Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami
globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan,
termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual,
tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.
Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat
penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad
ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami
perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.
Sebut
saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi
(w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H),
Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334
H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan
keenam, tasawuf kian berkembang.
Pada periode ini, lahir Imam
Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di
India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan,
apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia
Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.
Hal
yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah
mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin
ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah
beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi.
Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.
Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?Fenomena
kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas
menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif
taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas
menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan
dunia LSM.
Secara ekonomi mereka sudah berada pada post
basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi
kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan
berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar
belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.
Mereka
sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui
jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari
sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam
lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar