Padahal zuhud
tidaklah identik dengan hidup fakir atau miskin. “Zuhud itu bukan
berarti miskin harta. Zuhud tidak lain mengosongkan kalbu dari
(kecintaan) terhadap harta. Nabi Sulaiman as. sesungguhnya orang yang
kaya harta dengan kebesaran kerajaannya, tetapi ia termasuk orang
zuhud,” demikian kata Imam al-Ghazali (Al-Ghazali, Ihya ’Ulum ad-Din, I/29).
Karena itu, zuhud
sebetulnya bisa menjadi pakaian sekaligus perhiasan setiap Muslim, baik
yang kaya ataupun yang miskin. Muslim yang kaya bisa sekaligus menjadi
orang zuhud saat ia tidak disibukkan oleh kekayaannya hingga melupakan
Allah SWT dan Rasul-Nya. Kekayaannya malah makin menambah ketaatan
dirinya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia makin rajin ibadah, makin
giat berdakwah, makin bersemangat dalam menginfakkan hartanya di jalan
Allah SWT. Inilah yang ditunjukkan oleh generasi sahabat yang tergolong
kaya seperti Abu Bakar ra., Umar bin al-Khaththab ra., Utsman bin
Affan ra., Abdurrahman bin Auf ra., Mushab bin Umair ra., dll. Meski
mereka kaya-raya, mereka tetaplah ahli ibadah dan giat berdakwah. Meski
kaya-raya, mereka tidaklah disibukkan untuk terus menumpuk harta.
Sebaliknya, mereka malah sibuk menghabiskan harta mereka di jalan Allah
SWT. Pasalnya, bagi mereka, hidup kaya tidaklah menjadikan mereka
bangga. Mereka bahkan amat khawatir dengan kekayaan mereka; khawatir
jika Allah SWT telah menurunkan seluruh kenikmatan kepada mereka itu di
dunia ini saja sehingga tak tersisa lagi kenikmatan untuk mereka di
akhirat. Inilah yang menjadikan mereka ’takut’ dengan bertumpuknya
harta sehingga dengan berbagai cara, mereka menghabiskan harta mereka
di jalan Allah SWT.
Orang miskin pun
bisa menjadi orang zuhud saat ia tidak ’disibukkan’ dengan
kemiskinannya. Kemiskinan tidak menjadi penghalang bagi dirinya untuk
taat beribadah dan giat berdakwah. Bahkan meski miskin, ia tetap
berusaha untuk bersedekah; mungkin bukan dengan hartanya, tetapi dengan
tenaganya, akal-pikirannya, atau sekadar dengan senyumnya kepada
sesama.
Sebaliknya, orang kaya atau miskin bisa jadi sama-sama dihinggapi oleh penyakit hubb ad-dunya’ (kecintaan terhadap dunia)—sesuatu yang tentu berlawanan dengan sikap zuhud. Tentu buruk orang kaya yang mengidap penyakit hubb ad-dunya’
sehingga memalingkan dirinya dari ketaatan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Namun, lebih buruk lagi jika orang miskin mengidap penyakit yang sama.
Sudahlah miskin di dunia, ia tak mau beribadah. Sudahlah hidup susah, ia
malas berdakwah. Sayangnya, golongan yang terakhir ini pun banyak
jumlahnya.
*****
Muslim yang zuhud tentu memiliki sejumlah tanda yang bisa dikenali. Imam al-Ghazali setidaknya menyebut 3 (tiga) tanda zuhud (‘alamat az-zuhd). Pertama: tidak bergembira atas harta yang dia miliki dan tidak bersedih hati atas harta yang tidak dia miliki atau yang hilang dari diri. Ini sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya): …agar kalian tidak berduka atas apa yang hilang dari diri kalian dan tidak terlalu bergembira atas apa Allah berikan kepada kalian (TQS al-Hadid [57]: 23). Kedua: Sama saja bagi dirinya pujian dan celaan manusia (Pujian tidak membuat dirinya bergembira. Celaan tidak membuat dirinya duka-lara). Ketiga: Perhatian terbesarnya hanyalah Allah SWT. Ia senantiasa merasakan kelezatan dalam ketaatan kepada Allah SWT karena kalbunya memang tidak pernah kosong dari rasa cinta (mahabbah) kepada-Nya (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, III/333).
Bagi seorang Muslim,
termasuk pengemban dakwah sekalipun, memang tidaklah mudah menjadi
orang zuhud di tengah kepungan atmosfir kehidupan yang materialistis
dan godaan dunia yang makin hedonis saat ini. Namun demikian, Imam
Hasan al-Bashri telah memberikan kepada kita ‘kunci zuhud’.
Pertama:
Selalu yakin bahwa rezeki kita tak mungkin diambil orang lain sehingga
hati kita selalu merasa tenang. Keyakinan seperti ini paling tidak
akan melahirkan dua sikap: (1) Tawakal, tentu dibarengi dengan usaha
mencari rezeki secara optimal; (2) Tidak tamak dan rakus terhadap
harta, apalagi terlalu ambisius mengejar kekayaan hingga sering
melalaikan kewajiban, misalnya kewajiban berdakwah.
Kedua:
Selalu yakin bahwa amal kita tak mungkin dikerjakan oleh orang lain.
Keyakinan ini akan selalu menyibukkan diri kita untuk terus beramal tak
kenal lelah, termasuk amal dakwah. Dengan itu tak mungkin, misalnya,
kita berdakwah karena disuruh-suruh oleh orang lain; sementara jika
tidak disuruh, kita tak berdakwah.
Ketiga:
Selalu yakin bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi kita. Keyakinan ini
akan menjadikan kita selalu hati-hati dan waspada dari segala perbuatan
dosa. Bahkan kita malu untuk berbuat dosa meski dosa kecil sekalipun.
Sebab, bagi seorang Muslim—sebagaimana dinyatakan oleh Abu Nu’aim dalam
Hilyah al-‘Awliya’—masalahnya bukan kecilnya dosa, tetapi
kepada siapa sesungguhnya ia berdosa. Tentu, dosa besar atau kecil,
hakikatnya sama-sama merupakan maksiat kepada Allah SWT.
Keempat:
Selalu yakin bahwa kematian adalah suatu kepastian. Keyakinan ini akan
mendorong kita untuk terus mempersiapkan bekal demi menghadap kepada
Allah SWT pada Hari Akhir nanti.
*****
Zuhud sekilas tampak sebagai perkara sepele. Namun jika kita renungkan, zuhud sebetulnya menyimpan energi positif yang luar biasa bagi seorang Muslim. Seorang Muslim yang zuhud, misalnya, akan senantiasa bersemangat dalam beribadah, antusias dalam bersedekah, dan giat dalam berdakwah. Sebab, urusan dunia bagi dirinya bukan lagi menjadi fokus utama. Fokus utamanya adalah urusan akhirat, juga urusan umat.
Sebaliknya, cinta
dunia—sebagai lawan dari sikap zuhud—juga menyimpan energi luar biasa
bagi seorang Muslim; tentu bukan energi positif, tetapi energi negatif:
energi yang justru bisa mematikan hati (Lihat: Ibn ’Ajibah, Iqazh al-Himam Syarh Matan al-Hikam,
I/63). Jika hati sudah mati, ibadah tak lagi terasa sedap; sedekah tak
lagi terasa lezat; dakwah pun tak lagi terasa nikmat, malah mungkin
terasa berat. Na’udzu bilLah min dzalik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar