Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat
Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu
wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah. Dengan demikian, bisa dikatakan
bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu,
serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas.
Demikian
pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula
dihubungkan dengan keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk membentuk
suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa kualitas, jumlah,
dan sebagainya. Padahal kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan
konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang
atau cinta.
Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti
oleh indera, sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya adalah
konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali warna,
tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita
membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati
diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera
tidak bisa ambil bagian.
Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah Pengatur
jagat dan Ia--yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan
kualitas--mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan. Begitu pulalah
ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri
tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu
bagian khusus mana pun.
Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi tertempatkan
di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa kita
lihat betapa benarnya hadits Nabi SAW, "Allah menciptakan manusia di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Dan
setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang esensi dari
sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka
akan bisa kita pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian
kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya,
yaitu dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur
kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri.
Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama
Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru
kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata "Allah"
tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang
saluran syaraf dan menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya
menggerakkan pena.
Dengan demikian nama "Allah" terguratkan di atas kertas tepat
sebagaimana dibayangkan di dalam otak penulisnya. Demikian pula, jika
Allah menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran
ruhaniah yang di dalam Alquran disebut sebagai "Singgasana" (Al-'Arsy).
Dari singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah
suatu dataran yang lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian
bentuknya tampil dalam al-lauh 'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan
kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan
tampil di atas bumi dalam bentuk tetanaman, pepohonan dan hewan-hewan,
sebagai pencerminan keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf
yang tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan
bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.
Tidak seorang pun
bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena itu Tuhan telah
menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang raja dalam
miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan tiruan dari kerajaan-Nya
yang telah disusutkan secara tidak terbatas.
Di dalam kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril) oleh hati, kursy
oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa--yang ia
sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi--mengatur jasad
sebagaimana Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada kita diamanatkan
suatu kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam
mengaturnya.
Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah
memelihara, ada banyak tingkatan pengetahuan. Ahli fisika biasa, seperti
seekor semut yang merangkak di atas selembar kertas dan mengamati
huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, akan menunjukkan "sebab"
hanya kepada pena saja. Seorang astronom, seperti seekor semut dengan
pandangan agak lebih luas, bisa melihat jari-jari yang menggerakkan
pena. Maksudnya, ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di bawah
kekuasaan malaikat-malaikat.
Jadi, sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan
mesti timbul dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya
tidak pernah melihat ke balik dunia-gejala, adalah seperti orang-orang
yang salah menempatkan hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke
tingkatan raja. Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak,
tak akan ada sains dan sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba
sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar