Rawaim Ibnu Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat
makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu
maka akan tampak jelas Tuhannya.
Dzun Nun Al-Mishri melukiskan
orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifat seperti orang-orang
yang bergaul dengan Allah SWT.
Kata Al-Hallaj, “Jika seorang
hamba telah sampai kepada makrifatullah, maka Allah akan membisikkan
kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang
tidak benar.”
Abu Yazid Al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, "Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki."
Selanjutnya
ia menambahkan, “Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika
ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadah selain
kepada Allah."
Untuk urusan lebih teknik dalam memperoleh
makrifat, Ahmad Ibn Atha berkomentar, “Makrifat itu memiliki tiga rukun;
takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah.”
Jadi,
memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh
ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah
kebersihan batin. Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah an-nafs) dan keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.
Pada
dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan
makrifat. Hanya mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial, sehingga
mereka perlu berdzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan
kelompok ini antara lain fas’alu ahl al-dzikr inkuntum la ta’lamun (Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalian tidak tahu), Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tadzkirah, tashawwuf, tashwir, tadzkiyah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.
Menuntut
ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid),
sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam
tradisi pondok pesantren. Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan
seorang guru atau kiai, adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian
ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan ayat “Sebagaimana (Kami telah
menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul
di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunah), serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 151).
Perhatikan
ayat di atas, Allah SWT mengedepankan proses penyucian diri (tadzkiyah
al-nafs) baru proses pendidikan (ta’lim). Itulah sebabnya ilmu-ilmu yang
merupakan washilah untuk sampai ke pengetahuan makrifat
sebagaimana banyak dipraktikkan di lembaga-lembaga tarekat, seorang
murid sangat sayang pada guruhnya.
Mereka terkesan dengan sebuah qaul (pepatah), "al-ustadz amam al-murid ka al-nabiy amam al-shahabah (guru
di depan murid bagaikan nabi di depan sahabat)". Perilaku kritis
berlebihan dari seorang murid terhadap guru atau mursyidnya tidak pernah
terlihat di dalam pengalaman sehari-hari bagi para pencinta makrifat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar