jamaah, manhaj, metode atau jalan. Waspadalah jika jamaah yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu karena akan memungkinkan ketidaksempurnaan hasil yang akan dicapai.
Ilmu tasawuf itu tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Nabi dan bahkan Alquran dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya. Andaikata ada kelihatan orang-orang tasawuf yang menyalahi syariat, umpamanya ia tidak shalat, tidak shalat Jumat ke masjid atau shalat tidak berpakaian, makan siang hari pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang tasawuf dan jangan kita dengarkan ocehannya.
Imam Abu Yazid Al-Busthami berkata, "Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syariat."
Syekh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili berujar, "Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Alquran dan hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Alquran dan hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Alquran dan hadits."
Jadi syarat untuk mendalami ilmu tasawuf (tentang ihsan) terlebih dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid/ushuluddin (tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketakwaan kita.
Mulai sebagai Muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan. Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.
Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang saleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah SAW. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya Al-Abbas, kedua definisi ini tidak tepat. Ia mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, "shafahu Allah", yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya. Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu (kesuciannya). Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya). Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu (kefanaannya). Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya. Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Allah SWT berfirman: "...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorang pun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki.." (QS An-Nuur: 21)
"Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat." (QS Shaad: 46)
"Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS Shaad: 47)
Jauhar dan 'Aradh
Salah satu pembahasan yang amat rumit di dalam ilmu filsafat dan ilmu
tasawuf ialah masalah jauhar dan 'aradh. Kesulitannya bukan hanya dari
segi ontologinya yang akan membahas dari sesuatu yang sangat konkret
sampai ke yang mahaabstrak, melainkan juga kita akan mengabstrakkan yang
konkret dan mengonkretkan yang abstrak. Dalam tulisan ini lebih ru mit
lagi karena juga akan dicoba mengungkap perbedaan antara jauhar dan
'aradh menurut ka langan filsuf dan menurut kalangan sufi.
Jauhar adalah substansi dari sebuah wujud yang dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa ban tuan wujud lain, seperti badan, pohon, batu, dan lain sebagainya. Sedangkan, 'aradh adalah accident yang tidak memiliki substansi wujud tersendiri, tetapi memerlukan wujud lain untuk mewujudkan dirinya, seperti warna dan bentuk.
Jauhar dan 'aradh, menurut para filsuf, merupakan dua struktur entitas yang berbeda walaupun keduanya sulit untuk di pisahkan. Sedangkan, menurut kalangan sufi, 'aradh dan jauhar bukanlah merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi yang satu merupakan hakikat dan lainnya merupakan manifestasi, seperti Allah sebagai hakikat wujud (al- Haqiqah al-Wujud), kemudian memunculkan manifestasi (ma dhhar). Antara hakikat wujud dengan wujud-wujud (a’yan) yang mewujudkan diri-Nya walaupun keduanya berbeda, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Jauhar dan 'aradh adalah dua manifestasi yang mewujudkan diri-Nya. Yang pertama, (jauhar) manifestasi mampu mewujudkan dirinya sendiri, sedangkan yang kedua ('aradh manifestasi yang tidak mampu mewujudkan diri nya, dengan kata lain ia memerlukan jauhar-jauhar untuk me mantulkan keberadaan dirinya sendiri. Contohnya, bendera Indo nesia, merah putih, tidak mungkin bisa terwujud tanpa ada bahan kain atau tembok tempat warna merah putih itu menempel. Kain atau tembok adalah jauhar, sedangkan warna merah dan putih adalah 'aradh. Contoh lain, se buah nama ngan yang dinamai. Nama adalah menempel pada sebuah zat, ka rena itu nama disebut jauhar dan zat yang dinamai disebut 'aradh.
Dalam pandangan filsafat kain, tembok, yang dinamai merupakan entitas tersendiri dan merah, putih, dan nama juga merupakan entitas tersendiri. Se dangkan, menurut kalangan sufi, kedua komponen itu bukan merupakan entitas tersendiri, yang berbeda, dan terpisah satu sama lain.
Analoginya, para filsuf dan teolog menganggap Tuhan dan makhluknya entitas yang berbeda, bahkan sangat amat berbeda. Satu Tuhan Yang Mahamulia, yang lainnya makhluk yang sa ngat bersahaja dan sederhana. Sedangkan, kalangan sufi meng anggap keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisah kan (tauhid). Yang satu merupakan zat, Haqiqat al-Wujud, yang lain nya adalah manifestasi (madhhar) dari zat atau Haqiqat al-Wujud, baik dalam bentuk jauhar maupun 'aradh.
Dalam pandangan tasawuf, bisa disimpulkan bahwa perwujudan segala sesuatu (a'yan) merupakan manifestasi 'aradh dan 'aradh merupakan manifestasi dari jauhar, kemudian jauhar manifestasi dari al-Haq (al- Haqiqah al-Wujud). Dari sinilah sebabnya, mengapa kalangan sufi enggan menyebut al-Khaliq dan al-makhluq, tetapi lebih suka menyebut istilah al-Haq untuk Tuhan dan al-khalq untuk makhluk, termasuk manusia, karena garis demarkasi antara al-Khaliq dan al-Makhluq sangat tidak je las. Mungkin yang paling dekat dapat dijadikan ukuran ialah an tara al-A'yan al-Tsabitah yang sering juga disebut al-A'yan al- Dakhiliyyah (walaupun ini sebetulnya tidak terlalu tepat) dan ala'yan al-kharijiyyah (lihat artikel terdahulu, “Apa Itu al-A’yan al- Tsabitah”).
Konsep al-Haqiqah al-Wujud ini juga masih mempunyai pembahasan lebih mikro karena penerapan konsep jauhar dan 'aradh ini dapat membantu kita untuk memahami Tuhan yang selama ini mungkin amat susah dipahami. Nabi juga pernah mewanti-wanti kita dengan hadisnya, “Pikirkan lah makhluk Tuhan, jangan memikirkan zat-Nya.” (Tafakkaru fi khalq Allah wa la tafakkaru fi dzat Allah). Ini bukan berarti Tuhan Mahakikir, tidak mau mem perkenalkan diri-Nya kepa da hamba-Nya, sungguh itu ma nusia sebagai makhluk ciptaan paling mulia-Nya, tetapi kata penyair Jalaluddin Rumi, apalah arti sebuah cangkir untuk menampung samudra. Artinya, kapasitas memori manusia sangat tidak mampu untuk menampung Zat Yang Mahabesar.
Sekuat apa pun ilmu pengetahuan, tidak akan pernah sang gup menjelaskan zat Tuhan. Jangankan Tuhan, kalimat-kalimat Tuhan pun tidak akan pernah mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, seperti ditegaslan di dalam QS al-Kahfi, sekalipun lautan samudra bisa dijadikan tinta dan ditambah berkali-kali lagi, tidak akan pernah kita bisa menjelaskan secara sempurna kalimat Tuhan.
Satu-satunya cara bisa digunakan untuk memahami lebih mendalam kompleksitas Tuhan ialah dengan menggunakan ma'rifah atau biasa juga disebut hik mah. Hanya saja ma'rifah atau hikmah tidak semua manusia bisa mengaksesnya. Alquran menegaskan, hanya orang tertentu yang dikehendaki Tuhan yang mampu mengakses hikmah (yutil hikmah man yasya' wa man yutal hikmah faqad utiyah khairan katsiran). Sungguh beruntunglah orang yang mendapatkan hikmah itu.
Jauhar adalah substansi dari sebuah wujud yang dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa ban tuan wujud lain, seperti badan, pohon, batu, dan lain sebagainya. Sedangkan, 'aradh adalah accident yang tidak memiliki substansi wujud tersendiri, tetapi memerlukan wujud lain untuk mewujudkan dirinya, seperti warna dan bentuk.
Jauhar dan 'aradh, menurut para filsuf, merupakan dua struktur entitas yang berbeda walaupun keduanya sulit untuk di pisahkan. Sedangkan, menurut kalangan sufi, 'aradh dan jauhar bukanlah merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi yang satu merupakan hakikat dan lainnya merupakan manifestasi, seperti Allah sebagai hakikat wujud (al- Haqiqah al-Wujud), kemudian memunculkan manifestasi (ma dhhar). Antara hakikat wujud dengan wujud-wujud (a’yan) yang mewujudkan diri-Nya walaupun keduanya berbeda, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Jauhar dan 'aradh adalah dua manifestasi yang mewujudkan diri-Nya. Yang pertama, (jauhar) manifestasi mampu mewujudkan dirinya sendiri, sedangkan yang kedua ('aradh manifestasi yang tidak mampu mewujudkan diri nya, dengan kata lain ia memerlukan jauhar-jauhar untuk me mantulkan keberadaan dirinya sendiri. Contohnya, bendera Indo nesia, merah putih, tidak mungkin bisa terwujud tanpa ada bahan kain atau tembok tempat warna merah putih itu menempel. Kain atau tembok adalah jauhar, sedangkan warna merah dan putih adalah 'aradh. Contoh lain, se buah nama ngan yang dinamai. Nama adalah menempel pada sebuah zat, ka rena itu nama disebut jauhar dan zat yang dinamai disebut 'aradh.
Dalam pandangan filsafat kain, tembok, yang dinamai merupakan entitas tersendiri dan merah, putih, dan nama juga merupakan entitas tersendiri. Se dangkan, menurut kalangan sufi, kedua komponen itu bukan merupakan entitas tersendiri, yang berbeda, dan terpisah satu sama lain.
Analoginya, para filsuf dan teolog menganggap Tuhan dan makhluknya entitas yang berbeda, bahkan sangat amat berbeda. Satu Tuhan Yang Mahamulia, yang lainnya makhluk yang sa ngat bersahaja dan sederhana. Sedangkan, kalangan sufi meng anggap keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisah kan (tauhid). Yang satu merupakan zat, Haqiqat al-Wujud, yang lain nya adalah manifestasi (madhhar) dari zat atau Haqiqat al-Wujud, baik dalam bentuk jauhar maupun 'aradh.
Dalam pandangan tasawuf, bisa disimpulkan bahwa perwujudan segala sesuatu (a'yan) merupakan manifestasi 'aradh dan 'aradh merupakan manifestasi dari jauhar, kemudian jauhar manifestasi dari al-Haq (al- Haqiqah al-Wujud). Dari sinilah sebabnya, mengapa kalangan sufi enggan menyebut al-Khaliq dan al-makhluq, tetapi lebih suka menyebut istilah al-Haq untuk Tuhan dan al-khalq untuk makhluk, termasuk manusia, karena garis demarkasi antara al-Khaliq dan al-Makhluq sangat tidak je las. Mungkin yang paling dekat dapat dijadikan ukuran ialah an tara al-A'yan al-Tsabitah yang sering juga disebut al-A'yan al- Dakhiliyyah (walaupun ini sebetulnya tidak terlalu tepat) dan ala'yan al-kharijiyyah (lihat artikel terdahulu, “Apa Itu al-A’yan al- Tsabitah”).
Konsep al-Haqiqah al-Wujud ini juga masih mempunyai pembahasan lebih mikro karena penerapan konsep jauhar dan 'aradh ini dapat membantu kita untuk memahami Tuhan yang selama ini mungkin amat susah dipahami. Nabi juga pernah mewanti-wanti kita dengan hadisnya, “Pikirkan lah makhluk Tuhan, jangan memikirkan zat-Nya.” (Tafakkaru fi khalq Allah wa la tafakkaru fi dzat Allah). Ini bukan berarti Tuhan Mahakikir, tidak mau mem perkenalkan diri-Nya kepa da hamba-Nya, sungguh itu ma nusia sebagai makhluk ciptaan paling mulia-Nya, tetapi kata penyair Jalaluddin Rumi, apalah arti sebuah cangkir untuk menampung samudra. Artinya, kapasitas memori manusia sangat tidak mampu untuk menampung Zat Yang Mahabesar.
Sekuat apa pun ilmu pengetahuan, tidak akan pernah sang gup menjelaskan zat Tuhan. Jangankan Tuhan, kalimat-kalimat Tuhan pun tidak akan pernah mampu dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, seperti ditegaslan di dalam QS al-Kahfi, sekalipun lautan samudra bisa dijadikan tinta dan ditambah berkali-kali lagi, tidak akan pernah kita bisa menjelaskan secara sempurna kalimat Tuhan.
Satu-satunya cara bisa digunakan untuk memahami lebih mendalam kompleksitas Tuhan ialah dengan menggunakan ma'rifah atau biasa juga disebut hik mah. Hanya saja ma'rifah atau hikmah tidak semua manusia bisa mengaksesnya. Alquran menegaskan, hanya orang tertentu yang dikehendaki Tuhan yang mampu mengakses hikmah (yutil hikmah man yasya' wa man yutal hikmah faqad utiyah khairan katsiran). Sungguh beruntunglah orang yang mendapatkan hikmah itu.
Mujahadah
Kata mujahadah tidak lebih populer daripada kata jihad atau ijtihad.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ijtihad lebih utama daripada jihad.
Rasulullah SAW bersabda, ''Goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada.''
Namun, masih ada yang lebih utama dari ijtihad, yakni mujahadah. Mujahadah ialah perjuangan yang mengandalkan unsur batin atau kalbu. Seusai sebuah peperangan yang amat dahsyat, Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabatnya, ''Kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil ke peperangan yang lebih besar.''
Lalu beliau menjelaskan bahwa peperangan terbesar ialah melawan diri sendiri, yakni melawan hawa nafsu. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Gazali mengungkapkan, mujahadah satu jam lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun. Ini artinya, mujahadah merupakan puncak pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.
Jihad, ijtihad, dan mujahadah, berasal dari satu akar kata yang sama; jahada, yang berarti bersungguh-sungguh. Jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik; ijtihad perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran dan logika; dan mujahadah merupakan perjuangan sungguh-sungguh melalui kalbu. Bagi masyarakat awam, jihad itulah ibadah yang paling tinggi. Namun dalam perspektif tasawuf, mujahadah menempati posisi yang lebih utama.
Mujahadah bisa mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Dan ia merupakan kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah satu dari ketiga perjuangan tadi. Tetapi, ketiganya harus sinergi di dalam diri.
Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna. Beliau dikenal sangat terampil dalam perjuangan fisik. Hal itu terbukti dengan keterlibatannya dalam beberapa peperangan. Dan beliau sendiri tampil sebagai panglima perang. Beliau juga seorang yang cerdas pikirannya, dan panjang tahajudnya.
Dalam konteks kekinian, komposisi ketiga unsur perjuangan di atas sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas setiap orang. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Muslim terbaik (khaira ummah).
Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik, maka jihad fisik baginya adalah perjuangan yang tepat. Bagi seorang ulama, jihad paling utama baginya ialah menulis secara produktif untuk mencerahkan dan mencerdaskan umat. Namun, untuk mujahadah, sesungguhnya dapat diakses setiap orang dari golongan manapun. Mari memopulerkan mujahadah di samping jihad dan ijtihad dalam masyarakat.
Namun, masih ada yang lebih utama dari ijtihad, yakni mujahadah. Mujahadah ialah perjuangan yang mengandalkan unsur batin atau kalbu. Seusai sebuah peperangan yang amat dahsyat, Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabatnya, ''Kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil ke peperangan yang lebih besar.''
Lalu beliau menjelaskan bahwa peperangan terbesar ialah melawan diri sendiri, yakni melawan hawa nafsu. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Gazali mengungkapkan, mujahadah satu jam lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun. Ini artinya, mujahadah merupakan puncak pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.
Jihad, ijtihad, dan mujahadah, berasal dari satu akar kata yang sama; jahada, yang berarti bersungguh-sungguh. Jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik; ijtihad perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran dan logika; dan mujahadah merupakan perjuangan sungguh-sungguh melalui kalbu. Bagi masyarakat awam, jihad itulah ibadah yang paling tinggi. Namun dalam perspektif tasawuf, mujahadah menempati posisi yang lebih utama.
Mujahadah bisa mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Dan ia merupakan kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah satu dari ketiga perjuangan tadi. Tetapi, ketiganya harus sinergi di dalam diri.
Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna. Beliau dikenal sangat terampil dalam perjuangan fisik. Hal itu terbukti dengan keterlibatannya dalam beberapa peperangan. Dan beliau sendiri tampil sebagai panglima perang. Beliau juga seorang yang cerdas pikirannya, dan panjang tahajudnya.
Dalam konteks kekinian, komposisi ketiga unsur perjuangan di atas sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas setiap orang. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Muslim terbaik (khaira ummah).
Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik, maka jihad fisik baginya adalah perjuangan yang tepat. Bagi seorang ulama, jihad paling utama baginya ialah menulis secara produktif untuk mencerahkan dan mencerdaskan umat. Namun, untuk mujahadah, sesungguhnya dapat diakses setiap orang dari golongan manapun. Mari memopulerkan mujahadah di samping jihad dan ijtihad dalam masyarakat.
Epistimologi Makrifat (3-habis)
Rawaim Ibnu Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat
makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu
maka akan tampak jelas Tuhannya.
Dzun Nun Al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifat seperti orang-orang yang bergaul dengan Allah SWT.
Kata Al-Hallaj, “Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah, maka Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar.”
Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, "Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki."
Selanjutnya ia menambahkan, “Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain kepada Allah."
Untuk urusan lebih teknik dalam memperoleh makrifat, Ahmad Ibn Atha berkomentar, “Makrifat itu memiliki tiga rukun; takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah.”
Jadi, memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah kebersihan batin. Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah an-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.
Pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat. Hanya mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial, sehingga mereka perlu berdzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini antara lain fas’alu ahl al-dzikr inkuntum la ta’lamun (Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalian tidak tahu), Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tadzkirah, tashawwuf, tashwir, tadzkiyah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.
Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiai, adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan ayat “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151).
Perhatikan ayat di atas, Allah SWT mengedepankan proses penyucian diri (tadzkiyah al-nafs) baru proses pendidikan (ta’lim). Itulah sebabnya ilmu-ilmu yang merupakan washilah untuk sampai ke pengetahuan makrifat sebagaimana banyak dipraktikkan di lembaga-lembaga tarekat, seorang murid sangat sayang pada guruhnya.
Mereka terkesan dengan sebuah qaul (pepatah), "al-ustadz amam al-murid ka al-nabiy amam al-shahabah (guru di depan murid bagaikan nabi di depan sahabat)". Perilaku kritis berlebihan dari seorang murid terhadap guru atau mursyidnya tidak pernah terlihat di dalam pengalaman sehari-hari bagi para pencinta makrifat.
Dzun Nun Al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifat seperti orang-orang yang bergaul dengan Allah SWT.
Kata Al-Hallaj, “Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah, maka Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar.”
Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, "Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki."
Selanjutnya ia menambahkan, “Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain kepada Allah."
Untuk urusan lebih teknik dalam memperoleh makrifat, Ahmad Ibn Atha berkomentar, “Makrifat itu memiliki tiga rukun; takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah.”
Jadi, memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah kebersihan batin. Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah an-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.
Pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat. Hanya mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial, sehingga mereka perlu berdzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini antara lain fas’alu ahl al-dzikr inkuntum la ta’lamun (Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalian tidak tahu), Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tadzkirah, tashawwuf, tashwir, tadzkiyah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.
Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiai, adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan ayat “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151).
Perhatikan ayat di atas, Allah SWT mengedepankan proses penyucian diri (tadzkiyah al-nafs) baru proses pendidikan (ta’lim). Itulah sebabnya ilmu-ilmu yang merupakan washilah untuk sampai ke pengetahuan makrifat sebagaimana banyak dipraktikkan di lembaga-lembaga tarekat, seorang murid sangat sayang pada guruhnya.
Mereka terkesan dengan sebuah qaul (pepatah), "al-ustadz amam al-murid ka al-nabiy amam al-shahabah (guru di depan murid bagaikan nabi di depan sahabat)". Perilaku kritis berlebihan dari seorang murid terhadap guru atau mursyidnya tidak pernah terlihat di dalam pengalaman sehari-hari bagi para pencinta makrifat.
Epistimologi Makrifat (2)
Bahkan di negara-negara maju sekarang sudah mulai demam kajian
spiritual. Kabbalah (mistisisme Yahudi) yang dulu diharamkan oleh para
Rabbi karena dianggap bid’ah kini laksana cendawan tumbuh di mana-mana.
Di New York, tepatnya The Manhattan Center yang terletak di 155 E/84 St, di jantung kota NY berdiri tegak Kabbalah Center. Jauh sebelumnya, Karen Berg pernah mendirikan The National Research Institute of Kabbalah di Los Angeles, yang sampai sekarang ramai dikujungi artis Hollywood dan ilmuwan Yahudi di sana.
Di Eropa dan Amerika Latin juga demikian halnya. Lembaga-lembaga meditasi bahkan sudah dibuka di sejumlah universitas terkemuka. Buku-buku New Age pernah mendominasi sejumlah toko buku di Amerika dan Eropa.
Pusat-pusat sufi akhir-akhir ini mungkin lebih ramai di Barat daripada di Timur. The Beshara School, sebuah lembaga spiritual yang bertaraf internasional sudah mulai go-public merambah hampir di seluruh negara. Ibn ‘Arabi Society yang anggotanya semakin besar sebagaimana dapat dilihat di situsnya. Pengikut Kabbani dan Bawa Muhaiyaddeen di AS juga semakin ramai dikunjungi pengikut. Di antara mereka bukan orang awam tetapi sangat terdidik dan pejabat.
Meningkatnya gerakan sufisme di berbagai tempat menandakan adanya ketidakpuasan manusia terhadap capaian ilmu pengetahuan selama ini. Paling tidak kehausan intelektualitas manusia ternyata tidak mampu dipuaskan oleh ilmu pengetahuan (‘ilm). Manusia menginginkan lebih dari sekedar ilmu yang hanya mampu memberikan kepuasan logika. Kepuasan sejati hanya dapat dirasakan manakala menyentuh aspek hakiki dari manusia yang namanya kepuasan batin. Justru kepuasan batin inilah yang kemudian mendatangkan kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi.
Untuk bisa sampai pada tingkat kepuasan batin ini, dibutuhkan pengetahuan tingkat tinggi yang biasa disebut dengan makrifat yang sesekali disebut irfan atau dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan mukasyafah. Mukasyafah berarti penyingkapan tabir-tabir (hijab) yang selama ini menghijab manusia untuk mengakses sebuah dunia yang agung, di mana manusia bisa meraih kepuasan yang luar biasa.
Epistimologi makrifat lebih dari sekedar menempuh epistimologi keilmuan biasa. Persyaratan yang harus ada di dalam menggapai tingkat makrifat Al-Qusyairi ialah penyucian dari dari berbagai dosa dan maksiat, bersih dari urusan dan ketergantungan dunia, terus menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri, selalu memelihara kelembutan jiwa dan budi pekerti, dan penuh pengendalian dan mawas diri.
Bagi orang yang mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan) maka ia akan berada pada tingkat musyahadah (penyaksian kepada zat Yang Maha Mulia). Dalam keadaan seperti ini manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan.
Di New York, tepatnya The Manhattan Center yang terletak di 155 E/84 St, di jantung kota NY berdiri tegak Kabbalah Center. Jauh sebelumnya, Karen Berg pernah mendirikan The National Research Institute of Kabbalah di Los Angeles, yang sampai sekarang ramai dikujungi artis Hollywood dan ilmuwan Yahudi di sana.
Di Eropa dan Amerika Latin juga demikian halnya. Lembaga-lembaga meditasi bahkan sudah dibuka di sejumlah universitas terkemuka. Buku-buku New Age pernah mendominasi sejumlah toko buku di Amerika dan Eropa.
Pusat-pusat sufi akhir-akhir ini mungkin lebih ramai di Barat daripada di Timur. The Beshara School, sebuah lembaga spiritual yang bertaraf internasional sudah mulai go-public merambah hampir di seluruh negara. Ibn ‘Arabi Society yang anggotanya semakin besar sebagaimana dapat dilihat di situsnya. Pengikut Kabbani dan Bawa Muhaiyaddeen di AS juga semakin ramai dikunjungi pengikut. Di antara mereka bukan orang awam tetapi sangat terdidik dan pejabat.
Meningkatnya gerakan sufisme di berbagai tempat menandakan adanya ketidakpuasan manusia terhadap capaian ilmu pengetahuan selama ini. Paling tidak kehausan intelektualitas manusia ternyata tidak mampu dipuaskan oleh ilmu pengetahuan (‘ilm). Manusia menginginkan lebih dari sekedar ilmu yang hanya mampu memberikan kepuasan logika. Kepuasan sejati hanya dapat dirasakan manakala menyentuh aspek hakiki dari manusia yang namanya kepuasan batin. Justru kepuasan batin inilah yang kemudian mendatangkan kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi.
Untuk bisa sampai pada tingkat kepuasan batin ini, dibutuhkan pengetahuan tingkat tinggi yang biasa disebut dengan makrifat yang sesekali disebut irfan atau dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan mukasyafah. Mukasyafah berarti penyingkapan tabir-tabir (hijab) yang selama ini menghijab manusia untuk mengakses sebuah dunia yang agung, di mana manusia bisa meraih kepuasan yang luar biasa.
Epistimologi makrifat lebih dari sekedar menempuh epistimologi keilmuan biasa. Persyaratan yang harus ada di dalam menggapai tingkat makrifat Al-Qusyairi ialah penyucian dari dari berbagai dosa dan maksiat, bersih dari urusan dan ketergantungan dunia, terus menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri, selalu memelihara kelembutan jiwa dan budi pekerti, dan penuh pengendalian dan mawas diri.
Bagi orang yang mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan) maka ia akan berada pada tingkat musyahadah (penyaksian kepada zat Yang Maha Mulia). Dalam keadaan seperti ini manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan.
Epistimologi Makrifat (1)
Pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar disebut dengan ilmu (‘ilm)
dan pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin disebut makrifat
(ma’rifah).
Secara kebahasaan kata ‘ilm berasal dari akar kata alima ya’lamu yang berarti mengetahui, seakar kata dengan ‘alam berarti tanda, petunjuk, bendera; ‘alamah berarti alamat atau suatu tanda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).
Alam adalah tanda menunjuk kepada (adanya) Allah SWT. Alam juga sekaligus memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang Allah SWT. Dari segi kebahasaan dapat ditangkap makna ‘ilm dan ‘alam memiliki konotasi fisik dan mekanik (hushuli).
Sedangkan makrifah berasal dari kata ‘arafa yurif memiliki berbagai makna yang lahir dari padanya, antara lain mengetahui dan mengenal lebih dalam (i’rfah), pengakuan dosa (i’tiraf), wuquf di Arafah (‘arrafah al-hujjaj), padang Arafah (‘arafat), tempat antara surga dan neraka (a’raf), bersetubuh (‘arafah al-ma’ah), saling mengenal satu sama lain (ta’aruf), warisan tradisi lama yang positif (‘urf), terkenal, masyhur (ma’ruf), ilmu pengetahuan luas (ma’arif), dan pengetahuan yang mendalam dan komperhensif (‘irfan, ma’rifah). Dari segi kebahasaan dapat difahami makna ma’rifah memiliki konotasi lebih tinggi dan agung (hudhuri).
Dengan perbedaan tersebut maka dengan sendirinya antara ilmu dan makrifat memiliki ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa difahami melalui perbedaan antara ilmu-ilmu hushuli dan ilmu-ilmu hudhuri.
Secara ontologi, ilmu (‘ilm) masih lebih banyak berkutat pada wilayah logika manusia. Referensi yang digunakan untuk memahami ilmu juga masih bersifat fisik dan visual, meskipun dalam tingkatannya yang lebih tinggi—khususnya dalam level filsafat makna—sudah ada yang mulai bertumpang tindih dengan level awal ontologi makrifah.
Ontologi makrifat, sebagaimana arti dasarnya lebih mengacu kepada wilayah-wilayah yang dapat dikatakan asing (unknown) bagi para ahli ilmu pengetahuan (saintis).
Meskipun demikian, sesungguhnya para saintis tidak bisa serta merta menafikan keberadaan ontologi keilmuan makrifat karena secara de facto banyak peristiwa yang diungkap oleh pengetahuan makrifat sulit dibantah oleh para saintis.
Sebutlah contoh tentang efek keberadaan Tuhan yang dulu dinafikan oleh para saintis positifisme, tetapi di dalam era post-modernisme mulai diberi ruang. Terakhir para saintis dalam era New Age tidak bisa menyembunyikan adanya Godspot di dalam diri manusia. Kini para ilmuwan modern, sesekuler apa pun mereka, tidak dapat lagi terus menerus “menyerang” kaum agamawan (baca: agnostic) karena mereka sendiri meragukan dirinya sendiri.
Secara kebahasaan kata ‘ilm berasal dari akar kata alima ya’lamu yang berarti mengetahui, seakar kata dengan ‘alam berarti tanda, petunjuk, bendera; ‘alamah berarti alamat atau suatu tanda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).
Alam adalah tanda menunjuk kepada (adanya) Allah SWT. Alam juga sekaligus memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang Allah SWT. Dari segi kebahasaan dapat ditangkap makna ‘ilm dan ‘alam memiliki konotasi fisik dan mekanik (hushuli).
Sedangkan makrifah berasal dari kata ‘arafa yurif memiliki berbagai makna yang lahir dari padanya, antara lain mengetahui dan mengenal lebih dalam (i’rfah), pengakuan dosa (i’tiraf), wuquf di Arafah (‘arrafah al-hujjaj), padang Arafah (‘arafat), tempat antara surga dan neraka (a’raf), bersetubuh (‘arafah al-ma’ah), saling mengenal satu sama lain (ta’aruf), warisan tradisi lama yang positif (‘urf), terkenal, masyhur (ma’ruf), ilmu pengetahuan luas (ma’arif), dan pengetahuan yang mendalam dan komperhensif (‘irfan, ma’rifah). Dari segi kebahasaan dapat difahami makna ma’rifah memiliki konotasi lebih tinggi dan agung (hudhuri).
Dengan perbedaan tersebut maka dengan sendirinya antara ilmu dan makrifat memiliki ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa difahami melalui perbedaan antara ilmu-ilmu hushuli dan ilmu-ilmu hudhuri.
Secara ontologi, ilmu (‘ilm) masih lebih banyak berkutat pada wilayah logika manusia. Referensi yang digunakan untuk memahami ilmu juga masih bersifat fisik dan visual, meskipun dalam tingkatannya yang lebih tinggi—khususnya dalam level filsafat makna—sudah ada yang mulai bertumpang tindih dengan level awal ontologi makrifah.
Ontologi makrifat, sebagaimana arti dasarnya lebih mengacu kepada wilayah-wilayah yang dapat dikatakan asing (unknown) bagi para ahli ilmu pengetahuan (saintis).
Meskipun demikian, sesungguhnya para saintis tidak bisa serta merta menafikan keberadaan ontologi keilmuan makrifat karena secara de facto banyak peristiwa yang diungkap oleh pengetahuan makrifat sulit dibantah oleh para saintis.
Sebutlah contoh tentang efek keberadaan Tuhan yang dulu dinafikan oleh para saintis positifisme, tetapi di dalam era post-modernisme mulai diberi ruang. Terakhir para saintis dalam era New Age tidak bisa menyembunyikan adanya Godspot di dalam diri manusia. Kini para ilmuwan modern, sesekuler apa pun mereka, tidak dapat lagi terus menerus “menyerang” kaum agamawan (baca: agnostic) karena mereka sendiri meragukan dirinya sendiri.
Mestikah Manusia Bertasawuf? (3-habis)
Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau
tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang
setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka
sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.
Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.
Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.
Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.
Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.
Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.
Haruskan bertasawuf?
Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.
Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.
Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.
Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.
Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.
Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.
Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.
Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.
Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.
Haruskan bertasawuf?
Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.
Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.
Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.
Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.
Mestikah Manusia Bertasawuf? (2)
Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami
globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan,
termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual,
tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.
Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.
Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.
Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.
Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.
Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.
Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.
Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.
Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.
Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.
Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.
Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.
Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.
Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.
Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.
Mestikah Manusia Bertasawuf? (1)
Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq
Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik
Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat(Imam Malik)
Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.
Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?
Apa itu tasawuf?Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.
Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.
Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.
Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.
Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.
Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik
Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat(Imam Malik)
Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.
Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?
Apa itu tasawuf?Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.
Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.
Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.
Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.
Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.
Menelusuri Sejarah Ketatanegaraan Islam (Bag 3-habis)
Setelah berakhirnya era kepemimipin Khulafa ar-Rasyidin, Mu'awiyah tampil sebagai khalifah, tanpa melalui prosedur musyawarah, tetapi melalui kemampuan upaya pribadi dan pendukungnya. Ia merintis sistem monarki atau kerajaan dengan jabatan kepala negara yang turun temurun, dimulai dari penunjukkan Yazid, anaknya, sebagai calon penggantinya.
Sistem pemerintahan monarki yang dirintis oleh Mu'awiyah ini terus berlangsung hingga Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah institusi pemerintahan dikembangkan dan pengaruh asing masuk ke dalam tata pemerintahan umat Islam. Mu'awiyah (pendiri Dinasti Umayyah) banyak memakai pola pemerintahan dari Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur).
Berbagai formalitas dan peraturan protokoler mulai diberlakukan. Jabatan Hajib (kepala protokoler istana) diadakan. Ia bertugas mengatur pertemuan atau audiensi dengan khalifah, baik bagi para pejabat tinggi negara maupun anggota masyarakat atau tamu luar.
Sejak Pemerintahan Dinasti Abbasiyah runtuh pada tahun 1258 setelah dikalahkan dan dihancurkan oleh bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan. Sejak itu, dunia Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh seluruh umat Islam.
Sistem pemerintahan monarki yang dirintis oleh Mu'awiyah ini terus berlangsung hingga Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah institusi pemerintahan dikembangkan dan pengaruh asing masuk ke dalam tata pemerintahan umat Islam. Mu'awiyah (pendiri Dinasti Umayyah) banyak memakai pola pemerintahan dari Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur).
Berbagai formalitas dan peraturan protokoler mulai diberlakukan. Jabatan Hajib (kepala protokoler istana) diadakan. Ia bertugas mengatur pertemuan atau audiensi dengan khalifah, baik bagi para pejabat tinggi negara maupun anggota masyarakat atau tamu luar.
Sejak Pemerintahan Dinasti Abbasiyah runtuh pada tahun 1258 setelah dikalahkan dan dihancurkan oleh bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan. Sejak itu, dunia Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh seluruh umat Islam.
Menelusuri Sejarah Ketatanegaraan Islam (Bag 2)
Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara, mengungkapkan, belum genap dua tahun dari kedatangan Nabi SAW di kota Madinah, Nabi SAW memaklumkan piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas yang majemuk itu. Piagam tersebut kemudian dikenal dengan Piagam Madinah.
Dr Muhammad Hamidullah, menyebutnya al-Qanun li ad-Daulah al-Baladiyah bi al-Madinah (Undang-Undang Dasar Negara Kota Madinah). Sedangkan, orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat, William Montgomery Watt, menyebut Piagam Madinah itu The Constitution of Medina. Watt dan Hamidullah membagi naskah piagam itu menjadi 47 pasal. Bahkan, Watt menambahkan bahwa dokumen ini diakui autentik secara umum.
Adanya Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah merupakan salah satu bukti bahwa pada masa Rasulullah SAW telah terbentuk negara yang merupakan negara pertama dalam sejarah ketatatnegaraan umat Islam.
Muhammad Hamidullah dalam bukunya Majmu'ah al-Wasa'iq al-Siyasiyyah li al-'Ahd an-Nabawi wa al-Khilafah al-Rasyidah, memaparkan, negara Madinah yang awalnya berbentuk kota, makin lama makin bertambah luas. Menurut dia, wilayah Madinah dikuasai dan dipimpin secara efektif oleh Muhammad SAW selaku kepala negara dan Rasul atau utusan Allah SWT untuk menanamkan dan menyebarluaskan agama Islam.
Dalam Ensiklopedia Britannica, disebutkan unsur esensial pembentukan sebuah negara ada tiga, yaitu wilayah atau teritorial, rakyat, dan pemerintah. Ketiga unsur ini telah terpenuhi pada masa hidup Nabi Muhammad SAW di Madinah dan bahkan sudah dilengkapi dengan konstitusi, yaitu Piagam atau Konstitusi Madinah.
Munawir menambahkan, banyak pemimpin dan pakar ilmu politik Islam menganggap Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama, yang didirikan Nabi SAW di kota Madinah. Piagam ini juga dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia.
Piagam Madinah adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam. Piagam ini merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam dan hubungannya dengan umat yang lain. Karenanya tak mengherankan jika masyarakat majemuk Madinah pada masa itu dapat hidup berdampingan dengan damai.
Sebagai kepala negara, Nabi SAW amat gemar berkonsultasi atau musyawarah dengan para pengikutnya dalam kaitannya dengan pengelolaan urusan negara sehari-hari. Tradisi ini selepas wafatnya Nabi SAW terus dilestarikan oleh para Khulafa ar-Rasyidin.
Tradisi musyawarah ini juga diterapkan pada saat memilih pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal Nabi SAW. Munawir Sjadzali menyatakan, dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib, maka berakhirlah satu era pemerintahan di lingkungan umat Islam yang menjalankan tradisi pengisian jabatan kepala negara dilakukan melalui musyawarah.
Dr Muhammad Hamidullah, menyebutnya al-Qanun li ad-Daulah al-Baladiyah bi al-Madinah (Undang-Undang Dasar Negara Kota Madinah). Sedangkan, orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat, William Montgomery Watt, menyebut Piagam Madinah itu The Constitution of Medina. Watt dan Hamidullah membagi naskah piagam itu menjadi 47 pasal. Bahkan, Watt menambahkan bahwa dokumen ini diakui autentik secara umum.
Adanya Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah merupakan salah satu bukti bahwa pada masa Rasulullah SAW telah terbentuk negara yang merupakan negara pertama dalam sejarah ketatatnegaraan umat Islam.
Muhammad Hamidullah dalam bukunya Majmu'ah al-Wasa'iq al-Siyasiyyah li al-'Ahd an-Nabawi wa al-Khilafah al-Rasyidah, memaparkan, negara Madinah yang awalnya berbentuk kota, makin lama makin bertambah luas. Menurut dia, wilayah Madinah dikuasai dan dipimpin secara efektif oleh Muhammad SAW selaku kepala negara dan Rasul atau utusan Allah SWT untuk menanamkan dan menyebarluaskan agama Islam.
Dalam Ensiklopedia Britannica, disebutkan unsur esensial pembentukan sebuah negara ada tiga, yaitu wilayah atau teritorial, rakyat, dan pemerintah. Ketiga unsur ini telah terpenuhi pada masa hidup Nabi Muhammad SAW di Madinah dan bahkan sudah dilengkapi dengan konstitusi, yaitu Piagam atau Konstitusi Madinah.
Munawir menambahkan, banyak pemimpin dan pakar ilmu politik Islam menganggap Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama, yang didirikan Nabi SAW di kota Madinah. Piagam ini juga dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia.
Piagam Madinah adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam. Piagam ini merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam dan hubungannya dengan umat yang lain. Karenanya tak mengherankan jika masyarakat majemuk Madinah pada masa itu dapat hidup berdampingan dengan damai.
Sebagai kepala negara, Nabi SAW amat gemar berkonsultasi atau musyawarah dengan para pengikutnya dalam kaitannya dengan pengelolaan urusan negara sehari-hari. Tradisi ini selepas wafatnya Nabi SAW terus dilestarikan oleh para Khulafa ar-Rasyidin.
Tradisi musyawarah ini juga diterapkan pada saat memilih pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal Nabi SAW. Munawir Sjadzali menyatakan, dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib, maka berakhirlah satu era pemerintahan di lingkungan umat Islam yang menjalankan tradisi pengisian jabatan kepala negara dilakukan melalui musyawarah.
Menelusuri Sejarah Ketatanegaraan Islam (Bag 1)
iagam Madinah dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia.
Gelora revolusi terus menghinggapi negara-negara Islam di Semenanjung Arab dan Maghribi. Rakyat di sejumlah negara berpenduduk Muslim di wilayah itu menuntut perubahan sistem pemerintahan dan kepemimpinan. Ada yang menginginkan demokrasi dan ada pula yang ingin kembali menerapkan sistem pemerintahan Islam.
Lalu seperti apakah sebenarnya sistem pemerintahan dalam Islam itu? Menurut Prof Ahmad Sukardja dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran, sistem pemerintahan Islam sudah dimulai pada era Rasulullah SAW. Sebagai utusan Allah SWT, Muhammad SAW bertugas menyampaikan wahyu, menyebarluaskan Islam, dan memimpin masyarakat Islam.
Pada periode Madinah, Rasulullah SAW mulai menata kehidupan bermasyarakat hingga kehidupan bernegara. Semua pemikir Muslim sepakat bahwa Madinah merupakan contoh negara Islam pertama. Kehidupan bernegara yang dibangun oleh umat Islam generasi pertama itu dimulai ketika Nabi SAW dan umat Islam hijrah ke Yatsrib – kini Madinah.
Di kota Madinah itulah lahir komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi SAW. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin, Muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah dan kaum Anshar, Muslimin penduduk asli Madinah.
Selain umat Islam, waktu itu di kota Madinah dan sekitarnya terdapat komunitas lain, yaitu kelompok Yahudi dan suku Arab yang belum memeluk Islam. Dengan banyaknya komunitas yang berbeda itu, maka masyarakata Madinah adalah masyarakat yang majemuk.
Di bawah kendali dan kepemimpinan Rasulullah SAW, umat Islam di Madinah kemudian membentuk kesatuan hidup politik di tengah masyarakat yang majemuk. Menurut Prof Sukardja, saat itu, belum ada teori politik yang dijadikan dasar dan dipraktikkan oleh Nabi SAW dan umat Islam dalam menjalankan sistem kehidupan bernegara.
‘’Yang terjadi di lapangan pada masa itu adalah praktik politik dalam bentuk perwujudan potensi dan etika politik yang terkandung dalam Alquran dan kebijaksanaan Nabi SAW. Praktik politik seperti itu dilanjutkan oleh para sahabat setelah Nabi SAW wafat,’’ paparnya.
Gelora revolusi terus menghinggapi negara-negara Islam di Semenanjung Arab dan Maghribi. Rakyat di sejumlah negara berpenduduk Muslim di wilayah itu menuntut perubahan sistem pemerintahan dan kepemimpinan. Ada yang menginginkan demokrasi dan ada pula yang ingin kembali menerapkan sistem pemerintahan Islam.
Lalu seperti apakah sebenarnya sistem pemerintahan dalam Islam itu? Menurut Prof Ahmad Sukardja dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran, sistem pemerintahan Islam sudah dimulai pada era Rasulullah SAW. Sebagai utusan Allah SWT, Muhammad SAW bertugas menyampaikan wahyu, menyebarluaskan Islam, dan memimpin masyarakat Islam.
Pada periode Madinah, Rasulullah SAW mulai menata kehidupan bermasyarakat hingga kehidupan bernegara. Semua pemikir Muslim sepakat bahwa Madinah merupakan contoh negara Islam pertama. Kehidupan bernegara yang dibangun oleh umat Islam generasi pertama itu dimulai ketika Nabi SAW dan umat Islam hijrah ke Yatsrib – kini Madinah.
Di kota Madinah itulah lahir komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi SAW. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin, Muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah dan kaum Anshar, Muslimin penduduk asli Madinah.
Selain umat Islam, waktu itu di kota Madinah dan sekitarnya terdapat komunitas lain, yaitu kelompok Yahudi dan suku Arab yang belum memeluk Islam. Dengan banyaknya komunitas yang berbeda itu, maka masyarakata Madinah adalah masyarakat yang majemuk.
Di bawah kendali dan kepemimpinan Rasulullah SAW, umat Islam di Madinah kemudian membentuk kesatuan hidup politik di tengah masyarakat yang majemuk. Menurut Prof Sukardja, saat itu, belum ada teori politik yang dijadikan dasar dan dipraktikkan oleh Nabi SAW dan umat Islam dalam menjalankan sistem kehidupan bernegara.
‘’Yang terjadi di lapangan pada masa itu adalah praktik politik dalam bentuk perwujudan potensi dan etika politik yang terkandung dalam Alquran dan kebijaksanaan Nabi SAW. Praktik politik seperti itu dilanjutkan oleh para sahabat setelah Nabi SAW wafat,’’ paparnya.
Sabtu, 25 Februari 2012
Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Pengetahuan tentang Diri (6-habis)
Manusia dengan tepat disebut sebagi 'alamushshaghir' atau jasad-kecil di dalam dirinya.
Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang-orang yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan. Sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetahuan tentang jasad kita dan fungsi-fungsinya.
Jasad bisa diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia tidak mengetahui jiwanya sendiri—yang merupakan sesuatu yang paling dekat dengannya—maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain. Kalau demikian, ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Seseorang yang mengabaikannya dan menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang kalah di dunia ini dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk yang paling lemah di antara segalanya—takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin dan penderitaan.
Sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan kesusahan dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekedar suatu kekacauan kecil saja di dalam otaknya, sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila.
Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia sudah akan gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi oleh kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai, jika dengan sarana "kimia kebahagiaan" tersebut ia meningkat dari tingkat hewan ke tingkat malaikat. Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih buruk dari orang-orang biadab yang pasti musnah dan menjadi debu. Perlu baginya untuk—bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan keunggulannya sebagai makhluk terbaik—belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya, karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang Tuhan.
Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang-orang yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan. Sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa di dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetahuan tentang jasad kita dan fungsi-fungsinya.
Jasad bisa diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seorang manusia tidak mengetahui jiwanya sendiri—yang merupakan sesuatu yang paling dekat dengannya—maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain. Kalau demikian, ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Seseorang yang mengabaikannya dan menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang kalah di dunia ini dan di dunia mendatang. Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih kemajuan. Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk yang paling lemah di antara segalanya—takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin dan penderitaan.
Sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan kesusahan dan kesulitan. Mengenai inteleknya, sekedar suatu kekacauan kecil saja di dalam otaknya, sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila.
Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa mengganggu rasa santai dan tidurnya. Mengenai tabiatnya, dia sudah akan gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi oleh kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina. Hanya di dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai, jika dengan sarana "kimia kebahagiaan" tersebut ia meningkat dari tingkat hewan ke tingkat malaikat. Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih buruk dari orang-orang biadab yang pasti musnah dan menjadi debu. Perlu baginya untuk—bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan keunggulannya sebagai makhluk terbaik—belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya, karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang Tuhan.
Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Pengetahuan tentang Diri (5)
Kesalahan dari jenis lain, berlawanan dengan itu, dibuat oleh orang-orang yang dangkal yang—dengan menggemakan beberapa ungkapan yang mereka tangkap dari guru-guru Sufi—ke sana kemari menyebarkan kutukan terhadap semua pengetahuan.
Ia bagaikan seseorang yang tidak cakap di bidang kimia menyebarkan ucapan, "Kimia lebih baik dari emas," dan menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tapi para ahli kimia sejati amatlah langka, demikian pula sufi-sufi sejati.
Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf, tidak lebih unggul daripada seorang yang terpelajar. Demikian pula seseorang yang baru mencoba beberapa percobaan kimia, tidak punya alasan untuk merendahkan seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan memang terkait dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara yang selaras.
Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran, karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri. Bahkan soal-soal remeh, seperti mempelajari catur, juga mengandung kebaikan. Dan makin tinggi materi subyek pengetahuan didapatnya, makin besarlah kesenangannya. Seseorang akan senang jika dipercayai untuk jabatan Perdana Menteri, tetapi betapa lebih senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal rahasia baginya.
Seorang ahli astronomi yang dengan pengetahuannya bisa memetakan bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak kenikmatan dari pengetahuannya dibanding seorang pemain catur. Setelah mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Allah, maka betapa akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati tentang-Nya itu!
Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat, atau yang untuk hidupnya lebih menyukai makan lempung daripada roti. Semua nafsu badani musnah pada saat kematian bersamaan dengan kematian organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut. Tetapi jiwa tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah menambahnya.
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan pada kita kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasan-Nya, Ia bangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu tetesan belaka.
Kebijakan-Nya terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita serta kemampuan bagian-bagiannya untuk saling menyesuaikan. Ia perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih dari sekadar organ-organ yang memang mutlak perlu bagi eksistensi—seperti hati, jantung dan otak—tetapi juga yang tidak mutlak perlu seperti tangan, kaki, lidah dan mata. Kepada semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut, merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata.
Ia bagaikan seseorang yang tidak cakap di bidang kimia menyebarkan ucapan, "Kimia lebih baik dari emas," dan menolak emas ketika ditawarkan kepadanya. Kimia memang lebih baik dari emas, tapi para ahli kimia sejati amatlah langka, demikian pula sufi-sufi sejati.
Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf, tidak lebih unggul daripada seorang yang terpelajar. Demikian pula seseorang yang baru mencoba beberapa percobaan kimia, tidak punya alasan untuk merendahkan seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa kebahagiaan memang terkait dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan. Syahwat senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam, mata senang melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara yang selaras.
Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran, karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri. Bahkan soal-soal remeh, seperti mempelajari catur, juga mengandung kebaikan. Dan makin tinggi materi subyek pengetahuan didapatnya, makin besarlah kesenangannya. Seseorang akan senang jika dipercayai untuk jabatan Perdana Menteri, tetapi betapa lebih senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal rahasia baginya.
Seorang ahli astronomi yang dengan pengetahuannya bisa memetakan bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak kenikmatan dari pengetahuannya dibanding seorang pemain catur. Setelah mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Allah, maka betapa akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati tentang-Nya itu!
Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat, atau yang untuk hidupnya lebih menyukai makan lempung daripada roti. Semua nafsu badani musnah pada saat kematian bersamaan dengan kematian organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut. Tetapi jiwa tidak. Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah menambahnya.
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan pada kita kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasan-Nya, Ia bangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu tetesan belaka.
Kebijakan-Nya terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita serta kemampuan bagian-bagiannya untuk saling menyesuaikan. Ia perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih dari sekadar organ-organ yang memang mutlak perlu bagi eksistensi—seperti hati, jantung dan otak—tetapi juga yang tidak mutlak perlu seperti tangan, kaki, lidah dan mata. Kepada semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut, merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata.
Langganan:
Postingan (Atom)