Fenomena kelas menengah kota untuk memahami dan menjalani kehidupan sufistik semakin meningkat.
Namun,
masih perlu dipertanyakan, apakah itu sebagai reaksi terhadap pola
hidup yang semakin pragmatis dan materialistis? Mungkinkah itu buah dari
kesadaran yang lahir dari semakin luasnya kajian agama melalui berbagai
media?
Atau juga mungkin kedua-duanya, yaitu kerinduan terhadap
sejuknya pemahaman esoterisme yang dipicu keringnya pemahaman
eksoterisme keagamaan yang begitu dominan selama ini?
Untuk
mengantisipasi hal tak sejalan dengan keluhuran ajaran Islam, mereka
yang memilih menjalani kehidupan spiritual-sufistik (baca: sufi pemula)
perlu mempelajari beberapa hal.
Pertama adalah pengenalan konsep
tauhid, yaitu pengesaan Allah SWT. Tidak boleh menyimpang dari
penjelasan yang digariskan Alquran dan hadits. Konsep keesaan Allah SWT
meliputi keesaan dalam dzat, sifat, dan perbuatan. Sejauh dan setinggi
apa pun pencarian seseorang terhadap Tuhan, tak boleh dengan mudah
mengklaim dirinya menyatu dengan Tuhan.
Dalam terminologi tasawuf
hal itu disebut penyatuan diri manusia dengan Tuhannya (ittihad), Tuhan
mengambil tempat di dalam diri manusia (hulul), dan kesatuan Tuhan
sebagai Sang Khaliq dengan makhluk-Nya (wahdatul wujud).
Para sufi, terlebih sufi pemula, yang tiba-tiba mengaku sudah sampai di tingkat atau maqam paling tinggi, misalnya fana’,
di mana diri sang hamba merasa hancur dan lebur dengan Tuhannya,
mengakibatkan ia melewati batas-batas syariat tentang baik dan buruk.
Seolah ayat hukum yang tersurat dalam Alquran seakan terhapus dengan
kedekatannya dengan Allah.
Mereka juga seolah-olah melewati dunia
lahir (syariat) dan sudah masuk ke dalam dunia batin atau hakikat. Ini
adalah contoh buruk bagi pengamal tasawuf karena mempertentangkan antara
syariat dan hakikat. Mereka menganggap kecintaan terhadap Tuhan telah
mencapai puncaknya yang kerap disebut sebagai mahabbah.
Untuk
sampai ke puncak dan mempertahankan mahabbah itu, seakan dibutuhkan
media seni bunyi-bunyian yang indah dan merdu (sama’). Bahkan, dengan
memanfaatkan lagu dan tari. Tingkat ketergantungannya terhadap media
musik itu sangat tinggi. Mahabbah boleh-boleh saja, tetapi tidak mesti
lebih menonjolkan media ketimbang Tuhannya sendiri.
Dalam
menjalani praktik sufi atau masuk ke dalam sebuah tarekat, peran
pembimbing (syekh/mursyid) sangat penting. Tanpa pembimbing
dikhawatirkan seseorang akan terjebak di dalam praktik sinkretisme atau
syirik. Pemujaan berlebihan terhadap syekh atau mursyid bisa juga
membawa masalah tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar