Dalam literatur Sunni, mungkin itu hanya bisa disebut ilham.
Keluarbiasaan yang dimiliki orang-orang tersebut bukanlah mukjizat,
melainkan kekeramatan (karamah).
Dalam ontologi Islam dapat
dibedakan. Ada tiga hal yang dapat dianggap luar biasa (khariq
al-‘adat), yaitu mukjizat, karamah, dan sihir.
Mukjizat adalah
perbuatan yang luar biasa yang muncul pada diri seorang nabi atau rasul.
Seperti Nabi Ibrahim yang bisa keluar dari lautan api tanpa sedikit pun
anggota badannya cedera, Nabi Musa membelah lautan, dan Nabi Isa
menghidupkan orang mati. Karamah adalah perbuatan luar biasa, tetapi
hanya muncul pada diri seorang wali.
Contohnya banyak, seperti
kehebatan yang ditunjukkan oleh Khidir dalam Alquran. Sedangkan sihir
adalah perbuatan luar biasa juga, tetapi lebih sederhana dan muncul pada
diri orang yang mempelajari ilmunya dengan tekun. Contohnya,
tukang-tukang sihir pada zaman Nabi Musa yang mendemonstrasikan sihir
ularnya.
Mereka akhirnya berakhir dengan tragis karena ular-ular
dan tukang sihirnya ditelan oleh tongkat musa yang menjelma menjadi ular
yang lebih hebat. Kepada para calon sufi atau sufi pemula, tak perlu
terkecoh dengan keajaiban seseorang. Sebab, mungkin saja itu adalah
tukang sihir atau seseorang yang memiliki kemampuan untuk memerintah
jin.
Meski demikian, tak bisa juga kita mengingkari bahwa ada
hamba-hamba Tuhan yang dikaruniai kedekatan sehingga ia diberi ilham dan
kekeramatan. Inilah yang perlu dicari dan diikuti. Para sufi pemula
juga tidak boleh terlalu yakin dengan bisikan-bisikan dan informasi gaib
yang muncul pada dirinya sebab belum tentu itu bisikan malaikat. Boleh
jadi itu bisikan setan.
Yang paling penting ialah keikhlasan
sejati seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa ada
motivasi duniawi sekecil apa pun. Kalaupun seandainya Allah SWT
memberikan kekhususan seperti apa yang pernah diberikan Tuhan kepada
kekasih-Nya yang lain, biarkanlah itu disimpan di dalam memorinya
sendiri.
Tak perlu hal itu digembar-gemborkan. Apalagi didasari
oleh dorongan keinginan untuk menjadi populer dan demi kepentingan
duniawi lainnya. Oleh karena itu, orang yang hendak menjalani kehidupan
sufistik harus belajar banyak, memilih pembimbing yang benar, dan tidak
boleh meninggalkan apalagi mengecilkan arti dan peran syariat. Jangan
sampai kita menginginkan kedekatan, tetapi yang diperoleh adalah
kesesatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar