Ilmu tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu
ilmu tauhid (ushuluddin), ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ilmu tauhid
untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai
keTuhanan, kerasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya.
Ilmu
fiqih bertugas membahas soal-soal ibadah lahir, seperti shalat, puasa,
zakat, haji dan lain-lain. Ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang
bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu
cara-cara ikhlas, khusyuk, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha,
tawakal dan lain-lain. Ringkasnya, tauhid takluk kepada i’tiqad, fiqih
takluk kepada ibadah, dan tasawuf takluk kepada akhlak.
Kepada
setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur
dalam ilmu tauhid (ushuluddin), supaya beribadah sebagaimana yang diatur
dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.
Agama
kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan.
Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut: Pada suatu hari kami (Umar
bin Khathab dan para sahabat) duduk-duduk bersama Rasulullah SAW. Lalu
muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam
sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorang pun
dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah SAW.
Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dan kedua
telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah SAW, seraya
berkata, "Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam."
Lalu
Rasulullah SAW menjawab, "Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu."
Kemudian dia bertanya lagi, "Kini beritahu aku tentang iman."
Rasulullah
Saw menjawab, "Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada qadhar
baik dan buruknya."
Orang itu lantas berkata, "Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan."
Rasulullah
berkata, "Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.
Walaupun engkau tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihatmu."
Dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang As-Sa’ah (azab kiamat)."
Rasulullah menjawab, "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."
Kemudian dia bertanya lagi, "Beritahu aku tentang tanda-tandanya."
Rasulullah
menjawab, "Seorang budak wanita melahirkan tuannya. Orang-orang tanpa
sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing
berlomba membangun gedung-gedung bertingkat."
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.
Lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, "Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?"
Lalu aku (Umar) menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui."
Rasulullah SAW lantas berkata, "Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian." (HR Muslim)
Tentang
Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syariat lahir.
Umpamanya shalat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan,
peradilan, peperangan, perdamaian dan lainnya.
Tentang iman kita
dapat temukan dalam ilmu tauhid (ushuluddin), sasarannya i’tiqad
(akidah/kepercayaan). Umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati)
terhadap Tuhan, malaikat-malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab suci,
kampung akhirat, hari kebangkitan, surga, neraka, qadha dan qadhar
(takdir).
Tentang ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasawuf.
Sasarannya akhlak, budi pekerti, batin yang bersih, bagaimana menghadapi
Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran
yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan,
bagaimana takhalli, tahalli dan tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang
dengan tasawuf.
Setiap Muslim harus mengetahui tiga unsur ini
sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya
sehari-hari. Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari
buku-buku, tulisan atau dalam jamaah, manhaj, metode atau jalan.
Waspadalah jika jamaah yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu
karena akan memungkinkan ketidaksempurnaan hasil yang akan dicapai.
Ilmu
tasawuf itu tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Nabi dan
bahkan Alquran dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya. Andaikata
ada kelihatan orang-orang tasawuf yang menyalahi syariat, umpamanya ia
tidak shalat, tidak shalat Jumat ke masjid atau shalat tidak berpakaian,
makan siang hari pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang tasawuf dan
jangan kita dengarkan ocehannya.
Imam Abu Yazid Al-Busthami
berkata, "Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia
terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia
melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan
membayarkan sekalian kewajiban syariat."
Syekh Abu Al-Hasan
Asy-Syadzili berujar, "Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan
Alquran dan hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada
Alquran dan hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko
dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau
musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Alquran dan hadits."
Jadi
syarat untuk mendalami ilmu tasawuf (tentang ihsan) terlebih dahulu
harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid/ushuluddin
(tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketakwaan kita.
Mulai
sebagai Muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita
ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan. Orang-orang yang
paham dan mengamalkan ilmu tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.
Syekh
Abu Al-Abbas mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal
kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata
shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang saleh terbuat
dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari
shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah SAW. yang didiami para ahli
shuffah.
Menurutnya Al-Abbas, kedua definisi ini tidak tepat. Ia
mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada
manusia. Maksudnya, "shafahu Allah", yakni Allah menyucikannya sehingga
ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih
lanjut Syekh Abu Al-Abbas mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya. Huruf shad berarti
shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu
(kesuciannya). Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu
(cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya). Huruf fa’ berarti fadquhu
(kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu (kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah
sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat
Tuhannya. Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka
mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri
karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat
qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada
apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Allah SWT berfirman: "...Sekiranya
kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada
seorang pun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar)
selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki.." (QS An-Nuur: 21)
"Sesungguhnya
Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka)
akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri
akhirat." (QS Shaad: 46)
"Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (QS Shaad: 47)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar