Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih dalam makna seruan-seruan yang melekat di bibir orang-orang Mukmin: "Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu Akbar."
Mengenai
yang terakhir, kita bisa berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa
Allah lebih besar dari penciptaan, karena penciptaan adalah
pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari.
Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari lebih besar
dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah
sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa kita hanya bisa
membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya.
Jika
seorang anak meminta kita untuk menerangkan padanya
kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa
berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang ia
rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun
pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa
keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan.
Jadi, seruan Allahu Akbar
berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita.
Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti
itu—sebagaimana yang bisa kita peroleh—bukanlah sekadar suatu
pengetahuan spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan
dan ibadah.
Jika seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya
dengan Allah saja. Dan jika kita harus hidup bersama seseorang,
kebahagiaan kita sama sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita
rasakan kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada
Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah.
Ibadah dan
dzikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu tingkat
tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah. Hal ini
tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan
nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras manusia
akan musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti dikenakan pada
usaha pemuasannya.
Dan karena manusia bukan hakim yang terbaik
dalam kasusnya sendiri, maka untuk menetapkan batasan-batasan apa yang
harus dikenakan itu, sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada
pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti
itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar
wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam
persoalan-persoalan ini.
Orang yang melanggar batas-batas ini
berarti "telah menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di
dalam Alquran. Meskipun pernyataan Alquran ini telah jelas, masih ada
juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar
batas-batas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar