(Oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata:
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah
meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”
(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu).
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah
meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”
(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu).
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh (dengan beberapa syawahidnya). Diriwayatkan oleh:
- At-Tirmidzi, no. 2317.
- Ibnu Mâjah, no. 3976.
- Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, XIV/320, no. 4132.
- Ibnu Hibbân, no. 229 - at-Ta’lîqâtul Hisân.
-
Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ‘ (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at- Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229).
SYARAH HADITS
Hadits di atas merupakan salah satu
prinsip dari prinsip-prinsip adab dan etika yang agung. Imam Abu ‘Amr
bin Shalâh rahimahullâh menceritakan dari Abu Muhammad bin Abi Zaid
rahimahullâh, imam madzhab Mâliki pada masanya, bahwa ia berkata:
“Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits:
-
Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Barang siapa beriman kepada Allâh Ta'ala dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam’,
-
Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya’,
-
Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang ringkas kepada orang yang meminta wasiat kepadanya, ‘Janganlah engkau marah’, dan
-
Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya’.”[1]
Makna hadits ini, bahwasanya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya. Dia hanya mencukupkan diri dengan berbagai perkataan dan perbuatan yang bermanfaat baginya. Makna
“ya’nîhi” dalam hadits ini, ialah perhatian (inâyah)nya tertuju
padanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Makna
al-inâyah, ialah perhatian yang lebih terhadap sesuatu. Seseorang
meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, dan tidak ia
inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan keinginan jiwa, namun
karena pertimbangan syari’at Islam. Oleh karena itu, beliau menjadikan
sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya.
Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia meninggalkan
ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam,
karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajibankewajiban
seperti yang telah dijelaskan dalam hadits Jibril radhiyallâhu'anhu (hadits ke-2 kitab al-Arba’în) dan hadits-hadits yang lainnya. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
… Berkemauan keraslah kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu,
dan minta tolonglah kepada Allâh Ta'ala
dan janganlah bersikap lemah….”[2]
dan minta tolonglah kepada Allâh Ta'ala
dan janganlah bersikap lemah….”[2]
Para Ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud
meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfat, sebagian besar ditujukan
kepada menjaga lisan (lidah), dari perkataan yang sia-sia. Prinsip yang
mendasar ialah meninggalkan hal-hal yang diharamkan dalam Islam,
sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Seorang muslim, ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya;
dan orang yang hijrah, ialah orang yang meninggalkan apa yang Allâh larang.[3]
dan orang yang hijrah, ialah orang yang meninggalkan apa yang Allâh larang.[3]
Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia akan
meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya; baik itu hal-hal
yang diharamkan, syubhat, makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang
tidak dibutuhkan, karena itu semua tidak bermanfaat bagi seorang
Muslim. Jika keislaman seseorang telah baik dan mencapai tingkatan
ihsân, maka ketika beribadah kepada Allâh Ta'ala seolah-olah ia
melihat-Nya, dan jika ia tidak melihat-Nya maka Allâh Ta'ala melihatnya.
Maka, barang-siapa beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan mengingat
kedekatan-Nya dan penglihatannya kepada Allâh Ta'ala dengan hatinya atau
mengingat kedekatan dan penglihatan Allâh Ta'ala kepadanya, sungguh
keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang
tidak bermanfaat baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal
yang bermanfaat baginya.
Kedua kedudukan itu membuahkan sifat malu kepada
Allâh Ta'ala Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu
kepada-Nya. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda:
Hendaklah kalian malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu.
Barang siapa yang malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu,
hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya,
dan hendaklah ia selalu mengingat kematian dan kehancuran badan.
Barang siapa menginginkan kehidupan akhirat,
hendaklah meninggalkan perhiasan dunia,
dan barang siapa melakukan hal itu,
sungguh, ia telah malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu.[4]
Barang siapa yang malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu,
hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya,
dan hendaklah ia selalu mengingat kematian dan kehancuran badan.
Barang siapa menginginkan kehidupan akhirat,
hendaklah meninggalkan perhiasan dunia,
dan barang siapa melakukan hal itu,
sungguh, ia telah malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu.[4]
Salah seorang yang arif mengatakan “jika
engkau berbicara, ingatlah pendengaran Allâh Ta'ala terhadapmu. Jika
engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu”.[5]
Hal ini telah diisyaratkan oleh Al-Qur`ân di banyak tempat, misalnya firman Allâh Ta’ala:
Tidak ada satu kata yang diucapkannya,
melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).
(Qs. Qâf/50:18)
melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).
(Qs. Qâf/50:18)
Firman Allâh Ta'ala :
Ataukah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?
Sebenarnya (Kami mendengar),
dan utusan-utusan Kami (para Malaikat) selalu mencatat di sisi mereka.
(Qs. az-Zukhruf/43:80)
Sebenarnya (Kami mendengar),
dan utusan-utusan Kami (para Malaikat) selalu mencatat di sisi mereka.
(Qs. az-Zukhruf/43:80)
Banyak manusia tidak membandingkan antara ucapannya
dan perbuatannya. Akibatnya, ia bicara ngawur, sia-sia, tidak
bermanfaat, dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui oleh
Sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallâhu'anhu, ketika ia bertanya kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Apakah kita juga akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
“Wahai Mu’adz! Semoga ibumu selamat.
Tidak ada yang membuat manusia tertelungkup di atas wajahnya di neraka,
melainkan disebabkan hasil lidah mereka”.[6]
Tidak ada yang membuat manusia tertelungkup di atas wajahnya di neraka,
melainkan disebabkan hasil lidah mereka”.[6]
Allâh Ta’ala menegaskan, tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan manusia di antara mereka. Allâh Ta'ala berfirman:
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka,
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah,
atau berbuat kebaikan,
atau mengadakan perdamaian di antara manusia.(Qs. an-Nisâ‘/4:114)
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah,
atau berbuat kebaikan,
atau mengadakan perdamaian di antara manusia.(Qs. an-Nisâ‘/4:114)
Dan hadits ini menunjukkan, bahwasanya meninggalkan
hal-hal yang tidak bermanfaat termasuk bagian dari kebaikan keislaman
seseorang. Jika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dan
mengerjakan apa yang bermanfaat baginya, sungguh, telah sempurnalah
kebaikan keislamannya.
Imam an-Nawawi rahimahullâh
(wafat th. 676 H) berkata: “Ketahuilah bahwa seorang mukallaf (yang
telah dibebani hukum syari’at/sudah baligh) seharusnya dapat menjaga
lisannya untuk tidak berbicara, kecuali untuk hal-hal yang benar-benar
bermanfaat. Apabila menurut pertimbangannya kemaslahatan antara diam dan
berbicara adalah sama, maka menurut petunjuk Sunnah, ia lebih baik
mengambil sikap diam. Sebab, pembicaraan yang mubah (boleh) terkadang
bisa membawa kepada perbuatan haram atau makruh. Yang demikian banyak
sekali terjadi (menjadi kebiasaan). Ingat, mencari selamat adalah
sesuatu keberuntungan yang tiada taranya. (Kitab Riyâdush-Shâlihîn, Bab
Tahrîmil-Ghîbah wal-’Amri bi Hifzhil-Lisân).
Apabila seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak
bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka baiklah
keislamannya. Apabila ia baik keislamannya, maka akan dilipatgandakan
kebaikannya.
Banyak sekali hadits yang menerangkan tentang
seseorang yang baik keislamannya, kebaikan-kebaikannya dilipat-gandakan,
adapun kesalahan-kesalahannya dihapuskan. Dan yang nampak, bahwa
pelipat-gandaan kebaikan itu sangat ditentukan dari baik atau tidaknya
keislaman seseorang. Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya,
maka setiap kebaikan yang dia kerjakan
ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat,
dan setiap kesalahan yang dilakukannya
ditulis dengan kesalahan yang sama
hingga dia bertemu dengan Allâh Ta'ala. [7]
maka setiap kebaikan yang dia kerjakan
ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat,
dan setiap kesalahan yang dilakukannya
ditulis dengan kesalahan yang sama
hingga dia bertemu dengan Allâh Ta'ala. [7]
Satu kebaikan dilipat-gandakan hingga
sepuluh kali lipat merupakan suatu kepastian. Pelipat-gandaan kebaikan
itu sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat,
dan kebutuhan kepada amal tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang
dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah
kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan saat-saat di
mana nafkah diperlukan.[8]
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Apabila seorang hamba masuk Islam lalu baik keislamannya,
Allâh Ta'ala menulis baginya setiap kebaikan yang pernah dia kumpulkan
dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah dia kumpulkan.
Setelah itu yang terjadi ialah qisash;
satu kebaikan dilipat-gandakan dengan sepuluh kali lipat
dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat,
dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama
kecuali jika Allâh Ta'ala memaafkannya. [9]
Allâh Ta'ala menulis baginya setiap kebaikan yang pernah dia kumpulkan
dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah dia kumpulkan.
Setelah itu yang terjadi ialah qisash;
satu kebaikan dilipat-gandakan dengan sepuluh kali lipat
dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat,
dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama
kecuali jika Allâh Ta'ala memaafkannya. [9]
Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang
dikumpulkan pada hadits di atas, ialah kebaikan dan kesalahan yang
terjadi sebelum Islam. Ini menunjukkan, bahwa seseorang yang diberikan
pahala karena kebaikan-kebaikannya pada saat dia masih kafir, apabila
dia masuk Islam, dan kesalahannya dihapus apabila dia masuk Islam,
tetapi dengan syarat yaitu keislamannya baik, dan menjauhi berbagai
kesalahan itu setelah dia masuk Islam. Imam Ahmad rahimahullâh menegaskan hal ini.
Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam ash-Shahîhain dari Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami lakukan pada masa Jahiliyyah?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
Adapun seseorang dari kalian yang berbuat kebaikan dalam masa Islamnya,
dia tidak akan disiksa karenanya.
Namun barang siapa berbuat tidak baik,
dia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam.[10]
dia tidak akan disiksa karenanya.
Namun barang siapa berbuat tidak baik,
dia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam.[10]
Sahabat ‘Amr bin al-Ash radhiyallâhu'anhu, ketika masuk Islam ia berkata kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Aku ingin memberikan syarat!”
Beliau menjawab, “Engkau mensyaratkan apa?”
Aku menjawab, “Agar Allâh Ta'ala mengampuniku,”
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
menjawab: “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Islam menghapuskan apa
(kesalahan) yang sebelumnya?”
Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullâh disebutkan: “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya”.[11]
Dari Hakim bin Hizâm radhiyallâhu'anhu
berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang banyak hal
yang telah aku perbuat pada masa Jahiliyyah, berupa sedekah atau
membebaskan budak atau menyambung silaturahmi; apakah ada pahala
padanya?”
Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, “Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau perbuat”.[12]
Ini menunjukkan, bahwa kebaikan-kebaikan
orang kafir akan diberikan pahala apabila dia masuk Islam, dan apabila
baik keislamannya akan dilipat-gandakan pahalanya. Mudah-mudahan kita
termasuk orang yang sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat, dan menjauhkan
diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, dan mudah-mudahan keislaman
kita semakin menjadi baik.
FAWA‘ID HADITS
- Agama Islam menghimpun berbagai bentuk kebaikan, dan kebaikan-kebaikan Islam ini terhimpun dalam dua kata,
Allâh Ta'ala Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…
(Qs. an-Nahl/16:90) - Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, ialah dengan Syariat Islam.
- Perbuatan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak ada kaitannya dengan berbagai urusan dan kepentingannya, ini merupakan tanda kebaikan keislamannya.
- Orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka hal itu merupakan indikasi kekurangan dalam agamanya.
- Hendaklah seorang muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya sehingga merasa tenang. Sebab, bila ia disibukkan dengan urusan yang tidak penting dan tidak bermanfaat, akan membuat dirinya lelah.
- Hendaklah seorang muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Dan hal ini merupakan jalan selamat.
- Dianjurkan untuk menjauhi perkara-perkara yang rendah dan tidak bermanfaat.
- Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan menjauhkannya dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang mengotorinya.
- Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia dan sebagai tanda lemahnya keimanan, serta dapat menimbulkan perpecahan dan pemusuhan antara manusia.
- Hati dan lisan yang sibuk dengan berdzikir kepada Allâh Ta'ala Ta’ala sesuai dengan sunnah adalah hati yang tenang.
- Seorang muslim harus berfikir sebelum berkata dan berbuat, apakah perkataan dan perbuatannya bermanfaat ataukah tidak, bermanfaat tidak untuk dirinya, keluarganya, dan untuk Islam dan kaum muslimin menurut tolok ukur syari’at.
- Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah perkataan dan perbuatan yang bermanfaat, akan tetapi harus menurut ketentuan syariat.
- Apabila keislaman seseorang itu baik, maka akan dilipatgandakan pahalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar